Biografi KH. Abdul Djalil Mustaqim

 
Biografi KH. Abdul Djalil Mustaqim
Sumber Gambar: foto istimewa

Daftar Isi

1        Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1     Lahir
1.2     Wafat

2        Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1     Mengembara Menuntut Ilmu
2.2     Guru-Guru
2.3     Mengasuh Pesantren

3        Karier
4        Karomah
5        Referensi

1.   Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Lahir
KH. Abdul Djalil Mustaqim lahir di Tulungagung pada tanggal 20 Juni 1943, putra dari KH. Mustaqim Husain yang juga seorang mursyid dan seorang pejuang kemerdekaan. Sejak masa kanak-kanak, beliau belajar agama pada Ayahandanya sendiri.

1.2  Wafat
Kyai Abdul Djalil kembali ke hadirat Allah SWT sekitar pukul 01.30 dini hari, pada Jum’at Wage 07 Januari 2005. Sebelum wafat, beliau mengalami sakit selama tujuh hari dan dirawat di Rumah Sakit ORPEHA, Tulungagung.

Kyai Abdul Djalil dimakamkan di dalam kawasan Pondok PETA Tulungagung bersama ayahandanya KH. Mustaqim bin Husain.

2.  Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1   Mengembara Menuntut Ilmu
Sejak kecil, KH. Abdul Djalil Mustaqim dididik langsung oleh kedua orang tuanya. Di samping itu, beliau juga belajar ilmu dasar-dasar agama seperti mengaji Al-Qur’an, Fiqih, Akhlak kepada KH. Ahmad Suja’i, seorang tokoh agama yang tidak jauh dari rumahnya serta bersekolah di SMDP Tulungagung.

Setelah lulus dari SMDP Tulungagung sekitar tahun 1958, pada akhir 1959 di usianya yang ke-16 tahunan, KH. Abdul Djalil Mustaqim memperdalam ilmu agama di Pesantren Al-Falah Ploso Mojo Kediri selama dua tahun di bawah asuhan KH. Achmad Djazuli Utsman, saat itu ia menempati di Komplek Darussalam atau komplek “D”.

Setelah belajar ilmu agama di Pondok Al-Falah Ploso Mojo Kediri selama dua tahun, tepatnya di tahun 1961, KH. Abdul Djalil Mustaqim pindah ke pesantren Mojosari Nganjuk di bawah asuhan KH. Manshur yang mana ia merupakan pengganti KH. Zainuddin Mojosari yang terkenal menjadi wali agung.

Selain menjadi santri di Mojosari, KH. Abdul Djalil Mustaqim juga sempat nyambi kuliah di Jurusan Bahasa Arab IAIN Tulungagung. Namun tidak sampai tuntas karena hanya berlangsung selama dua tahun. Ketika itu, kakaknya, KH. Arif Mustaqim menjadi salah satu dekan di kampus tersebut.

2.2  Guru-guru
Guru-guru beliau saat menuntut ilmu, di antaranya:
1. KH. Mustaqim Husain
2. KH. Ahmad Suja’i
3. KH. Achmad Djazuli Utsman
4. KH. Manshur

2.3  Mengasuh Pesantren
Setelah wafatnya ayahnya, KH. Abdul Djalil Mustaqim mengambil alih kepemimpinan Pesantren PETA. Beliau memimpin pondok tersebut selama 35 tahun hingga wafat di usia 63 tahun. Selama masa kepemimpinannya, KH. Abdul Djalil Mustaqim memperkenalkan dan mengadakan majelis kliwonan, yang dilaksanakan pada malam Jum'at Kliwon. Acara ini diadakan setiap selapanan (35 hari sekali) dan terdiri dari berbagai amaliyah seperti shalat sunnah, pembacaan aurod Syadziliyah, dan pengajian.

Acara kliwonan menjadi kegiatan rutin yang penting bagi seluruh anggota tarekat Pondok PETA dari berbagai wilayah, yang dihimbau untuk datang ke pondok setiap selapan sekali. Tradisi ini masih terus berjalan hingga sekarang, di bawah kepemimpinan KH. Charir Sholachuddin sebagai mursyid. Tradisi ini menunjukkan kesinambungan dan keberlanjutan ajaran tarekat dan amaliyah di Pondok PETA, menjaga semangat keagamaan dan persaudaraan di antara para santri dan anggota tarekat.

3. Karier
1. Pengasuh pesantren pesantren PETA Tulungagung
2. Mursid Tarekat

4.  Karomah
Sejak kecil, KH. Abdul Djalil Mustaqim sudah menunjukkan perbedaan dibandingkan anak-anak lainnya. Beliau dianugerahi Allah terbukanya mata hati (mukasyafah), sehingga ketika menuntut ilmu agama di Pesantren Mojosari Nganjuk, beliau pernah mendengar suara dari dalam kubur.

Pada suatu hari, ketika KH. Abdul Djalil Mustaqim sedang melewati pemakaman umum di desa tetangga Mojosari, tiba-tiba ada suara yang memanggil namanya. Suara itu, menggunakan bahasa Jawa, memohon pertolongan, “Mbah Djalil, ke sini, saya minta tolong.”

Kemudian, KH. Abdul Djalil Mustaqim mendekati sumber suara tersebut. Ternyata, suara itu berasal dari makam seorang perempuan yang menyampaikan permohonannya agar kyai berkenan menemui anaknya yang bernama Fulan, yang tinggal di desa ini.

“Mbah Djalil, tolong sampaikan kepada anak saya agar mengirimi doa (selamatan/hajatan) untuk saya, sebab sudah lama ia tidak mengirim doa untuk saya.”

KH. Abdul Djalil Mustaqim kemudian menemui Fulan yang dimaksud oleh almarhumah. Setelah diceritakan panjang lebar, Fulan terkejut karena memang sudah lama tidak mengirimkan doa untuk almarhumah ibunya melalui selamatan atau hajatan.

Setelah Fulan mengadakan selamatan untuk ibunya, beberapa hari kemudian, ketika KH. Abdul Djalil Mustaqim melewati pemakaman umum itu lagi, beliau dipanggil oleh si mayit yang mengucapkan terima kasih dan menyampaikan bahwa anaknya sudah berkirim doa untuknya.

Selain peristiwa tersebut, ada juga kisah lain yang diceritakan langsung oleh H. Ali Imron bin Ghozali dari Ringinrejo, Kediri.

Pada suatu hari, KH. Abdul Djalil Mustaqim dan H. Ali Imron sedang menunggu di sebuah gubuk yang disediakan untuk orang-orang yang akan menaiki perahu getek. Setelah perahu hampir penuh, tukang perahu mengajak mereka untuk naik, tetapi KH. Abdul Djalil Mustaqim tidak bersedia dan berkata, “Sudah, kamu berangkat saja dahulu, saya nanti saja. Ini, rokok.”

Beliau kemudian menyuruh H. Ali Imron memberikan sebungkus rokok kepada tukang perahu tersebut. Ketika perahu sudah di tengah Sungai Brantas, KH. Abdul Djalil Mustaqim mengajak H. Ali Imron menyeberang dengan berjalan kaki sambil terus-menerus membaca shalawat.

Mereka berdua kemudian turun ke sungai dan berjalan menuju seberang. Kaki mereka hanya terendam air hingga bawah lutut, padahal kedalaman sungai itu bisa mencapai tiga hingga empat meter. Melihat kejadian tersebut, tukang perahu dan semua penumpang menjadi takjub luar biasa.

5.  Referensi
Biografi KH. Abdul Djalil Mustaqim


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 20 Juni 2024, dan diedit kembali dengan penyelarasan bahasa tanggal 07 Januari 2025.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya