Biografi Sunan Bungkul

 
Biografi Sunan Bungkul

Daftar Isi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Lahir
1.2  Wafat

2.  Sanad Ilmu dan Pendidikan Sunan Bungkul

2.1  Guru-guru Sunan Bungkul

3.  Perjalanan Dakwah Sunan Bungkul

4.  Keteladanan Sunan Bungkul

5.  Referensi

 

1     Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1    Lahir

Sunan Bungkul memiliki nama lain yakni Empu Supo atau Ki ageng Supo. Ia adalah seorang putra dari Tumenggung Supodriyo, seorang pembesar dari Kerajaan Majapahit.
Setelah mendapat hidayah dan memeluk Islam, Sunan Bungkul mengganti namanya menjadi Ki Ageng Mahmuddin atau Syekh Mahmuddin diperkirakan beliau lahir pada awal tahun 1400 an.

1.2    Wafat

Sunan Bungkul diperkirakan wafat sekitar tahun 1481 M dan dimakamkan di daerah bungkul Surabaya


2     Sanad Ilmu dan Pendidikan Sunan Bungkul

2.1    Guru-guru Sunan Bungkul

  1. Sunan Bejagung Lor
  2. Sunan Kalijaga

 

3.    Perjalanan Dakwah Sunan Bungkul

Sunan Bungkul sebelumnya mendapatkan julukan Empu karena beliau mempunyai kemampuan dalam pembuatan wesi aji seperti keris, tombak, cakra, dan peralatan dalam melebur keris-keris tersebut oleh karena itu beliau layak mendapatkan gelar tersebut. Konon, saat membuat keris, beliau tidak memerlukan alat untuk meleburkan besi. Namun hanya perlu mengelus dan memijat besi yang membara dan membentuknya menjadi sebuah keris. Beliau tidak hanya menetap di Majapahit, tetapi juga suka mengembara jauh. Selain itu juga memiliki sifat yang arogan dan suka memamerkan kesaktianya didepan umum.

Suatu hari dalam pengembaraanya, beliau bertemu dengan Sunan Kalijogo yang menyamar sebagai dalang yang memperkenalkan diri dengan nama Ki Dalang Kumendung. Ki Supo sesumbar dalam kehebatanya membuat keris dan akhirnya diminta oleh ki Dalang untuk untuk membuat sebilah keris. Ki Supo dengan kehebatannya memandang sinis tawaran dari Ki Dalang untuk membuat keris. Empu Supo memulai memijat-mijat keris tersebut seperti biasanya, namun Ki Supo tidak berhasil.  Ketidakmampuannya untuk membuat keris tersebut membuat Ki Supo menyadari bahwa beliau telah berhadapan dengan orang yang tidak sembarangan dan memiliki kesaktian yang lebih tinggi darinya. Ia kemudian berguru kepada Sunan Kalijaga dan memeluk Islam. Lalu ia mengubah namanya menjadi Syekh Mahmudin.

Ketika berguru ternyata terbukti bahwa beliau adalah murid yang sholeh, kemudian beliau dinikahkan dengan adik Sunan Kalijaga, Dewi Rosowulan. Sunan Bungkul juga memiliki hubungan yang erat dengan Sunan Ampel karena Sunan Ampel menikahi putri Sunan Bungkul. Berkat hubungan baik tersebut proses islamisasi yang dilakukan oleh sunan Ampel ini berhasil berkat bantuan dari mertuanya tersebut. Selain memiliki hubungan dengan Sunan Ampel, ia juga merupakan mertua Sunan Giri.
Adapula kisah yang menceritakan Ki Ageng Mahmudin dulunya seorang pejabat kerajaan Majapahit, setingkat Tumenggung. Beliau diminta oleh Raja Majapahit, Brawijaya, agar menemani putra mahkota yang tidak ingin menggantikannya sebagai raja karena lebih tertarik belajar agama, dan ingin berguru ke Sunan Bejagung, di Tuban. Putra Mahkota dan Tumenggung belajar agama menjadi santrinya Sunan Bejagung yang memiliki nama asli Syaikh Abdullah Asy'ari yang tidak lain adalah adik dari Syaikh Maulana Ibrahim Asmoroqondhi, ayah Sunan Ampel dan kakek dari Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Di kemudian hari putra mahkota Majapahit tersebut diambil menantu oleh Sunan Bejagung. Makamnya ada di Desa Bejagung Tuban dan lebih dikenal makam Sunan Bejagung Kidul ( Kidul = Selatan ). Syaikh Abdullah Asyari atau Sunan Bejagung makamnya dikenal makam Sunan Bejagung Lor (Lor = Utara ). Menurut kisah, beliau usianya mencapai sekitar 300 tahun, muridnya banyak, ada juga murid beliau yang dakwah di daerah Pati Jawa Tengah. Sang Tumenggung atau Ki Ageng Mahmudin selesai dari Tuban kembali ke Majapahit, di daerah Bungkul, dan lebih dikenal sebagai Susuhunan Bungkul atau Sunan Bungkul. 

Jika dilacak dari aspek historis-akademik, diakui Pak Sis memang sangat sulit untuk menemukan jejak-jejak riwayat hidup dari Sunan Bungkul. Pasalnya, nyaris tidak ada sumber yang menuliskannya secara khusus. Alhasil, hingga saat ini, narasi-narasi yang mencuat ke permukaan seputar riwayat hidup Sunan Bungkul hanya bersumber dari cerita tutur yang turun-temurun di kalangan keluarga juru kunci sendiri.

Beberapa orang mengatakan bahwa Sunan Bungkul adalah salah satu tokoh penyebar Islam di Surabaya, khususnya di daerah Bungkul. Sehingga tidak sedikit orang yang menyebutnya dengan gelar Sunan Bungkul. Pak Sis sendiri tidak menampik kemungkinan tersebut. Namun, informasi yang ia peroleh dari leluhurnya, Sunan Bungkul merupakan tokoh di luar narasi arus utama mengenai Wali Sanga.“Kalau bersinggungan dengan Sunan Ampel dan Sunan Giri mungkin iya. Tapi kalau beliau jatuhnya bukan wali. Beliau hanya sosok yang dituakan atau istilahnya sesepuh lah di daerah Bungkul pada masa itu,” jelasnya dengan gaya bercerita yang santai.

Menurut keterangan yang Pak Sis peroleh dari kakek buyutnya, Sunan Bungkul dulunya adalah seorang bangsawan Majapahit di era Prabu Brawijaya V. Ia kemudian memutuskan untuk menanggalkan gelar kebangsawanannya dan memilih mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Ia kemudian tiba dan menetap di daerah Bungkul.Karena karisma dan kewibawaan yang ia miliki, Sunan Bungkul kemudian didapuk menjadi sesepuh oleh masyarakat Bungkul. Lebih-lebih Sunan Bungkul juga memiliki keahlian dalam membuat benda-benda pusaka. Seperti keris, tombak, dan lain-lain. Sunan h Bungkul kemudian disebut-sebut sebagai salah satu penyebar Islam di Surabaya setelah menjalin hubungan baik dengan Sunan Ampel yang pada saat itu telah mendirikan Pesantren Ampeldenta.

“Cerita tentang Sunan Bungkul memang lebih terdengar seperti legenda. Tapi yang paling populer ya cerita soal sayembara buah delima itu, Mas,” tutur Pak Sis.Cerita yang sudah jamak didengar oleh masyarakat Surabaya, suatu hari Sunan Bungkul membuat sayembara. Ia menghanyutkan buah delima di sebuah aliran sungai di dekat kediamannya di Bungkul. Dalam sayembara itu ia mengatakan, barangsiapa yang menemukan buah delima tersebut akan diambil menantu jika ia laki-laki. Jika ia perempuan maka akan dijadikan saudari untuk putrinya yang bernama Dewi Wardah.Ternyata buah delima itu ditemukan oleh Raden Paku (Sunan Giri) saat ia mengambil wudu di aliran sungai di sekitar Ampeldenta. Sunan Giri lantas menghadap Sunan Ampel untuk menanyakan perihal buah delima yang memang memiliki aura agak lain dari delima pada umumnya. Sunan Ampel pun menjelaskan mengenai sayembara yang diadakan oleh Sunan Bungkul. Maka hari itu juga Sunan Giri dinikahkan dengan putri Sunan Bungkul yang bernama Dewi Wardah tadi.

“Sebenarnya hari itu Sunan Giri hendak melangsungkan akad dengan putri Sunan Ampel, namanya Dewi Murtasiah. Tapi karena menemukan delima itu, hari itu juga beliau menikahi Dewi Wardah. Alhasil sehari melangsungkan dua akad sekaligus,” papar Pak Sis.

Lebih lanjut Pak Sis menjelaskan, jati diri Sunan Bungkul memang sengaja tidak diungkap secara lebih detail. Karena berdasarkan wejangan dari para leluhur juru kunci makam Mbah Bungkul, mengungkap jati diri Sunan bungkul adalah larangan dari Sunan Bungkul sendiri. Itulah kenapa cerita-cerita mengenai riwayat hidup Sunan Bungkul terkesan masih simpang-siur hingga saat ini. Nama aslinya pun tidak ada yang tahu persisnya siapa. Termasuk dari kalangan keluarga juru kunci sendiri. Yang diketahui orang-orang, Sunan Bungkul memiliki dua nama lain. Yakni Mpu Supo (sebagai julukan karena keahliannya membuat pusaka) dan Syekh Mahmuddin (sebagai nama Islam).

Sekilas mengenai larangan mengungkap jati diri Mbah Bungkul tercatat dalam buku berjudul Oud Soerabaia (1931) yang ditulis GH Von Faber. Dalam buku tersebut ditulis, barangsiapa yang mencoba menguak jati diri Sunan Bungkul secara lebih detail maka akan menemui celaka.“Dulu saya punya kenalan yang bisa menerjemahkan buku itu. Dan ada bagian yang memang mengatakan kalau Sunan Bungkul tidak ingin jati dirinya diungkap,” ucap Pak Sis.
“Jadi ya biarlah orang tahu bagian (cerita) yang sudah umum saja (seperti yang dipaparkan Pak Sis sebelumnya). Jangan lebih dari itu,” lanjutnya menegaskan.Diakui Pak Sis, sebenarnya ada banyak mitos seputar makam Mbah Bungkul yang beredar di kalangan masyarakat Surabaya. Namun, setelah dikonfirmasi, Pak Sis selaku juru kunci menegaskan bahwa banyak narasi yang menurutnya kurang tepat.

 

4    Keteladanan Sunan Bungkul

Sunan Bungkul adalah salah satu tokoh penyebar Islam di Surabaya, khususnya di daerah Bungkul. Sehingga tidak sedikit orang yang menyebutnya dengan gelar Sunan Bungkul yang merupakan tokoh di luar narasi arus utama mengenai Wali Sanga.“Kalau bersinggungan dengan Sunan Ampel dan Sunan Giri mungkin iya. Tapi kalau beliau jatuhnya bukan wali. Beliau hanya sosok yang dituakan atau istilahnya sesepuh lah di daerah Bungkul pada masa itu,” jelasnya dengan gaya bercerita yang santai.
Sunan Bungkul dulunya adalah seorang bangsawan Majapahit di era Prabu Brawijaya V. Ia kemudian memutuskan untuk menanggalkan gelar kebangsawanannya dan memilih mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Beliau  kemudian tiba dan menetap di daerah Bungkul.Karena karisma dan kewibawaan yang beliau miliki, Sunan Bungkul kemudian didapuk menjadi sesepuh oleh masyarakat Bungkul. Lebih-lebih Sunan Bungkul juga memiliki keahlian dalam membuat benda-benda pusaka. Seperti keris, tombak, dan lain-lain. Sunan Bungkul kemudian disebut-sebut sebagai salah satu penyebar Islam di Surabaya setelah menjalin hubungan baik dengan Sunan Ampel yang pada saat itu telah mendirikan Pesantren Ampeldenta.

 

5      Referensi

1.    Buku Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto,
2.    Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Agus Sunyoto, Jakarta: Transpustaka, 2011
3.    Mustopo, M.H. (2001). Kebudayaan Islam di Jawa Timur: kajian beberapa unsur budaya masa peralihan. Surabaya: Jendela.
4.    Tjandrasasmita, U. (2010). Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 
 

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya