Makam Tuanku Hasyim yang Berada di Masjid Lama Padang Tiji, Pidie

 
Makam Tuanku Hasyim yang Berada di Masjid Lama Padang Tiji, Pidie

LADUNI. ID, SEJARAH-“Kepulangan Tuanku Hasyim ke Bandar Atjeh mendapat sambutan hangat dari istana. Dirinya bersama Panglima Polim dan Imam Lueng Bata diangkat menjadi panglima perang Kerajaan Atjeh”.

Belanda menyebutnya sebagai tokoh yang patut disegani. Lihai, gigih dan keras kepala menjadi ciri khas pria ini. Dia adalah salah satu pejuang Atjeh yang pantang menyerah meski istana dan sultan sudah ditaklukkan.

Namanya Tuanku Hasyim. Dia merupakan salah satu tokoh Aceh yang mendapat tugas dari Sultan Mansyur Syah untuk mengkonsolidasi Sumatera Timur sekitar tahun 1860.

Rencana ini dilakukan untuk menghalangi Belanda. Namun strategi tersebut gagal setelah Sultan Deli yang baru, Sultan Mahmud, menandatangani perjanjian politik dengan Belanda pada 22 Agustus 1862.

Perjanjian politik ini menjadikan Deli sebagai batu loncatan Belanda ke Atjeh. Kekuatan luar yang masih bisa diharapkan Kerajaan Atjeh adalah Asahan.

Strategi memangkas kekuatan militer Belanda ini rupanya telah ditebak oleh kaum imperialis. Asahan berhasil dipatahkan Belanda dan Pangeran Langkat memperteguh kedudukannya.

Satu-satunya daerah yang bisa dipergunakan untuk membendung serangan Belanda yaitu Pulau Kampai. Tuanku Hasyim berhasil mempertahankan Kampai dan mempercayakan kepemimpinan daerah ini kepada Nya’ Asan.

Lantas Tuanku Hasyim menuju Manyak Payet untuk menyusun strategi mematahkan serangan Belanda dari darat.

Guna menyebarkan informasi ke luar negeri, Kerajaan Atjeh kemudian membentuk Panitia Delapan di Penang yang diketuai oleh Tuanku Paya.

Dalam susunan Panitia Delapan ini, Tuanku Hasyim turut terlibat aktif. Setelah mengangkat seorang yang diharapkannya bisa mewakili sebagai kepala pemerintah di Manyak Payet, Tuanku Hasyim berangkat ke Penang.

Saat itu, pengaruh Habib Abdurrahman dan Panglima Tibang masih besar di politik dalam negeri. Tuanku Hasyim mulai menunjukkan perannya di politik dalam negeri setelah Belanda hendak melancarkan agresinya kedua, awal Desember 1873.

H. Mohammad Said dalam bukunya Atjeh Sepanjang Abad jilid dua menyebutkan ketokohan Tuanku Hasyim yang dikagumi oleh Belanda.

Peran Tuanku Hasyim menutup kegagalan Habib Abdurrahman berdiplomasi dengan negara-negara luar untuk membantu Atjeh menghadapi serangan Belanda kedua.

Persiapan perang terus dilakukan di Bandar Atjeh. Beberapa lokasi yang diduga bakal menjadi tempat pendaratan Belanda mulai diperkuat.

Selain Pantai Ceureumen, Belanda diduga akan mendaratkan pasukannya di Kuala Lue, Kuala Gigieng, Tibang dan Kuala Aceh. Persiapan yang dilakukan sebatas menghambat pasukan Belanda mencapai kubu-kubu pertahanan seperti Mesjid Raya, Peunayong dan Lambue.

Sementara di Pekan Atjeh, ribuan pasukan Kerajaan Aceh telah bersiap-siap menghadapi serangan Belanda. Di sini markas Panglima Polim. Dia memimpin langsung prajuritnya dengan persiapan pertahanan khusus.

Di situ ditempatkan beberapa banyak meriam sebagai senjata berat ketika itu. Di antaranya yang terdiri dari meriam sepanjang 2.65 meter dengan kaliber paling besar 0.12 meter.

Di Gunongan juga telah dipersiapkan kubu-kubu untuk menghalau serangan Belanda. Bagian utama Gunongan dibuat kubu-kubu dari tembok tanah yang memanjang merupakan siku dan dilindungi oleh cerocok bambu runcing di balik semak-semak buatan.

Kubu pertahanan yang penting di barat dan utara turut diperkuat untuk menyukarkan musuh melewati sungai (krueng) Aceh. Dari sebelah kanan sungai menghadap kuala Daroi ke timur hingga ke seberangnya Lambue juga disiapkan kubu.

Di segala empat penjuru dinding tebal bagian terdepan Dalam, ditempatkan meriam-meriam besar dari berbagai panjang dan kalibernya, dari besi, logam dan tembaga.

Di bagian utara terpenting sendiri ditempatkan sejumlah 20 buah meriam, masing-masing dari 5.20, 3.15, 12.6, 1.90, 1.42, 2.70, 0.90, 1.10, 1.90, 1.40, 1.50, 4.30, 1.46,2.35,2.32,0.65,1.17, dan 3.78, meter panjangnya dengan paling tinggi kaliber 20 sentimeter.

Sementara yang terbesar ditempatkan di sudut barat/utara, dari 5.20 dari tembaga.

Di tembok barat juga ditempatkan meriam 2.64, 2.45, 1.30, 1.28, 2.60 dan yang terpajang dari 5.52 meter dengan 17 sentimeter kaliber dan terbuat dari tembaga, buatan Turki.

Seterusnya 2.57, 2.30, 1.15, 0.60 meter panjang dengan paling besar berkaliber 12 sentimeter sebagian ditempatkan di sebelah Krueng Daroi. Meriam 2.80 juga ditempatkan di sudut barat istana. Bagian selatan ditempatkan dua buah meriam masing-masing dari 2.33 dan 2.55 meter dengan kaliber 11 dan 12, sementara bagian timur ada tiga meriam dengan 2.80, 2.30, dan 2.38 dengan kaliber paling besar 13 sentimeter.

Lain dari itu di bagian dalam sendiri disediakan 12 pucuk meriam dengan paling panjang 3.50 meter dan paling besar kaliber 19 sentimeter.

Sebetulnya persiapan alat-alat besar ini masih jauh dari memuaskan apalagi jika diingat sebagian meriam-meriam itu buatan kuno, di antaranya termasuk meriam Lada Secupak dari Turki yang berusia 450 tahun.

Alat perlengkapan perang tersebut masih kalah jauh dibandingkan dengan meriam-meriam model baru yang dibawa oleh Belanda. Baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Meriam milik Belanda mampu memuntahkan lima mortirnya dalam waktu semenit.

Jika kekuatan pertahanan luar istana tidak mampu memblokade serangan Belanda, strategi yang dilakukan selanjutnya yaitu membiarkan Dalam dikuasai dengan memberikan sedikit perlawanan. Nantinya, Dalam akan kembali diserang oleh pasukan Kerajaan Atjeh setelah sebelumnya mengosongkan harta-harta dan dokumen penting.

Tuanku Hasyim yang berada di Penang bersama Panitia Delapan mengatur persiapan dan bantuan yang harus ditambahkan ke Atjeh. Namun setelah serangan pertama Belanda dipatahkan, Tuanku Hasyim kembali ke Bandar Atjeh. Kepulangan Tuanku Hasyim ke Bandar Atjeh mendapat sambutan hangat dari istana. Dirinya bersama Panglima Polim dan Imam Lueng Bata diangkat menjadi panglima perang Kerajaan Atjeh. Dia ditunjuk untuk mempertahankan Masjid Raya bersama pasukan-pasukan meriam yang dibantu oleh Panglima Polem di Peukan Atjeh, dan Imam Lueng Bata sebagai penjaga istana.

Sosok Tuanku Hasyim yang patriot turut dikagumi oleh salah satu penulis Belanda, Bruinsma. Dalam bukunya berjudul Verovering Aceh’s Groote Missigit, Bruinsma secara mendetail menyatakan kekagumannya kepada Tuanku Hasyim yang menyebutnya sebagai Osman Pachanya Atjeh.

“De man, die ook leider en de ziel der verdediging was, die als onze onverzoenste vijand gekenschetst wordt, die nooit of nimmer van eenige ounderwerping of zelf eenige toenadering wilde weten en den oorlog a outrance voerde, ook de Kraton genomen en de sultan gestorven was, die door de general van Swieten “de Todleben der Acehers” en door de gids Swensen, den Deen, die langen tijd op Groot Atjeh verblijf gehouden had, de Atjehsche generaal, genoemd wordt, verdient, door wij gaarne hulde brengen aan zijne energie, volharding werkkracht, dapperheid en vaderlandsliefde wel, dat wij het een en ander omtrent hem medeelen.

In 1863 nam een zekere Tuanku ham het eiland Kampai, dat beoosten de rivier Tamiang was gelegen en behoorde aan de sultan van Siak, wederrechtelijk met eenige Atjehers in bezit en versterkte er zich door het bouwen van een benting waarop hij de Atjehsche vlag heesch.

Kwam een Nederlandsch stoomschip in de nabijheid, dan nam de bezetting der benting eene vijandelijke houding van en zelfs weigerde Tuanku ham elke ontmoeting met de resident van Riouw. Die hem daartoe herhaardelijk uitnoodigde.

Tuanku Hasyim was daarbij een man van geboorte. Ya, wij ein digde onze mededeelingen over dien Tuanku Hasyim, de bevelhebber onzer vijanden, den dapperen, beleidvolle verdedigd van de Messigit, met de meening uit te spreken dat zoo hij niet geleefd had, wij ermoedelijk reeds jaren en jaren het rustig bezit van Atjeh zouden geweest zijn”.

Terjemahannya:

“Tokoh yang menjadi pemimpin dan menjadi jiwanya pertahanan yang merupakan musuh kita yang tidak kenal damai, tidak pernah tunduk maupun hendak mendekati dan yang mau berperang terus secara habis-habisan, walaupun sudah jatuh Kraton (Dalam) dan Sultan sudah tewas, tokoh yang disebut oleh jenderal, Swieten “de Todleben der Acehers” – Todleben-nya orang Atjeh-, tokoh yan g menjadi jenderalnya orang Atjeh sebagai yang disebut oleh penunjuk jalan Swensen orang Deen, selayaknya bekerja yang penuh, ke gagah beraniannya, kecintaannya pada tanah air, orang yang ingin kita menceritakannya serba sendiri tentang dirinya.

Dalam tahun 1863 ada seorang bernama Tuanku Itam telah menduduki Pulau Kampai, letaknya di sebelah timur Tamiang dengan secara tidak sah (kata Bruijnsma) karena pulau itu milik Sultan Siak, di perteguhnya benteng itu, di naikkannya bendera Atjeh disana.

Ketika kapal Belanda datang kesana, dia melawan, dan menolak permintaan residen Riau untuk mengadakan perundingan dengan dia.

Bruijnsma menyangka bahwa tokoh Tuanku Hasyimlah yang dimaksud, tokoh Tuanku Itam diatas. Sesudah mempercayakan Pulau Kampai kepada Tuanku Itam, Tuanku Hasyim lalu pergi ke Majapahit, disebelah barat Tamiang, lalu di gemblengnya pula penduduk dari tiga wilayah yang berdekatan sungai Iyu dan Langsa.

Tuanku Hasyim adalah kelahiran berbakat. Yah, kami tutup cerita kami tentang Tuanku Hasyim, panglima perang musuh kita, tokoh yang berani, penuh kebijaksanaan dalam mempertahankan Mesjid Raya, dengan kesimpulan bahwa seandainya dia tidak pernah hidup, agaknya sudah bertahun-tahun lamanya kita memiliki Atjeh dengan tenteram”. Demikian pengakuan pihak Belanda.”

Sejarah kepahlawan Tuanku Hasyim ditutup dengan kematiannya pada 1891, setelah 20 tahun mempertahankan kedaulatan Atjeh. Dia meninggal di Padang Gaham, Padang Tiji dalam Sagi XXII Mukim. Upacara pemakamannya dilakukan dengan khidmat oleh Kerajaan Atjeh.

Di tahun yang sama, Syekh Saman Di Tiro wafat karena racun dan disusul kemudian Panglima Polim Cut Banta. Meninggalnya ketiga tokoh ini turut melemahkan perjuangan Aceh meski di beberapa daerah muncul panglima-panglima besar lainnya seperti Pang Nanggroe, Panglima Nyak Makam, Cut Meutia, Cut Nyak Dhien, Teuku Umar, dan Teungku Chik Tunong.[]

Sumber: Atjeh Sepanjang Abad karya H. Mohammad Said, #Denise_All