Hari Santri: Ungkap Peran Santri Memerdekakan Indonesia

 
Hari Santri: Ungkap Peran Santri Memerdekakan Indonesia

LADUNI.ID, Jakarta - Mengapa kalangan muslim modernis (Muhammadiyah wa akhawatuha) dan kalangan sosialis (PSI) kecewa kepada kepemimpinan Presiden Jokowi?

Dalam sejarah pertempuran 10 November 1945, awalnya tidak ada yang mau mengakui fatwa & resolusi jihad itu pernah ada. Tulisan Prof. Ruslan Abdul Gani, yang ikut terlibat, resolusi jihad disebut tidak pernah ada.

Bung Tomo yang berpidato teriak-teriak, dalam bukunya juga tidak pernah menyebutkan bahwa fatwa & resolusi jihad pernah ada. Laporan tulisan Mayor Jendral Sungkono juga tidak menyebut pernah ada fatwa & resolusi jihad.

Karena itu, banyak orang menganggap fatwa & resolusi jihad itu hanya dongeng dan cerita orang NU saja.

“Di antara elemen bangsa Indonesia yang tidak memiliki peran dan andil dalam usaha kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia itu hanya golongan pesantren khususnya NU,” itu kesimpulan seminar nasional di PTN besar di Jakarta tentang perjuangan menegakkan Negara Republik Indonesia, pada 2014. Bahkan dengan sinis salah seorang mereka menyatakan, “Organisasi PKI, itu saja pernah berjasa karena pernah melakukan pemberontakan tahun 1926 melawan Belanda. NU tidak pernah.” Aneh.

Pandangan ini juga pernah dianut oleh tokoh-tokoh LIPI. Gus Dur juga mengkonfirmasi bahwa sejarah ulama dan kiai memang sudah lama ingin dilenyapkan. Tahun 1990 ada peringatan 45 tahun pertempuran 10 November. Yang jadi pahlawan besar dalam pertempuran 10 November diumumkan dari golongan itu, yakni orang terpelajar yang berpendidikan tinggi. Nama-nama mereka muncul tersebar di televisi, koran, dan majalah.

“Itu ceritanya, 10 November yang berjasa itu harusnya Kyai Hasyim Asy'ari dan para kiai. Kok bisa yang jadi pahlawan itu wong-wong sosialis?" begitu komentar Nyai Sholihah, ibu Gus Dur.

Dari situlah Gus Dur diminta untuk klarifikasi. Lalu Gus Dur meminta klarifikasi, menemui tokoh-tokoh tua & senior di kalangan kelompok sosialis, mengenai 10 November. Sambil ketawa-ketawa mereka menjawab, “Yang namanya sejarah dari dulu kan selalu berulang, Gus. Bahwa sejarah sudah mencatat, orang bodoh itu makanannya orang pintar!”

“Yang berjasa orang bodoh, tapi yang jadi pahlawan wong pinter. Itu biasa, Gus”, katanya kepada Gus Dur. Gus Dur marah betul dibegitukan. Sampai tahun 90-an NU masih dinganggap bodoh oleh mereka. Tahun 1991 Gus Dur melakukan kaderisasi besar-besaran di kalangan anak muda NU.

Anak-anak santri dilatih mengenal analisis sosial (ansos) dan teori sosial, filsafat, sejarah, geopolitik, dan geostrategi. Semua diajarkan supaya tidak lagi dianggap bodoh. Dan kemudian berkembang hingga kini. “Saya termasuk yang ikut pertama kali kaderisasi itu, karena itu, agak faham,” kata Dr. H. Agus Sunyoto.

Saat penulis sejarah Indonesia menyatakan fatwa dan resolusi jihad tidak ada, Dr. H. Agus Sunyoto menemukan tulisan sejarawan Amerika, Frederik Anderson. Dalam tulisanya tentang penjajahan Jepang di Indonesia selama 1942-1945, ia menulis begini:

Pada 22 Oktober 1945 pernah ada resolusi jihad yang dikeluarkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Surabaya. Tanggal 27 Oktober, Koran Kedaulatan Rakyat juga memuat lengkap resolusi jihad. Koran Suara Masyarakat di Jakarta, juga memuat resolusi jihad.

Peristiwa ini ada, sekalipun orang Indonesia tidak mau menulisnya karena menganggap NU yang mengeluarkan fatwa sebagai golongan lapisan bawah. Sejarah dikebiri. Dokumen-dokumen lama yang sebagian besar berbahasa Belanda, Inggris, Perancis, Jepang, dan sebagainya, dibongkar.

Patahlah semua anutan doktor sejarah yang menyatakan NU tidak punya peran apa-apa terhadap kemerdekaan.

Ketika Indonesia pertama kali merdeka 1945, kita tidak punya tentara. Baru dua bulan kemudian ada tentara. Agustus, September, lalu pada 5 Oktober dibentuk tentara keamanan rakyat (TKR). Tanggal 10 Oktober diumumkanlah jumlah tentara TKR di Jawa saja. Ternyata, TKR di Jawa ada 10 divisi. 1 divisi isinya 10.000 prajurit. Terdiri atas 3 resimen dan 15 batalyon.

Artinya TKR jumlahnya ada 100.000 pasukan. Itu TKR pertama yang nantinya menjadi TNI. Dan komandan divisi pertama TKR itu bernama Kolonel KH. Sam’un, pengasuh pesantren di Banten. Komandan divisi ketiga masih kiai, yakni kolonel KH. Arwiji Kartawinata (Tasikmalaya). Sampai tingkat resimen kiai juga yang memimpin.

Fakta juga, resimen 17 dipimpin oleh Letnan Kolonel KH. Iskandar Idris. Resimen 8 dipimpin Letnan Kolonel KH. Yunus Anis. Di batalyon pun banyak komandan kiai. Komandan batalyon TKR Malang misalnya, dipimpin Mayor KH. Iskandar Sulaiman yang saat itu menjabat Rais Suriyah PCNU Kabupaten Malang. Ini dokumen arsip nasional, ada di Sekretariat Negara dan TNI.

Tapi semua data itu tidak ada di buku bacaan anak SD/SMP/SMA. Seolah tidak ada peran kiai. KH. Hasyim Asy'ari yang ditetapkan pahlawan nasional oleh Bung Karno pun tidak ditulis. Jadi jasa para kiai dan santri memang dulu disingkirkan betul dari sejarah berdirinya Republik Indonesia ini.

Waktu itu, Indonesia baru berdiri. Tidak ada duit untuk membayar tentara. Hanya para kiai dengan santri-santri yang menjadi tentara dan mau berjuang sebagai militer tanpa bayaran. Hanya para kiai, dengan tentara-tentara Hizbullah yang mau berkorban nyawa tanpa dibayar. Sampai sekarang pun, NU masih punya tentara swasta namanya Banser, yang juga tidak dibayar.

Tentara itu baru menerima bayaran pada tahun 1950. Selama 45 sampai perjuangan di tahun 50-an itu, tidak ada tentara yang dibayar negara. Kalau mau sedikit berpikir, pertempuran 10 November 1945 di Surabaya adalah peristiwa paling aneh dalam sejarah. Kenapa? Kok bisa ada pertempuran besar yang terjadi setelah perang dunia selesai 15 Agustus 1945.

Sebelum pertempuran 10 November, ternyata ada perang 4 hari di Surabaya, yakni 26, 27, 28, 29 Oktober 1945. Kok ‘ujug-ujug’ muncul perang 4 hari ini ceritanya bagaimana? Jawabnya: Karena sebelum 26 Oktober, Surabaya bergolak, yakni setelah ada fatwa resolusi jihad PBNU pada tanggal 22 Oktober. Kini diperingati sebagai Hari Santri.

Tentara Inggris sendiri aslinya tidak pernah berpikir akan berperang dan bertempur dengan penduduk Surabaya. Perang selesai kok. Begitu pikirnya. Tapi karena masyarakat Surabaya terpengaruh fatwa dan resolusi jihad, mereka siap menyerang Inggris, yang waktu itu mendarat di Surabaya. Sejarah inilah yang selama ini ditutupi.

Jika resolusi jihad ditutupi, orang yang membaca sekilas peristiwa 10 November akan menyebut tentara Inggris ‘ora waras’. Ngapain mengebomi kota Surabaya tanpa sebab? Tapi kalau melihat rangkaian ini dari resolusi jihad, baru masuk akal. “Oya, marah mereka karena jenderal dan pasukannya dibunuh arek-arek Bonek Suroboyo”.

Fatwa Jihad muncul karena Presiden Soekarno meminta fatwa kepada PBNU: apa yang harus dilakukan warga Negara Indonesia kalau diserang musuh mengingat Belanda ingin kembali menguasai. Bung Karno juga menyatakan bagaimana cara agar Negara Indonesia diakui dunia. Sejak diproklamasikan 17 Agustus dan dibentuk 18 Agustus, tidak ada satu pun negara di dunia yang mau mengakui.

Oleh dunia, Indonesia diberitakan sebagai negara boneka bikinan Jepang. Bukan atas kehendak rakyat. Artinya, Indonesia disebut sebagai negara yang tidak dibela rakyat. Fatwa dan Resolusi Jihad lalu dimunculkan oleh PBNU. Gara-gara itu, Inggris yang mau datang 25 Oktober tidak diperbolehkan masuk Surabaya karena penduduk Surabaya sudah siap berperang.

Ternyata sore hari, Gubernur Jawa Timur mempersilakan. “Silahkan Inggris masuk tapi di tempat yang secukupnya saja”. Ditunjukkanlah beberapa lokasi, kemudian mereka masuk. Tanggal 26 Oktober, ternyata Inggris malah membangun banyak pos-pos pertahanan dengan karung-karung pasir yang ditumpuk & diisi senapan mesin.

“Lho, ini apa maunya Inggris. Kan sudah tersiar kabar luas kalau Belanda akan kembali menguasai Indonesia dengan membonceng tentara Inggris,” begitu kata arek-arek. Pada 26 Oktober sore hari, pos pertahanan itu diserang massa. Penduduk Surabaya dari kampung-kampung keluar ‘nawur’ pasukan Inggris. “Ayo ‘tawur..tawuran...!”

Para pelaku mengatakan, itu bukan perang mas, tetapi tawuran. Kenapa? Gak ada komandanya, tidak ada yang memimpin. “Pokoke wong krungu jihad..
jihad… Mbah Hasyim.. Mbah Hasyim…”. Berduyun-duyun, arek-arek Suroboyo sudah keluar rumah semua dan langsung tawur sambil teriak ‘Allahu Akbar’ dan itu berlangsung 27 Oktober.

Mereka bergerak karena seruan jihad Mbah Hasyim itu disiarkan lewat langgar-langgar, masjid-masjid, dan speaker-speaker. Pada 28 Oktober tentara ikut arus arek2-arek, ikut gelut dengan Inggris. Massa langsung dipimpin tentara. Dalam pertempuran 28 Oktober ini 1000 lebih tentara Inggris mati dibunuh.

Tapi tentara tidak mau mengakui karena Indonesia meski sudah merdeka, belum ada yang mengakui. Itu jadi urusan besar tingkat dunia jika ada kabar tentara Indonesia bunuh Inggris. Tentara tidak mau ikut campur. Negara belum ada yang mengakui kok sudah klaim bunuh tentara Inggris. Itu semua ikhtiyar arek-arek Suroboyo kabeh.

Pada 29 Oktober pertempuran itu masih terus terjadi. Inggris akhirnya mendatangkan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk mendamaikan. Pada 30 Oktober ditandatanganilah kesepakatan damai tidak saling menembak. Yang tanda tangan Gubernur Jatim juga. Sudah damai, tapi massa kampung tidak mau damai.

Pada 30 Oktober akhirnya Brigadir Jenderal Mallaby digranat arek-arek Suroboyo. Mati mengenaskan di tangan pemuda Ansor. Ditembak dan mobilnya digranat di Jembatan Merah. Sejarah kematian Mallaby ini tidak diakui oleh Inggris. Ada yang menyebut Mallaby mati dibunuh secara licik oleh Indonesia. Aneh, jenderal mati tapi disembunyikan penyebabnya karena malu.

Inggris marah betul. Masa negara kolonial kalah. Mereka malu dan bingung. Perang sudah selesai, tapi pasukan Inggris kok diserang, jenderalnya dibunuh. Apa ini maksudnya? “Kalau sampai tanggal 9 Nopember jam 6 sore pembunuh Mallaby tidak diserahkan, dan tanggal itu orang-orang Surabaya masih yang memegang bedil, meriam dst. tidak menyerahkan senjata kepada tentara Inggris, maka tanggal 10 Nopember jam 6 pagi Surabaya akan dibombardir lewat darat, laut, dan udara," begitu amuk jenderal tertinggi Inggris.

Datanglah tujuh kapal perang langsung ke Pelabuhan Tanjung Perak. Meriam Inggris sudah diarahkan ke Surabaya. Diturunkan pula meriam Howidser yang khusus untuk menghancurkan bangunan. Satu skuadron pesawat tempur dan pesawat pengebom juga siap dipakai. Surabaya kala itu memang mau dibakar habis karena Inggris marah kepada pembunuh Mallaby.

Pada 9 November jam setengah empat sore, Mbah Hasyim yang baru pulang usai Konferensi Masyumi di Jogja sebagai ketua, mendengar kabar arek-arek Suroboyo diancam Inggris. “Fardhu a'in bagi semua umat Islam yang berada dalam jarak 94 kilometer dari Kota Surabaya untuk membela Kota Surabaya.” Ukuran 94 kilometer itu adalah jarak dibolehkannya meng-qoshor dan men-jamak salat.

Wilayah Sidoarjo, Tulungagung, Trenggalek, Kediri, wilayah Mataraman, Mojokerto, Malang, Pasuruan, Jombang datang semua karena dalam jarak radius 94 kilometer. Dari Kediri, Lirboyo ini datang dipimpin Kyai Mahrus. Seruan Mbah Hasyim langsung disambut luar biasa. Bahkan Cirebon yang lebih dari 500 kilometer datang ke Surabaya ikut seruan jihad PBNU.

Anak-anak kecil bahkan orang-orang dari lintas agama juga ikut berperang. Orang Konghucu, Kristen, dan Budha semua ikut berjihad. Selain Mallaby, yang juga terbunuh dalam pertempuran di Surabaya adalah Brigadir Jendral Loder Saimen. Luar biasa pengorbanan arek-arek Surabaya, para kiai, dan santri. Tapi lihat, apa yang dilakukan pemerintah di kemudian hari kepada para kiai ini? Dimanipulasi.

Demikian uraian KH. Dr. Agus Sunyoto saat menghadiri bedah buku "Fatwa dan Resolusi Jihad" di Pondok Lirboyo, 3 November 2017