Pesan-pesan Cinta dalam HUT Kemerdekaan RI

 
Pesan-pesan Cinta dalam HUT Kemerdekaan RI

Laduni.ID - Hari ini, rakyat Indonesia kembali merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) kemerdekaan Repupbik Indonesia yang ke 74. Usia yang cukup tua bagi ukuran umur manusia, namun masih seumuran jagung bila dibandingkan dengan lamanya bangsa ini terjajah oleh para kolonial, dan panjangnya sejarah perjuangan para pahlawan dalam memerdekaan bangsa ini dari cengkraman para penjajah.

Sebagai ASN yang mengabdikan diri di Kementrian Agama, hari ini saya juga turut dalam upacara hari kemeredekaan Bangsa Indonesia. Pada saat upacara berlangsung, tepatnya menjelang pengibaran bendera Merah Putih dengan diiringi lagu Indonesia Raya, hati ini sempat bergetar dan tak terasa air mata mulai tergenang, walaupun terus kutahan agar tak sampai membasahi pipi. Ingatanku melayang, terbayang begitu besarnya pengorbanan para pahlawan dalam melawan kebengisan para penjajah.

Bukan hanya harta, tenaga dan pikiran saja yang mereka korbankan, akan tetapi darah dan nyawapun mereka relakan, demi melihat sang saka Merah Putih berkibar kokoh, terikat kuat di tiang-tiang bendera di seluruh penjuru negeri. Jutaan nyawa telah melayang, darah para syuhada tumpah membasahi bumi Indonesia. Hanya satu tujuan yang ingin mereka raih, negeri ini harus merdeka, terbebas dari belenggu para penjajah yang menyebabkan kesengsaraan rakyat. Putra-putra bangsa harus mampu mengatur negerinya sendiri tanpa intervensi dan campur tangan pihak asing, yang hanya ingin mengeruk kekayaan bumi pertiwi.

Detik itu, saya juga teringat akan kisah-kisah yang menggambarkan kecintaan nabi Muhammad saw. terhadap tanah airnya. Terlintas kisah sewaktu nabi Muhammad saw bersama beberapa orang sahabatnya harus hijrah, meninggalkan kota Makkah menuju Yatsrib (Madinah), di tengah perjalanan baginda nabi sering kali berucap “al-wathan, al-wathan” (tanah air-tanah air). Beliau seakan berat meninggalkan kampung halamannya, tumpah darahnya yang selama puluhan tahun telah beliau tempati.

Dalam kisah yang lain juga diceritakan -setelah beliau lama menetap di Madinah- maka tiap kali beliau tiba dari perjalanan jauh, beliau pasti akan segera memacu kendaraan yang ditungganginya setelah melihat dinding-dinding kota Madinah, bahkan sampai menggoyang-goyangkan tunggangannya, agar segera sampai ke Madinah. Semua itu dilakukan sebagai bentuk kecintaan beliau terhadap tanah airnya. Terselip rasa rindu yang mendalam di hati beliau, tatkala beberapa waktu lamanya meninggalkan Madinah, kampung halaman ke dua yang beliau cintai. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-`Atsqalani dalam Fath al-Bari pernah berujar, “kisah-kisah ini menunjukkan keutamaan yang dimiliki kota Madinah, sekaligus ajaran untuk memupuk rasa cinta terhadap tanah air dan kerinduan tatkala berpisah dengannya.

Kesadaran akan pentingnya rasa nasionalisme atau kecintaan terhadap tanah air juga tergambar kuat dalam kehidupan salah satu kekasih Allah, Ibrahim `alaihi as-salam. Sejarah mencatat beberapa kali beliau pindah tempat tinggal. Mulai dari Babilonia pindah ke Suriah, pindah lagi ke Palestina, lalu akhirnya menetap di Makkah. Nabi Ibrahim sangat mencintai Makkah. Rasa cinta itu dibuktikan dengan selalu mendoakan kebaikan untuk Makkah. Al-Qur`an banyak merekam untaian doa yang dimunajatkan Ibrahim AS untuk keamanan Makkah serta kemakmuran penduduknya. “Ya TuhanKu, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berilah rezeki dari buah-buahan pada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Alloh dan hari kemudian” (QS.2: 126).

Berkah doa dan kecintaan para kekasih Allah inilah yang kemudian menyebabkan bumi yang gersang itu mampu menjelma sebagai negeri yang maju, aman dan damai, serta penduduknya hidup makmur dalam limpahan rizki yang tak ternilai. Sahabat Umar bin Khattab ra. pernah berkata; “jika bukan karena cinta tanah air, niscaya akan rusak negeri yang jelek (gersang), maka sebab cinta tanah air lah, dibangunlah negeri-negeri” (Tafsir Ruh al-Bayan, Juz 6/441).

Pesan-pesan cinta terhadap tanah air  juga banyak ditorehkan oleh para ulama nusantara dan pejuang kemerdekaan. Dalam sebuah manuskrip yang ditulis tangan oleh Syaikhona Khalil Bangkalan pada tahun 1308 H/ 1887 M,  jauh sebelum negeri ini merdeka, tercatat sebuah tulisan di bagian tepi kitab beliau “hubbu al-authan min al-îmān” (cinta tanah air bagian dari iman).

Spirit kecintaan ini juga beliau tanamkan ke dalam hati para santri-santrinya, yang kelak juga menjadi para ulama dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Hadrotus syekh KH.Hasyim Asy`ari, salah seorang murid Syaihona Kholil Bangkalan, merupakan tokoh utama dibalik lahirnya Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, seruan jihad yang membakar semangat seluruh lapisan rakyat di Jawa Timur terutama di Surabaya, sehingga dengan tegas mereka berani menolak kehadiran Sekutu.

Dalam pidatonya Bung Tomo juga menegaskan; “Kita akan menembak, kita akan mengalirkan darah siapa pun yang merintangi jalan kita! Kalau kita tidak diberi kemerdekaan sepenuhnya, kita akan menghancurkan gedung-gedung dan pabrik-pabrik imperialis dengan granat tangan dan dinamit yang kita miliki, dan kita akan memberikan tanda revolusi, merobek usus setiap makhluk hidup yang berusaha menjajah kita kembali!”

Apa yang dilakukan oleh para tokoh bangsa ini terlahir berkat luapan rasa cinta yang terpatri dalam hati  mereka terhadap negeri ini. Sangat naif kiranya, apabila generasi yang datang belakangan ini abai akan perjuangan dan pengorbanan para pahlawan, apalagi sampai merongrong kedaulatan bangsa dengan mengimpor ideologi luar yang dapat mengancam terjadinya disintegrasi bangsa. NKRI merupakan bentuk final negara ini, Pancasila sebagai pemersatu bangsa, dan Indonesia adalah kita.

Pada akhir upacara tadi, terbersit doa dalam diri semoga kami dikaruniai hati yang damai, yang dipenuhi dengan rasa cinta terhadap tanah air. Dengan luapan rasa cinta ini, maka  tidak akan ada seorang pun dari anak bangsa ini yang menginginkan bangsanya hancur, terpecah belah, penuh konflik, dan saling bermusuhan.  Semoga Indonesia menjadi negara yang maju, aman, damai, sejahtera, dicintai rakyatnya, dan menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.  

Oleh: Buhori - Wakil Ketua PW. GP. ANSOR Kalimantan Barat


Editor: Daniel Simatupang