Perkara yang Membolehkan Mengadakan Shalat Jum’at di Beberapa Tempat

 
Perkara yang Membolehkan Mengadakan Shalat Jum’at di Beberapa Tempat
Sumber Gambar: Foto Chattrapal Shitij Singh / Pexels (ilustrasi foto)

Laduni.ID, Jakarta - Dalam setiap ibadah terdapat prosedur hukum syara yang harus dipenuhi agar nilai ibadah tersebut sah dan sempurna. Seperti halnya dalam pelaksanaan shalat Jum'at terdapat berbagai shyarat dan rukun yang harus dipenuhi. Salah satu hal yang cukup sering menjadi perbincangan dan yang menjadi pertanyaan banyak orang adalah bagaimana hukum melakasanakan shalat Jum'at lebih dari satu dalam satu desa atau yang lebih dikenal dengan istilah ta’addud al-jum'at.

Dalam persoalan hukum melaksanakan shalat Jum'at yang lebih dari satu dalam satu desa, terdapat berbagai pandangan dari ulama lintas madzhab. Pertama adalah pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i, dua jumatan dalam satu desa tidak diperbolehkan kecuali ada hajat. Kedua pendapat Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani yang menetapkan hukum boleh dengan syarat tidak menimbulkan fitnah. Ketiga pendapat Syekh Isma’il Zain diperbolehkan asalkan jamaah tidak kurang dari 40 orang di masing-masing tempat. Selengkapnya silakan baca Hukum melakasanakan shalat Jum'at lebih dari satu dalam satu desa.

Lalu bagaimana jika dalam pelaksanaan shalat Jum'at terdapat Masyaqqah yang mengharuskan adanya ta'addud al-jum'at?

Baca Juga: Khutbah Jumat: Islam dan Perintah Mencintai Tanah Air

Masyaqqah ialah kesukaran berkumpulnya penduduk yang berkewajiban shalat Jum’at dalam suatu tempat karena berjauhan tempat tinggal mereka dari mesjid dengan jarak 1 mil syar’i, yaitu jarak 24 menit dengan jalan kaki biasa atau jarak 1666,667 meter. Dibolehkannya melaksanakan ta'addud al-jum'at dengan syarat adanya Masyaqqah sebagaimana dijelaskan dalam kitab berikut:

1. Kitab Al-Hawasy Al-Madaniyah karangan Syekh Muhammad Sulaiman Al-Kurdi syarah dari kitab Al-Minhaj Al-Qowwim karangan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami

قَالَ حَتَّى لَوْ كَانُوا ثَمَانِينَ مَثَلًا وَعَسُرَ اجْتِمَاعُهُمْ فِي مَكَانٍ بِسَبَبٍ وَاحِدٍ مِنْهُ فَقَطْ بِأَنْ سَهُلَ اجْتِمَاعُ مَا عَدَا وَاحِدًا وَعَسُرَ اجْتِمَاعُ الْجَمِيعِ أَنَّهُ يَجُوزُ التَّعَدُّدُ فَضَابِطَ الْعُسْرِ كَمَا فِيْ التُّحْفَةِ أَنْ يَكُونَ فِيهِ مَشَقَّةٌ لَا تُحْتَمَلُ عَادَةً وَ فِي الْعُبَابِ إمَّا لِكَثْرَتِهِمْ أَوْ لِقِتَالٍ بَيْنَهُمْ أَوْ لِبُعْدِ أَطْرَافِ الْبَلَدِ قَالَ فِي الْإيعَابِ وَحَدُّ الْبُعْدِ كَمَا فِي الْخَارِجِ عَنْ الْبَلَدِ أَيْ بِأَنْ يَكُونَ مَنْ بِطَرَفِهَا لَا يَبْلُغُهُمْ الصَّوْتُ بِشُرُوطِهِ الْآتِيَةِ .

"Ibn Hajar berkata: Sehingga meskipun andaikan jumlah mereka mencapai 80 orang misalnya, mereka sulit berkumpul dan menjadi satu di suatu tempat yang disebabkan salah seorang saja yang tidak bisa ikut shalat di situ. Yakni mereka mudah berkumpul kecuali hanya seorang saja yang tidak. Dan sulitnya berkumpul semua tersebut membolehkan adanya ta’addud (mendirikan jum’atan lebih dari satu). Maka, standar sulit berkumpul seperti keterangan dalam al-Tuhfah adalah dalam berkumpul itu akan menimbulkan masyaqqah (kesulitan) yang tidak mungkin dibiarkan. Dalam kitab al-‘Ubab disebutkan: “Masyaqqah itu dapat terjadi karena banyaknya jumlah jamaah, pertikaian di antara mereka, atau jauhnya jarak antara masing-masing ujung daerah jum’tan tersebut. Dalam kitab al-I’ab Ibn Hajar berkata: “Standar jauh seperti orang yang berada di luar daerah jum’atan, artinya orang yang berada di ujung daerah tersebut tidak mendengar suara adzan dengan syarat-syarat yang akan disebutkan"

Baca Juga: Hukum Mendirikan Shalat Jum’at Kurang dari 40 Orang

2. Kitab Tuhfah Al-Habib / Hasyiyah Al-Bujairimi karya Syekh Sulaiman Al-Bujairimi

ثُمَّ عُسْرُ الِاجْتِمَاعُ إمَّا لِكَثْرَتِهِمْ قَالَ فِي الْأَنْوَارِ أَوْ لِقِتَالٍ بَيْنَهُمْ أَوْ بُعْدِ أَطْرَافِ الْبَلَدِ أَيْ بِأَنْ يَكُونَ مَنْ بِطَرَفِهَا لَا يَبْلُغُهُمْ الصَّوْتُ بِشُرُوطِهِ الْآتِيَةِ كَمَا ذَكَرَهُ فِي الْعُبَابِ وَشَرْحِهِ وَعِبَارَةُ أج وَمِنْ الْحَاجَةِ مَا لَوْ كَانَ بَيْنَ أَهْلِ الْبَلَدِ قِتَالٌ فَكُلُّ فِئَةٍ بَلَغَتْ أَرْبَعِينَ يَلْزَمُهَا الْجُمُعَةُ وَلَوْ بَعُدَتْ أَطْرَافُ الْبَلَدِ وَكَانَ الْبَعِيدُ بِمَحَلٍّ لَا يَسْمَعُ مِنْهُ نِدَاءَهَا وَكَانَ إذَا خَرَجَ عَقِبَ الْفَجْرِ لَا يُدْرِكُهَا ، لِأَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ السَّعْيُ إلَيْهَا إلَّا بَعْدَ الْفَجْرِ وَحِينَئِذٍ فَإِنْ اجْتَمَعَ مِنْ أَهْلِ الْمَحَلِّ الْبَعِيدِ أَرْبَعُونَ صَلَّوْا الْجُمُعَةَ وَإِلَّا فَالظُّهْرَ وَتَقَدَّمَ أَنَّهُ لَا يُشْتَرَطُ سَمَاعُ الْأَذَانِ لِمَنْ فِي الْبَلَدِ بَلْ يُشْتَرَطُ سَمَاعُ مَنْ بِخَارِجِهَا.

"Lalu, sulit berkumpul dapat disebabkan karena jumlah yang banyak. Dalam kitab Al-Anwar Syaikh Yusuf bin Ibrahim Al-Ardabilli berkata: “Atau sebab adanya pertikaian antara mereka, atau karena jauhnya batas-batas daerah.” Maksudnya orang yang tinggal di batas daerah tidak bisa mendengar adzan dengan syarat-syarat seperti yang disebutkan al-Nawawi dan Ibnu Hajar dalam kitab Al-‘Ubab dan Syarhnya (Al-I’ab). Dan ungkapan Al-Ajuhuri: “Dan termasuk hajat, bila terjadi pertikaian di antara penduduk suatu daerah, sementara setiap kelompok dari mereka jumlahnya mencapai 40 orang, maka mereka wajib shalat Jum’at. Dan bila batas daerahnya berjauhan, sementara orang yang jauh tinggal di daerah yang dari situ mereka tidak bisa mendengar suara adzan, dan ketika mereka berangkat setelah terbit fajar maka sudah tidak bisa mengikutinya, sebab mereka tidak wajib pergi shalat Jum’at kecuali pergi setelah terbit fajar. Dalam kondisi tersebut, bila penduduk yang tinggal di tempat jauh mencapai jumlah 40 orang, maka mereka dapat mengadakan shalat Jum’at dan apabila tidak maka mereka wajib mengerjakan shalat Dzhuhur. Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa tidak disyaratkan mendengar suara adzan (Jum’at) bagi penduduk yang berada di dalam daerah, tetapi disyaratkan bagi penduduk yang tinggal di luar daerah"

Wallahu A'lam


Referensi: Kitab Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam No. 118