Pandangan Habib Umar bin Hafidz Tentang Khilafah dan Hubbul Wathon Minal Iman [#Part 1]

 
Pandangan Habib Umar bin Hafidz Tentang Khilafah dan Hubbul Wathon Minal Iman [#Part 1]

LADUNI.ID, Jakarta - Terkait Khilafah, Habib Umar bin Hafidz pernah menjelaskan secara panjang, yang Insya Allah mampu mengobati dahaga kaum Muslimin yang ingin mengetahui tentang Khilafah, apa yang terpenting bagi umat Islam dan bagaimana sikap umat Islam?

Berikut penjelasan Beliau:

Tentang Khilafah, kerancuan pada dua hal yang amat penting:

Pertama, penyempitan makna khilafah, yang hanya pada pelaksanaan hukum Islam melalui kekuasaan.

Kedua, pandangan atas wajibnya menegakkan khilafah ketika sudah ada pemerintahan di tengah-tengah umat.

Mengenai yang pertama, perlu ditegaskan bahwa kata“khilafah” bila dikaitkan dengan agama dan syariat, maknanya tak hanya terbatas pada konteks kekuasaan dengan segala penerapan hukum-hukum publik, sebagaimana makna khilafah secara etimologis yang memang jauh lebih luas.

Al Qur’an menggunakan kata ini, bahkan untuk orang yang berbuat buruk, orang yang menyimpang dari jalan yang benar, juga generasi yang datang setelah para nabi dan rasul, seperti pada ayat,

فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam [19] : 59).

Jadi, mereka adalah generasi pengganti yang tinggal di tempat orang-orang sebelumnya, namun mereka tidak mengikuti prinsip dan perilaku generasi sebelumnya. Sehingga, makna khilafah adalah pergantian seseorang terhadap orang lain dalam konteks apapun.

Mengenai kaitan khilafah dengan urusan agama, juga perlu dipahami bahwa khilafah yang diagungkan dan dinyatakan Allah sebagai keistimewaan khusus Nabi Adam dan anak-cucunya, dalam firman-Nya,

إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً

“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS.Al Baqarah [2] : 30).

Adalah khilafah ruhaniah, keagamaan, dan ketuhanan, bukan sebatas otoritas politik yang mengatur urusan-urusan lahiriah.

Khilafah tersebut terkait erat dengan tugas mengemban amanah sesuai kapasitas dan kemampuan seseorang, dalam konteks menegakkan kebenaran, yaitu syari’at yang telah ditetapkan Allah pada makhluk-Nya. Inilah khilafah yang disinggung dalam Al-Qur-an, ketika meletakkan nenek moyang kita, Nabi Adam AS ke bumi,

فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى

“Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, ia tak akan tersesat dan tidak akan celaka.” (QS. At- Taha [20] : 123).

Mengamalkan tuntutan Allah, melaksanakan perintah, dan menghindari larangan-Nya, itulah arti khilafah yang telah ditugaskan Allah kepada Nabi Adam.

Nabi Adam turun padahal di bumi belum ada bangsa apapun yang bisa menjadi obyek kekuasaan. Ia hanya disertai Ibu Hawa. Lalu, mulai lahirlah putra-putra dari keluarga Adam. Ia menjalani posisinya sebagai orang pertama yang memegang khilafah sebelum adanya bentuk pemerintahan dan kekuasaan publik.

Sejarah terus berlangsung dalam wilayah keluarga itu, yaitu Adam dan putra-putranya. Merekalah yang menghuni bumi. Lalu keturunannya mulai banyak.

Nabi Syits, putra Adam AS, menggantikannya memegang tampuk khilafah. Ia menerima kenabian dan amanat untuk melaksanakan ikrar manusia kepada Allah.

Khilafah merupakan tugas masing-masing diri kita. Tak ada alasan bagi siapapun untuk menganggap remeh hal ini, hingga melalaikan dan meninggalkannya lantaran ketiadaan simbol-simbol fisik khilafah (kekuasaan).

Melepas Khilafah

Jika dikaitkan dengan salah satu jenis kekhilafahan agung Nabi Muhammad ﷺ, khilafah adalah terwujudnya penerapan hukum secara umum, karena kekuasaan dipegang oleh orang-orang jujur, lurus, dan mendapat petunjuk.

Beliau kabarkan, khilafah ini hanya berlangsung 30 tahun terhitung sejak beliau wafat. Ini salah satu mukjizat yang menunjukkan kebenaran beliau sebagai Nabi.

Rasulullah ﷺ menyebut batas waktu.
Tatkala masa 30 tahun itu telah usai dan khilafah semacam ini telah hilang, beliau tidak memberi perintah,

“Memberontaklah kepada para penguasa, perbaiki berbagai masalah, berjuanglah untuk mengganti mereka dengan orang-orang yang mirip dengan masa 30 tahun itu!” Rasulullah ﷺ tidak memerintahkan itu.

Bahkan, meski dalam haditsnya beliau memberi isyarat bahwa cengkeraman kerajaan akan berlangsung lama.
Dalam sebagian riwayat, beliau menyebutnya adhudh (kekuasaan yang suka menggigit).

Dalam kitab Musnad-nya Imam Ahmad, juga dalam Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihaian karya Al-Hakim, disebutkan, Rasulullah ﷺ bersabda, “Khilafah sepeninggalku 30 tahun, kemudian menjadi kerajaan.” (HR.Ahmad)

Mari kita cermati sabda beliau yang menyebutkan secara jelas periode khilafah ini.

Ternyata, 'Ali RA dibunuh pada bulan Ramadhan, sementara Rasulullah wafat pada bulan Rabi’ul Awwal. Untuk sampai 30 tahun, masih ada jeda enam bulan.

Masa enam bulan inilah masa kepemimpinan Al-Hasan bin ‘Ali RA, cucunda Nabi, hingga ia mundur dari khilafah pada bulan Rabi’ul Awwal, persis di akhir masa 30 tahun sebagaimana disebutkan Rasulullah ﷺ .

Lagi-lagi ini merupakan salah satu tanda kenabian, mukjizat agung Rasulullah Muhammad ﷺ , sekaligus pemberitahuan beliau mengenai hal-hal rahasia (ghaib) yang beliau dapat dari Allah ﷻ.

Di Al-Mustadrak juga ada riwayat yang dinyatakan shahih oleh Adz-Dzahabi:

Setelah Al-Hasan mundur sebagai khalifah, ada orang berkata kepadanya, “Orang-orang berkata bahwa Anda menginginkan khilafah.”

Al-Hasan menoleh kepada orang itu. Ia berkata, “Aku meninggalkan jabatan khalifah pada saat orang-orang kuat berada di tanganku. Mereka mengikuti perintahku, siap memerangi orang yang aku perangi dan berdamai dengan orang yang berdamai denganku."

"(Aku meninggalkan khilafah) karena untuk mencari ridha Tuhanku dan menghindarkan pertumpahan darah sesama muslimin. Lalu, apakah aku akan berupaya mendapatkan khilafah dengan keputus-asaan orang-orang Hijaz. Pergilah, aku tidak menginginkan khilafah itu.”

Kisah ini memiliki sanad riwayat yang shahih melalui mata rantai para perawi yang dipercaya oleh Al-Bukhari dan Muslim.

Dalam kisah ini terdapat sebuah penjelasan bahwa mundur dari khalifah pada saat terjadinya perpecahan adalah khalifah sejati. Khalifah hakiki yang diajarkan Nabi ini bersemayam dengan sempurna dalam diri Al-Hasan bin ‘Ali.

Dengan menyerahkan kekuasaan lahiriah, tidak berarti warisan Nabi menjadi berkurang pada dirinya, tidak berarti ada kekurangan pada posisinya sebagai pengganti kakeknya, Muhammad ﷺ.  Justru dengan demikian, Al-Hasan menampakkan ciri khas yang paling agung dari kekhilafahan Rasulullah ﷺ, yaitu dalam wilayah ilmu, taqwa, pekerti, belas kasih, dan perhatian terhadap umat.

Karena itu, sangatlah layak apa yang disabdakan Rasulullah ﷺ mengenai Sayyidina Hasan, “Sungguh anakku (cucuku) ini adalah seorang pemimpin. Allah akan mendamaikan dua kubu besar kaum muslimin dengan perantaranya.”
(HR.Bukhari)

Pandangan Nabawiyyah

Dalam hadits tadi dijelaskan bahwa Nabi mengabarkan, “Masa setelah itu kekuasaan berada di tangan para penguasa yang berbuat hal-hal yang kalian (para sahabat) ingkari. Kalian melihat mereka tidak teguh dalam mengikuti ajaran Islam.”

Mereka (para sahabat) bertanya, “Apa yang engkau (ya Rasulullah) perintahkan kepada kami? Haruskah kami membuat kekhalifahan baru, pemerintahan lain, dan berjuang untuk menyingkirkan mereka?,”

Nabi ﷺ bersabda, “Kalian harus patuh dan taat (kepada pemimpin kalian).” (HR.Bukhari dan Ahmad)

Siapa yang menegaskan hal ini?

Ini bukan gagasan kelompok-kelompok tertentu dalam Islam. Ini adalah arahan dari pemegang kenabian dan kerasulan, seorang yang menerima wahyu dari Allah ﷻ.

Lalu, sampai kapan kami harus patuh pada pemimpin?

“Sampai yang menjadi pemimpin kalian adalah orang yang jelas-jelas kafir, sudah tidak mungkin ditakwil bahwa dia adalah seorang muslim. Atau, orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, mengingkari ajaran-ajaran pokok agama yang sudah pasti. Secara terang-terangan memusuhi agama dan melanggarnya."

Dalam sebuah hadits disebutkan, “Hingga kalian melihat kekufuran yang sangat jelas.” (HR.Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Baihaqi).

Dalam riwayat yang lain, “Selagi mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah kalian.” (HR.Muslim, Ad-Darimi, dan Baihaqi).

Pada riwayat lainnya, “Berikanlah kepada mereka apa yang menjadi hak mereka.
Mintalah kepada Allah apa yang menjadi hak kalian (karena mereka sudah tidak berlaku adil kepada kalian dan tidak memberikan hak-hak kalian)." (HR.Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi)

Batasan-batasan itulah yang Rasulullah sampaikan kepada kita.

Memahami Realitas yang Berbeda

Dalam sebuah hadits, Rasulullah ﷺ  berdo’a, “Ya Allah, curahkanlah rahmat kepada para khalifah/penggantiku.”

Ketika beliau ditanya, siapa para khalifah itu, beliau tidak menggunakan pengertian khilafah seperti saat beliau bersabda, “Khilafah setelahku berlangsung selama 30 tahun," tapi beliau menggunakan pengertian lain tentang khilafah, yaitu khilafah keagamaan.

Beliau bersabda, “Orang-orang yang hidup sepeninggalku, mereka meriwayatkan hadits-haditku dan mengajarkannya kepada manusia.”

Beliau menyatakan, orang-orang yang memiliki perhatian tinggi terhadap sunnah beliau dan mengajarkannya kepada orang lain adalah para khalifah para penerus beliau.

Hal itu diperkuat oleh hadits tentang ulama yang menjadi pewaris para nabi. Juga, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab tafsir bahwa isi dari lafal Ulul Amri yang disebutkan di sebagian ayat adalah para ulama, orang-orang yang dianugerahi ilmu syari’at dan menjadi pemikul amanat ilmu syari’at tersebut.

Misalnya, ayat,

وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ

“…dan kalau mereka menyerahkannya kepada rasul dan ulil amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri).” (QS. 4 : 83).

Menurut pendapat para mufassir, yang dimaksud ulil-amri disini adalah ulama. Sebagaimana jugadalam firman Allah.

أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ

“…taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan Ulil-Maridiantara kalian.” (QS. An-Nisa [4] : 59)

Sementara, mengenai kekuasaan lahiriah, hukumnya dalam syari’at adalah, “Bila mereka memerintah dengan baik, jadi baik bagi mereka dan bagi kalian. Jika mereka memerintah dengan buruk, jadi baik bagi kalian dan jadi buruk bagi mereka.” (HR.Thabrani)

Jadi, dari sunnah Rasulullah ﷺ , kita bisa melakukan pemilahan terhadap dua sikap:

Pertama, meninggalkan khilafah untuk menjaga kemaslahatan kaum muslimin karena memperhatikan kondisi nyata mereka.

Kedua, menolak untuk meninggalkan jabatan khalifah hanya karena tuntutan dari orang-orang bodoh atau menyerahkannya kepada orang yang tidak layak, dengan catatan hal itu tidak menimbulkan kekacauan.

================
Yang Kedua inilah yang disabdakan Rasulullah ﷺ kepada Sayyidina Utsman.

Perhatikanlah, Rasulullah SAW memuji cucunya, Al-Hasan, karena rela melepas kekhilafahan lahiriah demi kebaikan kaum muslimin. Di sisi lain, beliau bersabda kepada Sayyidina Utsman RA, “Mereka hendak melepas baju yang dipakaian Allah kepadamu. Jangan turuti mereka hingga engkau menyusulku.” (HR.Thabrani)

Ada beberapa orang yang datang kepada Utsman RA, memintanya untuk mundur dari khalifah. Ternyata, mereka bukan orang yang layak untuk menggantikan beliau. Sementara itu, kekacauan bukan ditimbulkan karena sikap Utsman RA mempertahankan khalifah. Kekacauan justru timbul jika orang-orang seperti mereka menerima khalifah. Mereka akan mempermainkannya.

Latar belakang dan realitasnya berbeda.
Maka, dalam, kondisi seperti itu, Rasulullah memberikan arahan kepada Utsman RA agar tidak menuruti kemauan mereka hingga akhirnya mereka membunuhnya. Ia mati syahid di jalan Allah sebagai orang yang berdakwah.

Ia terbunuh dalam keadaan membaca Al Qur-an dan tetesan darahnya yang pertama mengenai ayat

فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Maka Allah akan menjaga engkau dari mereka, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah [2]: 137).

Sementara do’a terakhir yang terdengar dari lisannya adalah, “Ya Allah, persatukan umat Muhammad. Ya Allah, persatukanlah umat Muhammad.” Kisah ini dituturkan Al-Ghazali dalam Al-Ihya’ 4/479).

Beberapa orang sahabat dan tabi’in, bila teringat kejadian ini, berkata, “Utsman, semoga Allah merahmatimu. Dalam kondisi genting, perhatianmu masih tertuju pada umat Muhammad. Seandainya engkau berdoa agar mereka tidak bersatu, niscaya mereka tak akan pernah bersatu selamanya.”

Ternyata, didetik-detik ancaman mati dan pembunuhan, yang ada dalam pikirannya adalah umat. Ia memohon kepada Allah agar mempersatukan umat sepeninggalnya. Ia berdoa, “Ya Allah, persatukan umat Muhammad” sampai dua kali. Itu sebabnya, jangan sampai urusan kekuasaan menjadi kekacauan atau mempermainkan agama.

Khilafah Bagi Setiap Muslim

Kita juga tidak bisa sekadar melaksanakan fungsi khalifah hanya yang terkait pada diri kita saja.

Setiap kita memiliki amanat menjadi penerus atau khalifah, dalam mata, telinga, lidah, kelamin, perut, tangan, kaki, dan hatinya. Maka, laksanakanlah kewajiban khalifah dari Rasulullah.

Semua ini adalah hal yang harus engkau pelihara. Engkau pemimpin semua ini, semua urusan-urusannya diserahkan kepadamu. Maka, jadilah penerus yang baik dari Rasulullah dalam memelihara anggota tubuhmu agar selalu mematuhi syari’at dan menerapkan hukum Allah.

Di wilayah lain, engkau memiliki kekuasaan dalam hal-hal yang terkait dengan urusan keluarga, teman, dan tetangga. Juga, dalam hal yang terkait dengan orang yang mendengarkan nasihat darimu, menerima saran dan arahanmu, baik orang dekatmu atau bukan. Laksanakan kewajiban khilafah dalam semua itu.

Menegakkan syariat, dalam bentuk apapun, merupakan khilafah dari Allah dan Rasul-Nya, dalam arti yang umum.

Sedangkan khilafah dalam arti khusus adalah khilafah yang dalam hadits Rasulullah ﷺ yang dinyatakan berlangsung selama 30 tahun setelah wafatnya beliau.

Setelah itu, kerajaan yang menggigit.
Setelah itu, kekuasaan yang diktator.
Inilah yang terjadi pada mayoritas penguasa saat itu.

Lalu pada akhirnya khilafah kembali seperti ajaran Rasulullah ﷺ. Ini sesuatu yang akan terjadi, dan telah diberitakan Rasulullah ﷺ.

Kabar tentang khilafah ini jangan dipertentangkan dengan perintah-perintah Rasulullah terhadap umatnya: Bagaimana mengatur, apa yang harus dilakukan, bagaimana seharusnya menghadapi berbagai persoalan yang terjadi, menghadapi para penguasa, menghadapi rakyat, dan bagaimana bersikap terhadap pihak-pihak yang memiliki hubungan dekat ataupun jauh.

Betapapun, jika misalnya ada kesempatan bagi seseorang untuk membela agama Allah, dalam bentuk apapun, dan dalam sisi kehidupan apapun, ia memiliki tanggung jawab besar untuk melaksanakan kewajiban itu, namun apa yang ia lakukan itu ternyata menimbulkan efek negatif yang lebih besar atau membawa badai besar di tengah-tengah kaum muslimin, tinggalkan dan jauhi hal itu.

Sebab, untuk bisa lebih mempersatukan umat Islam diperlukan langkah-langkah yang lebih lembut dan berdasarkan kasih sayang terhadap umat. Inilah teladan yang diberikan oleh Rasulullah ﷺ. Ini pula yang dijalani oleh para pendahulu umat ini.

Insan-Insan Khalifah Terbaik

Al-Hasan menginginkan perdamaian umat. Ia juga rindu bertemu kakeknya, Rasulullah ﷺ. Maka, tidak ada yang perlu ia cari dengan menggunakan kekuasaan dunia, atau dengan tetap hidup di dunia. Hari-hari berlalu, dan ia tahu bahwa ia diracun, yang mengantarkannya pada kesyahidan.

Khilafah ideal berlalu saat Al-Hasan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia meninggalkan khilafah lahiriah ini hingga wafat.

Ia memilih menjadi khalifah Rasulullah ﷺ dalam menyampaikan kebenaran, memberikan bimbingan, mengajar, memberi petunjuk, berbudi pekerti luhur, bersikap belas kasih dan sifat-sifat mulia lain yang telah dilekatkan oleh Allah dalam dirinya. Inilah buah dari didikan Rasulullah, Muhammad ﷺ.

Kalau kita bercermin pada yang dilakukan adiknya, Al-Husain, setelah itu, mungkin akan ada yang bertanya: Bagaimana bisa Al-Husain keluar (dari Makkah) untuk memenuhi permintaan penduduk Irak (menghadapi “Khalifah” Yazid)?

Beberapa hal yang harus dipahami mengenai keberangkatannya ke Irak. Diantaranya adalah:

Pertama, adanya surat ajakan yang dikirim penduduk Irak dan itu peluang untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang sesuai dengan syari’at. Ternyata mereka menipunya, tidak mempercayainya, mengkhianatinya, dan meninggalkannya. Namun, ia rela.

Kedua, ia sudah memperkirakan pengkhianatan ini. Namun, mati syahid tampak di depan mata. Sepeninggal kakaknya, Al-Hasan, giliran ia yang menyimpan rindu bertemu kakeknya.

Al-Husain membuat keputusan tegas demi kebaikan umat. Juga, agar mereka tahu bahwa ia tak mau tertipu kekuasaan lahiriah, namun juga tak ingin melampaui batas dalam memahami wajibnya patuh kepada penguasa.

Ia ingin mengajari umat agar tidak memiliki dugaan keliru bahwa jika kita sudah diperintah untuk patuh kepada penguasa, kendatipun kita tahu bahwa mereka tidak baik, berarti kita harus meyakini bahwa para penguasa itu adalah orang-orang yang benar dan menjadi landasan dalam berbagai hal. Yang bisa dijadikan landasan adalah ilmu syari’at dan agama Allah.

Jadi, gerakan Al-Husain adalah untuk menjelaskan prinsip ini dengan cara yang sempurna. Dan, telah kami singgung dalam pembahasan tadi, ia memang hendak menerjunkan dirinya ke dalam kesyahidan. Ia begitu rindu untuk bertemu kakeknya.

Demi Allah, kekeliruan terjadi kalau yang melakukan adalah orang-orang seperti kita. Sayyidina Husain tidak sama dengan kita. Orang-orang yang dididik di bawah penjagaan dan pengawasan Rasulullah, mereka adalah teladan bagi umat manusia. Mereka contoh atas kesesuaian perkataan dan tindakan yang benar.

Maka, Sayyidina Husain memberikan penjelasan mengenai perbedaan berbagai hal tersebut, dengan cara maju dan mengorbankan nyawanya untuk menyambut janji Allah kepada Rasul-Nya bahwa suatu saat sekian banyak keluarganya gugur sebagai syahid dalam sehari.

Hal itu menjadi tragedi yang sangat pedih dalam sejarah umat Muhammad ﷺ.

Bersambung...
=================
Baca Selanjutnya...
Pandangan Habib Umar bin Hafidz Tentang Khilafah dan Hubbul Wathon Minal Iman #Part 2