Biografi Sahabat Adi bin Hatim At-Thai

 
Biografi Sahabat Adi bin Hatim At-Thai
Sumber Gambar: Ilustrasi (foto ist)

Daftar isi Biografi Sahabat Adi bin Hatim At-Thai

1.    Riwayat Hidup
1.1  Lahir
1.2  Wafat

2.    Kisah-kisah
2.1  Perjalanan Memeluk Islam
2.2  Berpartisipasi dalam Peperangan

3.    Referensi

Adi bin Hatim At-Thaiadalah memiliki nama lengkap Adi bin Hatim bin Abdullah bin Saad bin Hasyraj At-Thai, dijuluki dengan Abu Wahab dan Abu Tarif adalah salah seorang pemimpin Arab suku Thai dan salah satu dari sahabat Nabi Muhammad SAW dan Ali bin Abi Thalib RA.

1. Riwayat Hidup

1.1 Lahir

Tidak diketahui secara pasti mengenai tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya Adi bin Hatim At-Thai karena minimnya sumber informasi.

1.2 Wafat

Adi bin Hatim At-Thai wafat di Kota Kufah pada tahun 68 hijriyah.

2. Kisah-kisah

2.1 Perjalanan Memeluk Islam

Sahabat Adi bin Hatim At-Thai yang masuk Islam pada tahun 9 H ini terkenal sebagai orator yang sangat pandai. Beliau adalah kepala suku Thai baik pada masa jahiliah maupun masa Islam. Beliau mempunyai jasa besar dalam menumpas kaum murtad dan ikut serta dalam penaklukan Irak. Beliau berdomisili di Kota Kufah dan wafat di sana.

Sejumlah raja Arab mulai menerima Islam sesudah mereka menentang keras. Mereka tunduk dan patuh kepada Rasulullah . Dari riwayat keislaman, tersebutlah kisah ‘Adi bin Hatim at-Tha’i yang pemurah. ‘Adi mewarisi kepemimpinan ayahnya sebagai penguasa suku at-Thai. Kaum Thai mengeluarkan seperempat harta mereka sebagai pajak kepada Adi, untuk imbalan bagi kepemimpinannya.

Ketika Rasulullah mendakwahkan Islam, berangsur bangsa Arab mulai mendekat kepada beliau, suku demi suku. Tetapi, ‘Adi justru melihat pengaruh Rasulullah merupakan ancaman yang akan melenyapkan kepemimpinannya. Karena itu, dia memusuhi Rasulullah meski dia sendiri belum mengenal pribadi Nabi yang mulia itu.

Hampir dua puluh tahun beliau memusuhi Islam. Sampai pada suatu hari hatinya menerima dakwah Rasul. Islamnya ‘Adi mempunyai kisah tersendiri. Dia menceritakannya sendiri, kisah yang menarik dan patut dipercaya. ‘Adi berkata: Tidak seorang pun bangsa Arab yang lebih benci daripada aku terhadap Rasulullah ketika mendengar berita tentang beliau dan kegiatan dakwahnya. Aku seorang pemimpin yang dihormati dan tinggal dengan kaumku di daerah kekuasaanku. Aku memungut pajak dari mereka seperempat dari penghasilan mereka, sama dengan yang dilakukan raja-raja Arab yang lain.

Ketika pengaruh Rasulullah bertambah besar dan tentaranya bertambah banyak, aku berkata kepada sahaya gembala ontaku, “Hai, anak manis! Siapkan onta betina yang gemuk dan jinak, lalu dekatkan selalu di dekatku. Bila kamu dengar tentara Muhammad atau ekspedisinya menjejakkan kaki di negeri ini, beritahukan kepadaku segera!”

Hingga suatu pagi, sahayaku datang menghadap. Katanya, “Wahai Tuanku! Apa yang akan Tuan-ku perbuat jika tentara berkuda Muhammad datang ke negeri ini, maka lakukanlah sekarang!” Tanyaku, “Mengapa?” Jawabnya, “Hamba melihat beberapa bendera sekeliling kampung.” Lalu aku bertanya,” Bendera apa itu?”. Jawabnya, “Itulah bendera tentara Muhammad.”

Aku perintahkan sahayaku untuk menyiapkan onta tadi. Seketika itu juga aku memanggil istri dan anak-anakku untuk segera berangkat ke negeri yang aman, (Syam). Di sana kami bergabung dengan orang-orang seagama dengan kami dan tinggal di rumah mereka. Aku terburu-buru mengumpulkan semua keluargaku.

Setelah melewati tempat yang mencemaskan, ternyata ada keluargaku yang tertinggal. Saudara perempuanku tertinggal di negeri kami, Nejed, beserta penduduk Tha’i yang lain. Tidak ada jalan lain bagiku untuk menjemputnya kecuali kembali ke Tha’i. Aku terus berjalan dengan rombonganku sampai ke Syam dan menetap di sana. Saudara perempuanku aku biarkan tertinggal di Tha’i, tetapi mencemaskan hatiku. Ketika berada di Syam, aku mendapat berita, tentara berkuda Muhammad menyerang negeri kami. Saudara perempuanku tertangkap dan menjadi tawanan, kemudian dibawa ke Yatsrib bersama beberapa penduduk lainnya.

Di sana mereka ditempatkan dalam penjara dekat pintu masjid. Ketika Rasulullah lewat, saudaraku menyapa, “Ya Rasulullah! Bapakku telah binasa. Yang menjaminku telah lenyap. Maka, limpahkan kepadaku karunia yang dikaruniakan Allah kepada Anda.” Rasul bertanya, “Siapa yang menjamin engkau?” Jawab saudaraku, “‘Adi bin Hatim!” Rasululah menjawab, “Dia lari dari Allah dan Rasul-Nya.” Sesudah berkata begitu, Rasulullah pergi. Besok pagi Rasulullah lewat dekat saudaraku. Saudaraku berkata pula seperti kemarin kepada beliau. Kemudian beliau menjawab seperti yang kemarin pula.

Hari ketiga Rasulullah lewat, saudaraku lupa menyapa beliau. Seorang laki-laki memberi isyarat kepada saudaraku supaya menyapa beliau. Saudaraku berdiri menghampiri Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah! Bapakku telah meninggal. Yang menjaminku telah lenyap. Maka, limpahkanlah kepadaku karunia yang dikaruniakan Allah kepada Anda.”

Rasulullah menjawab, “Saya penuhi permintaanmu!” Saudaraku berujar, “Saya ingin pergi ke Syam menemui keluargaku.” Rasulullah berkata, “Tetapi, engkau jangan buru-buru pergi ke sana, sebelum engkau dapatkan orang yang dapat dipercaya dari kaummu untuk mengantarmu. Bila engkau dapatkan orang yang dipercaya, beritahukan kepada saya.”

Setelah Rasulullah pergi, saudaraku menanyakan siapa laki-laki yang memberi isyarat kepadanya supaya menyapa Rasulullah. Dikatakan bahwa orang itu adalah Ali bin Abi Thalib.

Saudaraku tinggal di sana sebagai tawanan sampai datang orang yang dipercaya untuk membawanya ke Syam. Setelah orang itu datang, dia memberitahu kepada Rasulullah. Katanya, “Ya Rasulullah! Telah datang serombongan kaumku yang dipercaya dan mereka menyanggupi mengantarku.” Rasulullah memberi saudaraku pakaian, onta untuk kendaraan dan belanja secukupnya. Maka berangkatlah dia beserta rombongan tersebut.

Kami selau mencari-cari berita tentang saudaraku dan menunggu kedatangannya. Kami hampir tidak percaya apa yang diberitakan tentang Muhammad dengan segala kebaikannya terhadap saudaraku. Demi Allah! Pada suatu hari ketika aku sedang duduk di lingkungan keluargaku, tiba-tiba muncul seorang wanita dalam hawdaj (sekedup) menuju ke arah kami. Aku berkata, “Nah, itu anak perempuan Hatim!” Dugaan itu betul. Dia adalah saudaraku yang ditunggu-tunggu.

Setelah turun dari kendaraan, dia segera menghampiriku seraya berkata, “Anda tinggalkan kami, Anda dzalim! Istri dan anak-anak Anda, Anda bawa. Tetapi, bapak dan saudara perempuan Anda, serta yang lainnya Anda tinggalkan.” Aku menjawab, “Hai Adikku! Janganlah berkata begitu!” Aku berhasil menenangkannya. Setelah itu aku minta dia menceritakan pengalamannya. Selesai bercerita, aku berkata kepadanya, “Engkau wanita cerdik dan pintar. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang bernama Muhammad itu?” Dia menjawab, “Menurut pendapatku, demi Allah, sebaiknya temui dia segera. Jika dia Nabi, maka yang paling dahulu mendatanginya beruntunglah dia. Dan jika dia raja, tidak ada hinanya Anda berada di sampingnya. Anda adalah seorang raja pula.”

Maka, aku siapkan perlengkapanku, lalu aku pergi ke Madinah menemui Rasulullah . Tanpa iman dan kitab, aku mendengar berita bahwa beliau pernah berkata, “Sesungguhnya saya berharap semoga ‘Adi bin Hatim masuk Islam di hadapan saya.” Sampai di Yastrib, aku langsung masuk ke majelis Nabi , ketika beliau berada di dalam masjid. Aku memberi salam kepadanya. Mendengar salamku beliau bertanya, “Siapa itu?” Jawabku, “‘Adi bin Hatim!” Rasulullah berdiri menyongsongku. Beliau menggandeng tanganku lalu dibawa ke rumahnya. Ketika beliau membawaku, tiba-tiba seorang wanita tua yang dhaif (lemah) sedang menggendong seorang bayi, menemuinya minta sedekah. Wanita tua itu berbicara tentang kesulitan hidupnya. Beliau mendengarkan bicara wanita itu sampai selesai. Aku pun tegak menunggu.

Aku berkata kepada diriku, “Demi Allah! Ini bukan kebiasaan raja-raja!” Kemudian beliau menggandeng tanganku dan berjalan bersama-sama denganku sampai ke rumah beliau. Tiba di rumah, beliau mengambil sebuah bantal kulit yang diisi sabut kurma, lalu diberikan kepadaku. Beliau berkata, “Silahkan Anda duduk di atas bantal ini!” Aku malu. Karena itu aku berkata, “Andalah yang pantas duduk di situ.” Jawab Rasulullah, “Anda lebih pantas.”

Aku menuruti kata beliau lalu duduk di atas bantal. Nabi duduk di tanah, karena tidak ada lagi bantal lain selain yang satu itu. Aku berkata dalam diriku, “Demi Allah! Ini bukan kebiasaan raja-raja.” Kemudian, beliau menoleh kepadaku seraya berkata, “Hai ‘Adi! Sudahkah Anda membanding-bandingkan agama yang Anda anut, antara Nasrani dengan Shabiah?” Jawabku, “Sudah.”

Beliau bertanya lagi, “Bukankah Anda memungut pajak dari rakyat seperempat penghasilan mereka. Bukankah itu tidak halal menurut agama Anda?” Jawabku, “Betul”. Sementara itu, aku telah yakin Muhammad sesungguhnya rasul Allah. Kemudian, beliau berkata, “Hai ‘Adi! Agaknya Anda enggan masuk Islam karena pernyataan yang Anda lihat tentang kaum Muslim, mereka miskin. Demi Allah! Tidak lama lagi harta akan berlimpah-ruah di kalangan mereka, sehingga susah didapat orang yang mau menerima sedekah. Atau barangkali Anda enggan masuk agama ini karena kaum Muslim sedikit jumlahnya sedangkan musuh-musuh mereka banyak. Demi Allah! Tidak lama lagi Anda akan mendengar berita seorang wanita datang dari Qadisiyah mengendarai onta ke Baitullah tanpa takut kepada siapa pun selain kepada Allah.”

“Atau mungkin juga Anda enggan masuk Islam karena ternyata raja-raja dan para sultan terdiri dari orang yang bukan Islam. Demi Allah! Tidak lama lagi Anda akan mendengar Istana Putih di negeri Babil (Iraq) direbut kaum Muslim dan kekayaan Kisra bin Hurmuz pindah menjadi milik mereka.”

Aku bertanya kagum, “Kekayaan Kisra bin Hurmuz?” Jawab beliau, “Ya kekayaan Kisra bin Hurmuz.” Maka seketika itu juga aku mengucapkan dua kalimah syahadat di hadapan beliau dan aku menjadi Muslim.

‘Adi bin Hatim dikaruniai Allah usia panjang. ‘Adi bercerita lagi, “Dua perkara yang dikatakan Rasulullah sudah terbukti kebenarannya. Tinggal lagi yang ketiga. Namun, itu pasti terjadi. Aku telah menyaksikan seorang wanita berkendaraan onta datang dari Qadisiyah tanpa takut kepada siapa pun, sehingga dia sampai ke Baitullah. Dan aku adalah tentara berkuda yang pertama-tama menyerang masuk ke gudang perbendaharaan Kisra dan merampas harta kekayaannya. Aku bersumpah demi Allah, yang ketiga pasti akan terjadi pula.

Allah pasti membuktikan setiap perkataan Nabi-Nya yang mulia. Peristiwa ketiga terjadi pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul Aziz. Yakni, ketika kemakmuran merata di kalangan kaum Muslim. Saat itu setiap orang mencari-cari dengan susah payah orang yang berhak menerima zakat. Tetapi, mereka tidak mendapatkan orang yang mau menerima, karena kaum Muslim hidup berkecukupan seluruhnya. Memang benar ucapan Rasulullah dan tepat pula sumpah yang diucapkan ‘Adi bin Hatim. Semoga Allah meridhainya.

Pada tahun kesembilan hijriyah, beberapa raja Arab mulai mendekat kepada Islam sesudah mereka lari dari Islam. Hati mereka lembut menerima iman setelah menentang keras. Mereka menyerah, tunduk dan patuh kepada Rasulullah sesudah enggan. Tersebutlah kisah “Adi bin Hatim at-Tha’i” yang pemurah seperti bapaknya.

2.2  Berpartisipasi dalam Peperangan

Dalam peristiwa Riddah yang terjadi setelah Rasulullah SAW wafat, Adi bin Hatim al-Tha'i tetap komitmen memegang Islam. Beliau juga mencegah kaumnya supaya tidak menjadi murtad. Beliau menyerahkan zakat kabilah Thayyi’ kepada Khalifah Abu Bakar. Beliau berpartisipasi dalam perang melawan kaum murtad yang terjadi pada masa Khalifah Pertama. Dalam peristiwa perang melawan Thulaihah yang mengklaim sebagai nabi, Hatim memegang komando pasukan kanan. Pada masa kekuasaan Khalifah Kedua, Hatim juga memiliki andil dalam misi-misi perluasan kekuasaan Islam (Iraq dan Iran). Di era kekuasaan Utsman bin Affan, beliau bergabung dengan barisan penentang Khalifah Ketiga. Ibnu A'tsam menyebut Hatim termasuk salah satu pembunuh Utsman. Selain itu beliau juga mengikuti perang Jamal, Shiffin, dan perangNahrawan.

3. Referensi

Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya