Dari Pesantren, NU Mewarisi Obor Kenabian

 
Dari Pesantren, NU Mewarisi Obor Kenabian

Oleh UBAIDILLAH ACHMAD*

LADUNI.ID, Jakarta - Pesantren merupakan tempat yang memiliki bangunan sederhana, berupa mushalla, rumah kiai, kamar para santri, dan melaksanakan proses pendampingan dan pembelajaran yang mencerahkan untuk membentuk sikap dan perilaku yang berbudi mulia. Pembentukan sikap dan perilaku seperti ini, memerlukan rutinitas dan pembiasaan diri yang dilakukan secara terus menerus.

Model pembelajaran pesantren menekankan pada pola komunikasi sistem keluarga dan kebersamaan, terjalin dengan ikatan kekeluargaan yang kokoh dalam kendali seorang kiai dan santri senior.

Dalam sistem kekeluargaan, sesama anggota keluarga, para santri dapat saling mempengaruhi dan mendukung untuk mendalami ilmu keislaman, merespon perkembangan ilmu pengetahuan dan melakukan resolusi konflik sosial politik. Misalnya, merespon konflik masyarakat, bangsa dan negara. Karenanya, memahami peran santri, perlu memahami latar belakang sistem kekeluargaan, baik dalam perilaku maupun sistem yang terbangun di dalamnya. Meskipun demikian, banyak dari perilaku santri yang didasarkan pada sistem nilai yang terbentuk di luar sistem keluarga.

Kekhasan Pesantren

Dalam sistem pembelajaran, pesantren menerapkan model yang bersifat normatif, yaitu membentuk kesadaran diri dari hasil pencerahan keilmuan para Kiai yang sesuai dengan visi kenabian, yaitu memahami keutamaan akhlak yang baik dan keta'atan kepada Allah.

Keutamaan akhlak dapat dipahami dari bentuk keseimbangan unsur jiwa manusia (ruh, qalb, aql, nafs, jasad). Dalam sistem pembelajaran di pesantren, nasab bukan tujuan risalah, meski banyak Kiai pesantren yang masih memiliki jalur nasab Walisongo dan nasab pejuang babat tanah jawa, masih memiliki kenasaban dengan Nabi Muhammad.

Ke semua lingkaran geneologi ini, sangat berpengaruh dalam sejarah perkembangan Islam Nusantara. Dengan tidak mengabaikan sikap hormat kepada keluarga Kiai dan kenasaban Nabi Muhahammad, para Kiai lebih menekankan pada pembelajaran akhlak mulia, ketaatan dan tafaqquh fiddin (pendalaman agama) sesuai dengan standar prinsip keilmuan Ahlussunah wal Jamaah dan NU. Jadi, para santri dalam tradisi pesantren, telah sadar diri untuk menjaga, agar tidak merusak akhlak yang baik yang sudah diajarankan oleh Nabi Muhammad.

Di hari yang fitri, bagi kalangan santri dan kiai telah menumbuhkan rasa kekeluargaan dengan saling memohon maaf. Hal ini merupakan perjumpaan untuk membuka tema dialog santri yang berbeda latar belakang  dalam satu sistem pesantren. Di hari yang fitri, menjadi media temu kembali setelah satu tahun penuh kesibukan, yang jarang bertemu antara kiai dan santri dalam kesatuan sistem. Suasana momentum pertemuan ini dapat merefleksikan rasa rindu antar santri dan menguatkan politik santri versus politik identitas.

NU Mewarisi Obor Kenabian

Obor kenabian bagi para kiai, baik dari nasab Walisongo maupun dari mereka yang digembleng dalam tradisi pesantren, adalah obor yang masih menyala kuat pada gerakan Nahdlatul Ulama untuk pengembangan keilmuan abad pertengahan dan menjaga politik kebangsaan NKRI.

Dalam sistem kebudayaan nusantara, obor ini menyalakan model Islam Nusantara. Semua santri saling memuliakan dan saling memberikan penghargaan, baik mereka yang cerdas dan pintar serta berakhlak yang baik maupun yang berkebutuhan khusus. Di pesantren, para kiai selalu mengajarkan kepada para santri, agar setiap santri tidak mengunggulkan kenasabannya, karena bukan dikatakan pemuda yang mengatakan ini bapak saya, namun yang dikatakan pemuda, adalah yang secara tegas mengatakan, "inilah saya."

Model kemandirian yang diajarkan di pesantren tidak hanya dalam hal belajar, mengatur keperluan belajar dan menata kebersihan pakaian saja, namun juga diajarkan kemandirian dalam hal memberikan pandangan dan pemikiran yang bersumber dari kemampuan pemahaman dan pengalaman intelektual sendiri.

Model ini sangat efektif untuk meneguhkan sikap intelektual para santri di tengah konflik sosial dan menjawab problem masyarakat. Model ini, yang memudahkan para santri mendampingi masyarakat untuk memilih prinsip kebenaran dan rencana setrategis melakukan transformasi budaya.

Model yang diterapkan para kiai pesantren dan NU ini, tidak terlepas dari model yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dan para Walisongo. Dari kilas balik model Nabi Muhammad dapat dipahami, bahwa ketika beliau membawa risalah, selalu menunjukkan rasa sayang yang tinggi kepada umat Islam dan menjadikan prinsip ajaran wahyu sebagai instrumen pertama dan utama dalam mendidik keluarga dan masyarakatnya.

Model ini telah diikuti oleh para Walisongo, yang nota benenya masih memiliki jalur kenasaban dengan Nabi Muhammad. Walisongo memilih mengedepankan membangun pribumisasi Islam dengan konsekuensi menikahkan kenasabannya dengan masyarakat lokal, baik dari kalangan masyarakat umum dan kalangan keluarga kerajaan. Karenanya, sekarang ini dapat dibaca dari geneologi Walisongo sudah banyak membaur dengan geneologi masyarakat lokal.

Para Kiai dalam tradisi pesantren untuk penguatan NU, mengajarkan kepada para santri, mengedepankan ilmu dan adab (man kaana muftakhiran bil maal wannasab wa innama fakharna bil'ilmi wal adab). Mereka yang tidak berilmu dan beradab, dapat diibaratkan bagaikan seorang yang tidak memiliki keindahan hidup dan bagaikan seorang yang yatim, yang ditinggal wafat orang tuanya (laisa al yatim huwa man maata waliduhu innama al yatim bila 'ilmin wal adab).

Secara psikologis, jika seseorang membanggakan nasabnya, sementara tidak mencerminkan kepribadian leluhurnya, maka akan membuat kesan negatif para leluhurnya. Berikut ini, bahaya membanggakan nasab:melemahkan kecerdasan, pemahaman, dan potensi diri atau melemahkan pengembangan pembentukan sikap kepribadian yang baik. Hal ini ditandai dengan ketergantungan diri kepada para leluhur, sehingga tidak ada upaya memperbaiki kekurangan dan kesiapan menghadapi tantangan.


*) Artikel ini ditulis oleh Ubaidillah Achmad, Penulis buku Suluk Kiai Cebolek dan Islam Geger Kendeng, serta khadim Pesantren Bait As Syuffah An Nahdliyah, Desa Sidorejo, Njumput Pamotan, Rembang.