Pandangan Habib Umar bin Hafidz Tentang Khilafah dan Hubbul Wathon Minal Iman [#Part 2]

 
Pandangan Habib Umar bin Hafidz Tentang Khilafah dan Hubbul Wathon Minal Iman [#Part 2]

LADUNI.ID, Jakarta - Khilafah agung Nabawiyah yang bukan sekadar kekuasaan lahiriah itu kemudian digantikan oleh Ali Zainal Abidin.

Ia benar-benar hiasan indah bagi para ahli ibadah. Perjalanan hidupnya penuh dengan fenomena ibadah. Ia banyak melakukan shalat. Dua pipinya bergaris hitam karena aliran air mata, gambaran rasa takut yang mendalam kepada Allah.

Lalu, apa yang ia lakukan?

Apakah ia berjuang untuk merengkuh kekuasaan?

Apa ia mengajak kaum muslimin untuk membai’atnya?

Apa ia membuat rencana kudeta terhadap penguasa yang ada?

Semua ini tidak terjadi pada Ali Zainal Abidin.

Apakah ia tidak tahu apa-apa tentang agama?

Aku bersaksi bahwa ia termasuk orang yang paling alim mengenai agama. Demi Allah, ia bukan orang bodoh. Dimasanya, ia adalah pewaris agung bagi Rasulullah ﷺ .

Namun demikian, ia menyibukkan hidupnya dengan memperbanyak shalat, membaca Al-Qur-an, menangis, bersedekah, dan berbuat kebajikan kepada orang lain. Ia sama sekali tak pernah menyinggung urusan kekuasaan.

Ia juga tidak pernah memaki-maki, melaknat, dan mengucapkan pernyataan-pernyataan buruk kepada para pembunuh ayah dan saudara-saudaranya.

Inilah khalifah sejati. Inilah yang dilakukan generasi terbaik umat ini. Mereka mengikuti jejak Rasulullah ﷺ, jejak Ahlul Bayt, Sahabat, Tabi’in, dan para pengikut mereka.

Setelah itu, putranya, Muhammad Al-Baqir. Setelah itu, putra Al-Baqir, yaitu Ja’far Ash-Shadiq. Mereka semua meneladani ayah-ayahnya dalam kemuliaan dan jalan ini.

Pada masa itu mereka diikuti oleh para pemuka tabi’in. Bahkan, saat Al-Hasan menyerahkan kekhilafahan lahiriah, masih banyak pemuka sahabat.

Apa pandangan mereka? Adakah mereka menyatakan, “Kami bersama Anda, kami berperang bersama Anda untuk Allah. Sekarang Anda meninggalkan kami dan menyerahkan khilafah kepada orang lain?” Tidak. Al-Hasan patuh (pada tuntunan agama), merekapun ikut patuh.

Tibalah Masa Tabi’in

Saat itu, kekuasaan dipegang oleh Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia dikenal fasik dan buruk.

Saat itu, ada Hasan Al-Bashri, Said bin Al-Musayyib, juga para tabi’in senior. Ada Ali ibnul Husain, juga putra-putra Al-Hasan.

Adakah diantara mereka yang membuat kekacauan? Atau melawan penguasa, atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan teladan para penghulu dan ajaran Rasulullah ﷺ ?

Khilafah Berlanjut. Tibalah masa para Imam, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal.

Apa mereka semua hidup di tengah-tengah kekhilafahan yang lurus atau hidup di tengah-tengah kekuasaan kerajaan?

Apakah mereka memiliki paham bahwa mereka harus membuat rencana untuk menyingkirkan orang-orang yang memiliki kekuasaan itu?

Mereka sibuk menjaga Islam, menjaga syari’at di tengah-tangah umat, dengan segala kesungguhan dan daya upaya.

Mereka mengorbankan waktu, jiwa-raga, dan harta untuk menjelaskan hakikat syari’at kepada umat manusia serta membawa mereka untuk bisa mengamalkannya.

Mereka adalah khalifah terbaik dari Rasulullah ﷺ dan saat itu terdapat begitu banyak tokoh ulama dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

Peran Khilafah Para Nabi

Bagitulah khilafah di tengah-tengah mereka. Bahkan, demikian pula yang kita lihat dalam Al Qur-an dan dijalani para nabi di masa-masa lampau.

Apakah Nuh AS seorang khalifah di atas muka bumi ini?

Ya. Ia khalifah selama 950 tahun.

Lalu apakah kekuasaan berada di tangannya atau di tangan orang-orang kafir?

Selama itu pula ternyata kekuasaan bukan berada ditangannya, tapi tangan orang-orang kafir.

Lalu, apakah tugas khalifah dari Allah hidup atau mati? Tegak di tangan siapa, di tangan orang-orang kafir?

Tidak, khilafah tegak berada di tangan Nabi Nuh AS dan pengikutnya. Padahal yang beriman kepadanya hanya segelintir orang.

Namun, segelintir orang ini memiliki kedudukan dan peran yang besar, hingga Allah memuliakan mereka dengan memusnahkan seluruh umat manusia kecuali yang berada di kapal Nuh.

Itu adalah balasan atas kesabaran dan ketabahannya selama 950 tahun melaksanakan tugas khilafah dengan peran yang sangat baik.

Nabi Musa memikul tugas khilafah dari Allah

Ia mendatangi Fir’aun, dan kekuasaan berada di tangan Fir’aun. Hari pertama, kedua, dan ketiga, muncullah mukjizat-mukjizatnya. Para tukang sihir pun beriman. Mereka menjadi pembela agama Allah dan pasukan Allah.

Mereka juga memikul khilafah dari Allah.
Namun, kekuasaan tetap berada di tangan Fir’aun, sampai datang waktunya kemudian ketika Allah menghancurkan Fir’aun dan bala tentaranya.

Sementara itu, pada kisah khilafah Sayyidina Isa, Bani Israil datang hendak membunuhnya. Allah pun mengangkat Nabi Isa ke langit.

Apakah Nabi Isa seorang khalifah Allah?
Demi Allah, ia adalah seorang khalifah Allah.

Bahkan, termasuk Rasul Ulul ‘Azmi, termasuk utusan Allah yang istimewa.

Begitu pula Sayyidina Ibrahim, ia berada di bawah kekuasaan Namrudz beberapa kali.

Sampai ketika mukjizatnya muncul, ia keluar dari kobaran api yang menjadi dingin dan menjadi keselamatan baginya.

Waktu itu, kekuasaan masih berada di tangan Namrudz, dan Nabi Ibrahim berada di bawah kekuasaan itu. Ia tidak memikirkan soal kulit permukaan kekuasaan ini hingga Allah ﷻ menolongnya.

Inilah poin terpenting dalam tema khilafah, juga pandangan para salaf mengenai hal itu. Sekian banyak nabi pun melewati keadaan ini.

Begitulah pengertian khilafah. Pengertian yang memiliki kaitan erat dengan kewajiban untuk melaksanakan syari’at dalam diri kita, keluarga kita, dan anak-anak kita.

Demikian itu, agar kita tidak melanggar prinsip umum dan prinsip khusus khilafah, juga tidak menghalangi sebab-sebab datangnya pertolongan Allah dengan hal-hal yang diembuskan musuh-musuh Allah yang ingin merusak moral kita. Mereka memasukkan budaya-budaya buruk yang bertentangan dengan syari’at ke tengah-tengah kita.

Semoga Allah menolak keburukan orang-orang kafir dan orang-orang jahat dari kita. Semoga Allah menurunkan berkah kepada kita dan kepada para ulama disini, juga ulama-ulama lain di Indonesia dan di negara-negara lainnya. Yakni, orang-orang yang senantiasa gigih menjaga agama dan syari’at ini dengan upaya yang sempurna.

Dan, hanya Allah-lah yang menganugerahi taufiq dan ampunan.

=================
Pandangan utuh perihal tema khilafah diulas Habib Umar bin Hafizh dengan amat gamblang.

Diantara yang dapat kita petik dari ulasan di atas adalah bahwa tak lagi terselenggaranya kekhilafahan yang lurus setelah 30 tahun pasca-wafatnya Rasulullah ﷺ adalah berita yang disampaikan Rasulullah ﷺ sendiri.

Beliau tahu persis bahwa itu akan terjadi, tapi apa yang beliau pesankan kemudian?

Kepatuhan pada penguasa, sampai penguasa itu sudah tak lagi dapat ditakwil akan kekufurannya.

Sekalipun makna dari redaksi-redaksi kalimat yang terkait dengan kekhilafahan dalam karya-karya ulama salaf kini marak diperdebatkan, nyatanya para ulama salaf itu sendiri tak satupun yang menggalang gerakan khusus untuk mendirikan khilafah yang mencontoh kekhilafahan yang lurus, Khulafa’ Rasyidun.

Kesadaran historis kita pun digugah, “Apakah mereka semua hidup ditengah-tengah kekhilafahan yang lurus ataukah di tengah-tengah kekuasaan kerajaan? Apakah mereka memiliki paham bahwa harus membuat rencana untuk menyingkirkan orang-orang yang memiliki kekuasaan itu?”

Melihat kenyataan sejarah di satu sisi dan dengan asumsi bahwa makna dari redaksi terkait kekhilafahan itu sesuai dengan apa yang disuarakan para Dai penyokong khilafah Islamiyah kini pada sisi lainnya.

Pertanyaan selanjutnya yang pantas diajukan adalah apakah seluruh ulama dari generasi ke generasi itu hanya orang-orang yang pandai berkata-kata lewat karya-karyanya dan enggan berusaha keras demi tegaknya khilafah, sesuatu yang konon termasuk ahammul wajibat (kewajiban yang terpenting)?

Tentu bukan demikian. Mereka tak membuat sebuah gerakan khusus karena mereka paham betul bahwa bukan itu yang dipesankan Rasulullah ﷺ terkait masalah ini.

Saat berbuat, terutama pada kaum muda, seseorang biasanya ingin cepat melihat hasil. Dakwah menyebarkan doktrin wajibnya mendirikan khilafah Islamiyah boleh jadi memiliki latar belakang psikologis semacam itu.

Pemicunya, akumulasi ketidak percayaan terhadap penyelesaian berbagai problematik sosial, ekonomi, politik, budaya yang tak kunjung selesai. Dalam kondisi demikian, ide khilafah Islamiyah datang dengan senyum menggoda diselingi pekik takbir yang menggelora, lalu mulai merayu umat dengan tawaran sebagai satu-satunya solusi umat: "bila khilafah berdiri, insya Allah semua urusan beres. Siapa tak tergiur?

Pola dakwah yang berorientasi pada massa memang biasanya lebih banyak mengandalkan slogan daripada kandungan. Sebab barangkali karena aspek ini lebih mudah dikalkulasi dan didata. Disinilah pentingnya penyadaran bahwa dalam berdakwah, selain bekal keilmuan, kesungguhan, kesinambungan, yang terpenting adalah keikhlasan, sebagai bekal seseorang meraih keridhaan di sisi Allah ﷻ.

Keridhaan Allah inilah ukuran keberhasilan dakwah seseorang, bukan yang lainnya. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah ﷻ tidak melihat kepada fisikmu dan hartamu, tetapi Allah melihat kepada amal dan hatimu.” (HR. Ibnu Majah).

Dalam isi mauizhahnya, Habib Umar sempat menyinggung, “Lalu pada akhirnya khilafah kembali seperti ajaran Rasulullah ﷺ. Ini sesuatu yang akan terjadi, dan telah diberitahukan Rasulullah ﷺ .”  Ia tak memperjelas lebih jauh maksud “akan” disitu, apakah relatif terhadap masa dirinya ataukah masa Rasulullah.

Tampak disini bahwa ia pun tak terjebak dalam perdebatan tentang apakah khilafah yang dikatakan akan kembali seperti ajaran Rasulullah ﷺ ini adalah pada masa Sayyidina Umar bin Abdul Aziz ataukah pada masa menjelang hari kiamat kelak.

Yang ingin Habib Umar tekankan, sebagaimana yang ia katakan selanjutnya, bahwa betapapun, “Kabar tentang khilafah ini tidak bertentangan dengan perintah-perintah Rasulullah terhadap umatnya…”

Pelajaran dari umat-umat terdahulu menunjukkan bahwa, karena kesungguhan mereka mengikuti petunjuk syari’atnya dan melaksanakan tugas khilafah ruhaniyah yang diemban setiap manusia dalam lingkupnya masing-masing dan menjadi penjaga-penjaga syari’at dan ilmu pengetahuan yang setia, pada gilirannya datanglah kemuliaan dan pertolongan dari sisi Allah ﷻ. Contohnya, Nabi Nuh pun hanya mendapat pengikut segelintir orang sebagai hasil dari dakwahnya selama 950 tahun.

Serangkaian tulisan ini menunjukkan bahwa para ulama kita, dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, seperti kalangan Alawiyyin, Nahdhiyyin, dan unsur-unsur umat lainnya di lingkungan Aswaja, pun memahami tema khilafah dengan pandangan seperti ini. Intinya, terus berbuat dan berbuat hal yang nyata di tengah masyarakat secara ikhlas, lillahi Ta’ala.

Bagi mereka, yang penting adalah mengislamkan masyarakatnya, bukan institusi kenegaraannya.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami (Allah)akan melimpahkan keberkahan kepada mereka dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf [7]: 96)

Wallahu a'lam....

Tabik,
=================
Judul asli tulisan ini “Khilafah Yang Tak Butuh Singgasana “Khalifah”. 

Disarikan dari Mau’izhah Habib ‘Umar bin Hafizh di depan Majelis Muwashalah Bayna Al-‘Ulama wa Al-Muslimin di Puncak, Bogor, tahun 2009 | Majalah Alkisah, Tahun X/ No.17/ 20 Agustus – 2 September 2012, hal. 45-57