Biografi Abu Muslim Al-Khaulani
- by Latif
- 1.156 Views
- Senin, 15 Agustus 2022

Daftar isi Biografi Abu Muslim Al-Khaulani
1. Riwayat Hidup
1.1 Lahir
1.2 Wafat
2. Pendidikan
2.1 Perjalanan Menuntut Ilmu
2.2 Guru
3. Kisah-kisah
3.1 Memeluk Islam
3.2 Melawan Nabi Palsu
3.3 Hijrah ke Madinah
3.1 Bersama Khalifah Muawwiyah
6. Referensi
Abu Muslim Al-Khaulani adalah seorang tokoh dari kalangan tabi’in yang memiliki nama asli Abdullah bin Tsuaib yang terkenal dengan sifatnya yang zuhud dan doanya yang makbul.
1. Riwayat Hidup
1.1 Lahir
Tidak diketahui secara pasti tempat, tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya Abu Muslim Al-Khaulani karena minimnya sumber informasi.
1.2 Wafat
Abu Muslim Al-Khaulani wafat pada tahun 684 masehi
2. Pendidikan
2.1 Perjalanan Menuntut Ilmu
Abu Muslim al-Khaulani saat berada di Madinah, beliau tinggal beberapa waktu di Madinah Munawwarah dan di sela-sela itu beliau selalu menetapi masjid Rasulullah.
Beliau shalat sebanyak apa yang Allah kehendaki untuk shalat di Raudlah yang suci, beliau juga menimba ilmu dari pembesar sahabat seperti Abu Ubaidah ibn al-Jarrah, Abu Dzarr al-Ghifaari, Ubadah ibn ash-Shaamit, Mu’adz ibn Jabal dan ’Auf ibn Malik al-Asyja’i.
2.2 Guru
- Abu Ubaidah ibn al-Jarrah,
- Abu Dzarr al-Ghifaari,
- Ubadah ibn ash-Shaamit,
- Mu’adz ibn Jabal dan
- ’Auf ibn Malik al-Asyja’i
3. Kisah-kisah
3.1 Memeluk Islam
Abu Muslim Al Khaulani adalah seorang tabi`in yang sangat zuhud dan alim. Beliau berasal dari Yaman dan masuk Islam pada masa Nabi Muhammad SAW. Beliau datang ke kota Madinah pada masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq. Semasa di Yaman, Abu Muslim pernah ditangkap dan berusaha dibakar oleh Al-Aswad al-Ansi, yang mengaku diri nabi namun Abu Muslim selamat.
3.2 Melawan Nabi Palsu
Al-Aswad al-‘Ansi seorang yang begitu kuat, bertubuh kekar, berkulit hitam. Di masa Jahiliyah banyak kejahatannya ia adalah seorang yang mumpuni dalam perdukunan, mahir dalam melakukan sihir atas manusia.
Di samping itu pula ia adalah orang yang fasih lisannya, mengagumkan penjelasannya, pengkaui, mampu mempermainkan akal orang-orang awam dengan kebathilan-kebathilannya dan mampu menarik loyalitas orang-orang khusus dengan hibah dan pemberiannya.
Ia tidak pernah muncul di hadapan manusia kecuali dengan menutup muka dengan cadar berwarna hitam untuk meliputi dirinya dengan sifat ditakuti karena tersembunyi dan berwibawa.
Dakwah al-Aswad al-‘Ansi telah tersebar di Yaman sebagimana menjalarnya api pada tanaman yang kering, dan kabilahnya dari Bani Madzhij yang megikutinya telah membantunya dalam meyebarkan dakwahnya.
Pada saat itu, ia adalah kabilah Yaman yang paling banyak jumlah penduduknya, paling luas kawasannya dan paling kuat bala tentaranya.
Sebagaimana telah membantunya dalam menyebarkan dakwahnya, yaitu kemampuannya untuk menciptakan kedustaan dan menghiasi perkataannya, serta permintaan bantuannya kepada orang-orang pengkaui yang menjadi pengikutnya.
Ia mendakwakan kepada manusia bahwa malaikat turun kepadanya dengan membawa wahyu serta memberitakan hal-hal ghaib kepadanya.
Untuk meyakinkan manusia atas kebenaran dakwaanya, ia telah menempuh banyak cara.
(Di antaranya) ia menyebarkan mata-matanya di setiap tempat, untuk mengetahui urusan-urusan manusia dan musykilah mereka serta menyibak rahasia-rahasia dan berita-berita mereka, serta menembus apa yang terhimpun dalam lubuk hati mereka dari angan-angan dan kesusahan.
Dan mereka di waktu yang sama merayu dan menipu mereka agar merujuk kepadanya (al-Aswad) dan meminta pertolongan darinya.
Dan apabila mereka mendatanginya, ia menghadapi setiap orang yang punya hajat dengan hajatnya dan memulai setiap orang yang punya permasalahan dengan (menyelesaikan) permasalahannya.
Dengan begitu seakan-akan ia memperlihatkan kepada mereka bahwa ia (mengetahui) rahasia-rahasia yang tersembunyi pada mereka dan menemukan apa yang tersembunyi dalam lubuk hati mereka.
Ia mendatangkan hal-hal ajaib dan aneh yang mampu mencengangkan akal dan membingungkan pikiran.
Tidaklah berselang lama hingga urusannya menjadi besar. Tersebarlah popularitasnya…
Bertambah banyak pengikutnya.
Bersama mereka ia menguasai Shan’a, dan dari Shan’a menguasai daerah-daerah lainnya, hingga negeri-negeri yang terletak antara “Hadlramaut” dan “Thaif” tunduk kepadanya, juga negeri-negeri yang terletak antara “al-Bahrain” dan “’Adan.”
Setelah urusan menjadi mapan untuk al-Aswad al-‘Ansi serta negeri-negeri dan manusia tunduk kepadanya. Ia segera mengawasi para penentangnya dan orang-orang yang Allah berikan kepada mereka keimanan yang dalam terhadap agamanya yang lurus.
Dan keyakinan yang mantap terhadap nabi-Nya yang mulia. Serta loyalitas (ketaatan) yang tulus kepada Allah dan Rasul-Nya. Juga menyuarakan al-haq dengan keras dan menantang kebathilan.
Bersama mereka ia mulai menyerang dalam kekuatan besar dan menimpakan adzab yang pedih.
Adalah di barisan terdepan mereka (yang diperangi oleh al-Aswad) ada “Abdullah ibn Tsuwab” yang diberi kunyah “Abu Muslim al-Khaulani.”
Abu Muslim al-Khaulani adalah seorang yang kokoh dalam agamanya…Kuat imannya…Keras kepala untuk menyuarakan al-haq dengan lantang.
Beliau telah mengikhlaskan dirinya untuk Allah, sehingga beliau berpaling dari dunia dan perhiasannya. Zuhud terhadap keelokan hidup dan perdagangannya.
Beliau telah menadzarkan hidupnya untuk taat kepada Allah dan berdakwah kepada-Nya. Beliau telah menjual dunia yang fana dengan akhirat yang kekal dengan penjualan yang murah.
Sehingga orang-orang menempatkannya pada kedudukan yang tinggi dalam jiwa mereka. Mereka melihatnya seorang yang bersih jiwanya dan erat hubungannya dengan Allah dan doanya mustajab di sisi-Nya.
Al-Aswad al-‘Ansi berkeinginan untuk menyerang Abu Muslim dengan penyerangan besar. Penyerangan yang menghembuskan rasa takut dan gentar ke dalam hati para penentang dakwahnya secara sembunyi dan terang-terangan dan mengalahkan mereka dengan sebenar-benarnya (menjadikan para penentangnya kalang kabut).
Ia menyuruh untuk mengumpulkan kayu bakar dan menumpuknya di tanah lapang di Shan’a lalu dinyalakan dengan api.
Ia mengundang manusia untuk menyaksikan istitabahnya faqih (ahli fikih) Yaman dan ‘abid (ahli ibadah) nya yaitu Abu Muslim al-Khaulani dan pengakuan terhadap kenabiannya.
Pada waktu yang sudah ditentukan, al-Aswad al-‘Ansi mendatangi tanah lapang yang penuh sesak dengan manusia.
Para thaghutnya dan pembesar pengikutnya mengelilinginya, juga para penjaga dan panglima pasukannya.
Ia lalu duduk di atas kursinya yang besar yang telah diletakkan untuknya menghadap ke arah api.
“Abu Muslim al-Khaulani” diseret kehadapannya di bawah tatapan manusia dan pendengaran mereka.
Saat beliau (Abu Muslim) sampai di hadapannya, orang yang sombong dan pendusta ini memengkaung kepadanya dengan penuh takabbur. Ia lalu memengkaung ke arah api yang berkobar-kobar di hadapannya dengan keras.
Kemudian ia menoleh kepadanya dan berkata, “Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?”
Abu Muslim menjawab, “Ya, aku bersaksi bahwa beliau hamba Allah dan utusan-Nya dan beliau adalah pemimpin para rasul dan juga penutup para nabi.”
Al-Aswad al-‘Ansi mengerutkan dahinya dan mengangkat alisnya, ia berkata, “Dan kamu bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?”
Beliau menjawab, “Telingaku tuli, aku tidak mendengar apa yang kamu katakan.”
Al-Aswad berkata, “Kalau demikian, aku akan melemparmu ke dalam api ini.”
Abu Muslim berkata, “Apabila kamu melakukannya, berarti aku berlindung dengan api yang bahan bakarnya kayu bakar dari api yang bahan bakarnya manusia dan bebatuan, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Al-Aswad berkata, “Aku tidak akan terburu-buru terhadapmu, akan aku berikan kesempatan lain kepadamu untuk mengembalikan akalmu.”
Ia lalu mengulangi pertanyaan kepadanya, ia berkata, “Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?”
Abu Muslim menjawab, “Ya, aku bersaksi bahwa ia adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Allah telah mengutusnya dengan agama petunjuk dan haq dan Dia menutup segala risalah dengan risalahnya.”
Maka al-Aswad bertambah murka dan berkata, “Dan kamu bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?.”
Abu Muslim menjawab, “Bukankah sudah aku beritahukan kepadamu bahwa telingaku tuli, sehingga aku tidak mendengar perkataanmu ini?!.”
Al-Aswad al-‘Ansi terbakar kemarahan akibat keberaniannya dalam menjawab, ketentraman jiwanya dan ketenangan anggota badannya.
Ia berkehendak untuk menyuruh seseorang, dan melemparkannya ke dalam api. Di saat itu, salah satu pembesar thaghutnya maju kepadanya dan membisikkan ke telinganya, ia berkata, “Sesungguhnya orang ini –sebagaimana yang kamu tahu- adalah bersih jiwanya, terkabulkan doanya…Dan sesungguhnya Allah tidak akan menghinakan seorang mukmin yang tidak menghinakan-Nya di saat-saat genting.
Dan sesungguhnya kamu, apabila melemparkannya ke dalam api lalu Allah menyelamatkannya, maka berarti kamu telah menghancurkan seluruh apa yang telah kamu bangun dalam sesaat. Dan kamu mendorong manusia untuk kufur terhadap kenabianmu.
Dan bila api membakarnya, niscaya orang-orang akan bertambah kagum terhadapnya dan tambah membesarkannya, dan mereka akan mengangkatnya ke dalam barisan para syuhada.
Maka berilah kebaikan kepadanya dengan membebaskannya, dan buanglah ia dari negerimu, kamu akan terbebas darinya dan merasa tenang.”
Al-Aswad lalu menerima pendapat thaghutnya dan memerintahkan Abu Muslim untuk meninggalkan negeri saat itu juga.
3.3 Hijrah ke Madinah
Setelah diusir oleh Al Aswad dari Yaman, Abu Muslim al-Khaulani melangkahkan kakinya pergi ke arah Madinah. Beliau mengangan-angankan dirinya untuk bisa bertemu Rasulullah. Beliau telah beriman kepadanya sebelum kedua matanya merasakan kenikmatan memengkaungnya, dan jiwanya bergembira menjadi sahabatnya.
Akan tetapi hampir saja ia sampai di ujung “Yatsrib (Madinah)” sehingga berita kematian Nabi sampai ke telinganya, juga berita Abu Bakar yang menjabat sebagai khalifah kaum Muslimin setelahnya.
Kesedihan yang sangat menggelayuti lubuk hatinya atas wafatnya Nabi yang mulia. Abu Muslim sampai di Madinah dan menuju ke masjid Rasulullah.
Saat beliau menghampiri masjid, ia mengikat untanya dekat dengan pintu masjid, beliau masuk ke al-haram an-nabawi (masjid nabawi) yang mulia dan mengucapkan salam kepada Rasulullah.
Beliau berdiri di salah satu pilar dari pilar-pilar masjid dan mulai shalat. Saat beliau selesai dari shalatnya, Umar ibn al-Khaththab berjalan ke arahnya, hingga sampai di depannya. beliau berkata, “Dari mana kamu?” Ia menjawab, “Dari Yaman.”
Umar berkata, “Apa yang telah Allah perbuat dengan sahabat kami yang mana musuh Allah telah membakarnya dengan api, lalu Allah menyelamatkannya darinya?”
Beliau menjawab, “beliau dalam kebaikan dan penuh nikmat dari Allah.”
Umar berkata, “Aku menyumpahmu dengan nama Allah, bukankah kamu adalah dia?”
“Ya” jawabnya.
Umar lalu mencium keningnya dan berkata, “Tahukah kamu apa yang Allah perbuat kepada musuh Allah dan musuhmu?”
Beliau berkata, “Sekali-kali tidak, beritanya telah terputus dariku semenjak aku meninggalkan Yaman.”
Umar menjawab, “Allah telah membunuhnya melalui tangan-tangan orang-orang yang tersisa dari kalangan kaum Mukminin yang benar dan Dia melenyapkan kerajaannya serta mengembalikan para pengikutnya kepada agama Allah”
Beliau berkata, “Segala puji bagi Allah yang belum mengeluarkan aku dari dunia sehingga mataku bergembira dengan kematiannya dan kembalinya orang-orang yang terperdaya dari penduduk Yaman ke dalam pangkuan Islam.”
Umar berkata kepadanya, “Dan aku memuji Allah yang telah memperlihatkan kepadaku dalam umat Muhammad seseorang yang diperlakukan sebagaimana yang diperlakukan kepada khalilurrahman bapak kita Ibrahim AS.
Kemudian ia (Umar) menggandeng tangannya dan berjalan bersamanya menuju kepada Abu Bakar. Saat ia masuk menemuinya, ia mengucapkan salam dengan panggilan khalifah dan mambaiatnya.
Ash-Shiddiq lalu mendudukkannya antara dia dan Umar. Mulailah dua syekh (Yaitu Abu Bakar dan Umar) tersebut meminta Abu Muslim untuk menceritakan kembali kisahnya bersama al-Aswad al-‘Ansi.
2.4 Bersama Khalifah Muawwiyah
Ketika khilafah berpindah kepada amirul mukminin “Muawiyah ibn Abi Sufyan” , ia banyak bolak-balik menemuinya dan menghadiri majlis-majlisnya. Beliau memiliki beberapa kejadian yang diingat-ingat dan masyhur yang menjadi saksi atas tingginya kedudukan kedua orang tersebut…dan memberitahukan tentang apa yang keduanya berhias dengannya dari ketinggian sifat.
Di antaranya, bahwa Abu Muslim masuk menemui Muawiyah RA, maka beliau melihatnya duduk di bagian depan majlisnya yang ramai.
Para pejabat negeri telah mengelilinginya, juga panglima pasukan dan para tokoh kaumnya.
Beliau melihat orang-orang berlebih-lebihan dalam mengagungkannya dan memuliakannya, sehingga ia merasa khawatir terhadapnya dengan kekhawatiran yang sangat. Beliau mengatakan, “Assalamu’alaika ya Ajiirul (pelayan) mukminin.”
Orang-orang menoleh kepadanya dan berkata, “Amirul mukminin…wahai Abu Muslim…”
Beliau tidak menggubris mereka dan berkata, “Assalamu’alaika ya ajiirul mukminin.”
Orang-orang berkata, “Amirul Mukminin wahai Abu Muslim.”
Beliau tidak mendengarkan perkataan mereka dan tidak menoleh kepada mereka dan beliau berkata, “Assalamu’alaika ya ajiirul mukminin.”
Saat orang-orang berkehendak untuk mengulanginya, Muawiyah menoleh kepada mereka dan berkata, “Biarkan Abu Muslim, beliau lebih tahu dengan apa yang beliau katakan.”
Abu Muslim mendekat kepada Muawiyah dan berkata kepadanya, “Sesungguhnya permisalanmu setelah Allah mengangkatmu sebagai wali bagi urusan manusia sebagaimana permisalannya orang yang menyewa seseorang atau mewakilkan kepadanya urusan dombanya. Ia memberikan upah kepadanya untuk mengurusi gembalanya, menjaga badannya dan memperbanyak woolnya dan susunya.
Apabila belia mengerjakan apa yang menjadi kesepakatan dengannya sehingga domba yang kecil tumbuh menjadi besar, yang kurus menjadi gemuk dan yang sakit menjadi sehat. Beliau memberikan upahnya dan melebihkannya.
Sebaiknya jika tidak becus dalam mengurus gembalanya dan lalai darinya hingga yang kurus menjadi binasa, yang gemuk menjadi kurus dan hilang wool-woolnya dan susu-susunya…maka ia menahan upahnya dan memarahinya serta menghukumnya.
Maka pilihlah untuk dirimu apa yang ada kebaikan dan pahalanya untukmu.”
Muawiyah mengangkat kepalanya yang sebelumnya tertunduk ke tanah, ia berkata, “Semoga Allah membalasimu dengan kebaikan atas kami dan atas rakyat wahai Abu Muslim, kami tidak mengetahuimu kecuali seorang yang memberikan nasehat kepada Allah dan Rasul-Nya dan juga kepada kaum muslimin pada umumnya.”
Abu Muslim menghadiri shalat Jum’at di masjid jami’ di Damaskus. Dan adalah amirul mukminin Muawiyah yang berkhutbah di hadapan manusia, beliau mengingatkan kepada mereka perintahnya untuk menggali sungai “Baradaa” sehingga airnya menjadi jernih.
Abu Muslim lalu memanggilnya di antara kelompok manusia dan berkata, “Ingatlah wahai Muawiyah, bahwa kamu akan mati entah hari ini atau besok, dan bahwa tempat tinggalmu adalah kuburan…apabila kamu mendatanginya dengan membawa sesuatu, maka kamu akan mendapatkan sesuatu padanya. Dan bila kamu mendatanginya dengan tangan hampa, maka kamu akan mendapatkannya kosong dan rata.
Dan sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada Allah untukmu wahai Muawiyah, agar kamu tidak beranggapan bahwa khilafah hanya sekedar menggali sungai mengumpulkan harta. Akan tetapi khilafah adalah beramal dengan al-haq berkata adil dan mengajak manusia kepada keridlaan Allah.
Wahai Muawiyah, sesungguhnya kami tidak peduli dengan keruhnya sungai apabila mata kepala kami jernih dan sesungguhnya engkau adalah mata kepala kami, maka berijtihadlah agar engkau senantiasa jernih.
Wahai Muawiyah, sesungguhnya engkau apabila berbuat dzalim kepada satu orang, maka kadzalimanmu akan menghilangkan keadilanmu.
Maka hati-hatilah kamu dari berbuat dzalim. Karena sesungguhnya kedzaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.”
Setelah Abu Muslim selesai dari perkataannya, Muawiyah turun dari mimbar dan menghampirinya. Ia berkata, “Semoga Allah merahmatimu wahai Abu Muslim dan membalasimu dengan sebaik-baik balasan atas kami.”
Pada kali yang lain, Muawiyah naik mimbar dan memulai khutbahnya. Sementara ia telah menahan pemberiannya kepada orang-orang selama dua bulan.
Maka Abu Muslim memanggilnya dan berkata, “Wahai Muawiyah, sesungguhnya harta ini bukanlah hartamu, tidak pula harta ayah dan ibumu dengan hak apa kamu menahannya dari manusia?!.”
Nampaklah kemarahan pada wajah Muawiyah, dan orang-orang mulai menanti apa yang akan terjadi.
Tidak ada yang ia lakukan kecuali ia mengisyaratkan kepada orang-orang agar tetap tinggal di tempat mereka dan tidak meninggalkannya.
Beliau turun dari mimbar dan berwudlu dan menyiramkan sedikit air kebadannya. Kemudian beliau naik mimbar, lalu memuji Allah SWT dan menyanjungnya dengan sanjungn yang sesuai dengan-Nya dan berkata, “Sesungguhnya Abu Muslim telah menyebutkan bahwa harta ini bukanlah hartaku, bukan pula harta ayah dan ibuku.
Dan sungguh Abu Muslim telah benar atas apa yang ia katakana. Dan sesungguhnya aku mendengar Rasulullah bersabda, “Kemarahan itu dari syaithan dan syaithan (diciptakan) dari api…dan air memadamkan api. Maka apabila salah seorang dari kamu marah hendaklah ia mandi.”
Wahai manusia, bergegaslah untuk mengambil hak-hak kalian atas berkah Allah .”
Semoga Allah membalasi Abu Muslim al-Khaulani dengan sebaik-baik balasan. Ia adalah seorang permisalan yang langka dalam menyuarakan kalimatul haq.
4. Referensi
- Thabaqat Ibn Sa’d: 7/448,
- Tarikh al-Bukhari: 5/58,
- Al-Ma’rifah wat Tarikh: 2/308, 382,
- Al-Istii’ab: 1479,
- Tarikh Ibn Asakir: 9/12,
- Tadzkiratul Huffadz: 1/49,
- Al-Bidayah wan Nihayah: 8/146,
- Al-Ishaabah: 6302,
- Syadzaratudz Dzahab: 1/70
Lokasi Terkait Beliau
Belum ada lokasi untuk sekarang
Memuat Komentar ...