Hukum Shalat Jumat Lebih dari Satu Pada Satu Desa

 
Hukum Shalat Jumat Lebih dari Satu Pada Satu Desa
Sumber Gambar: Ilustrasi (foto ist)

Laduni.ID, Jakarta - Dalam melaksanakan shalat Jumat memiliki syarat dan ketentuan yang berbeda dengan shalat Zuhur, yaitu harus dilaksanakan secara berjamaah. Dan jumlah jamaah tidak boleh kurang dari 40 orang penduduk yang bermukim tetap.

Di lain sisi, selain syarat di atas, jamaah shalat jumat tidak boleh dilakukan secara ganda dalam satu perkampungan atau desa yang disebut dengan ta’addud. Misalkan dalam satu desa terdapat dua masjid dan dua-duanya melakukan shalat jumat, maka tidak diperbolehkan.

Adapun harus melaksanakan shalat jumat ganda atau bergantian dalam satu perkampungan atau desa, harus memenuhi beberapa ketentuan yang memperbolehkannya ta’addudul jum’ah.

Dalam permasalahan ta’addud jumat (lebih dari satu) ini terdapat tiga pendapat ulama sebagai berikut:

Pertama, yaitu pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i, dua jumatan dalam satu desa tidak diperbolehkan kecuali ada hajat.

Pendapat ini bertendensi bahwa Nabi dan khulafa’ al-Rasyidin setelahnya tidak menjalankan Jumat kecuali dalam satu tempat. Nabi sendiri memerintahkan agar umatnya melakukan shalat sebagaimana shalat beliau. Syekh abu al-Husain Yahya bin Abi al-Khair al-‘Umrani mengatakan:

“Dalil kita adalah bahwa Nabi dan para khalifah setelahnya tidak mendirikan Jumat kecuali dalam satu tempat, dan sesungguhnya Nabi bersabda, shalatlah sebagaimana kalian melihat caraku melakukan shalat.” (Syekh Abu al-Husain Yahya bin Abi al-Khair al-‘Umrani, al-Bayan, juz 2, halaman 620).

Sedangkan jika terdapat hajat, maka diperbolehkan. Hajat yang memperbolehkan berdirinya lebih dari satu Jumat dalam satu desa ada tiga. Pertama, sempitnya tempat shalat sekiranya tidak dapat menampung seluruh jamaah Jumat. Kedua, konflik internal di antara penduduk desa. Ketiga, jauhnya jarak menuju tempat Jumatan, adakalanya karena berada pada sebuah tempat yang tidak dapat terdengar azan Jumat di tempat tersebut, atau berada pada tempat yang seandainya seseorang berangkat dari tempat tersebut setelah terbit fajar, maka ia tidak dapat menemui Jumat.

Pendapat kedua, versi Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani yang menetapkan hukum boleh dengan syarat tidak menimbulkan fitnah. Syekh al-Sya’rani berargumen bahwa ‘illat mengapa para sahabat dan khalifah terdahulu tidak melaksanakan dua Jumat satu desa karena khawatir menimbulkan fitnah, sebab keadaan pada waktu itu menuntut orang Islam bersatu dalam satu komando imam besar, sehingga apabila ada kelompok yang membuat jumatan tandingan, maka akan menimbulkan stigma negatif dan kekacauan bahwa ada kelompok yang membelot dari al-imam al-A’zham. Potensi fitnah yang demikian seiring berjalannya waktu, sudah hilang, dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan bila diadakan dua jumatan dalam satu desa. Maka, menurut al-Sya’rani pendirian dua Jumatan dalam satu desa sah-sah saja sepanjang tidak menimbulkan fitnah. Di sisi yang lain, menurut al-Sya’rani, tidak ada dalil yang secara tegas melarang pendirian dua jumat dalam satu tempat.

Beliau menegaskan: “Saat substansi pelarangan ini hilang, yaitu kekhawatiran fitnah, maka diperbolehkan berbilangnya jumat sesuai dengan hukum asal pendirian shalat jamaah. Yang demikian ini barang kali yang dikehendaki Imam Daud dalam statemennya, sesungguhnya Jumat seperti shalat-shalat lainnya. Kesimpulan ini dikuatkan dengan fakta bahwa terjadi berbilangnya jumatan di sekian tempat tanpa berlebihan dalam meneliti penyebabnya, barangkali ini yang dikehendaki syari’at. Andaikan berbilangnya Jumat dilarang, niscaya tidak diperkenankan sama sekali, karena ada hadits yang melarangnya, meski hanya satu hadits. Dari pertimbangan ini, terlihat jelas esensi syariat untuk memudahkan umat Islam dalam kebolehan berbilangnya jumat di seluruh penjuru dunia, sekiranya hal tersebut lebih memudahkan mereka dibandingkan dengan berkumpul dalam satu tempat Jumat. Maka pahamlah akan hal tersebut.” (Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani, al-Mizan al-Kubra, Semarang, Toha Putera, tt., juz 1, halaman 209)

Pendapat ketiga, versi Syekh Isma’il Zain diperbolehkan asalkan jamaah tidak kurang dari 40 orang di masing-masing tempat.?

Syekh Isma’il al-Zain, ulama bermadzhab Syafi’i dari Yaman berargumen bahwa tidak ada dalil yang tegas atau bahkan yang mendekati tegas, yang melarang pendirian dua Jumat dalam satu desa. Bahkan semakin banyak pendirian Jumat dalam satu desa justru semakin membesarkan syi’ar Islam. Hanya saja, kebolehan pendirian dua jumat atau lebih tersebut disyaratkan masing-masing Jumat terdiri dari minimal 40 jamaah, sebab jumlah tersebut adalah yang sesuai dengan tuntunan hadits Nabi.

Dalam fatwanya, Syekh Isma’il al-Zain mengatakan: “Sebuah permasalahan, apa pendapat anda mengenai berbilangnya jumat dalam satu desa ketika sudah terpenuhinya jumlah minimal jamaah jumat di setiap masjidnya?. Apakah sah jumat mereka atau ada perincian? Beliau menjawab, permasalahan berbilangnya jumat, pendapat yang jelas menurutku adalah diperbolehkan secara mutlak dengan syarat jumlah jamaah masing-masing jumat tidak kurang dari 40 laki-laki, apabila kurang dari jumlah tersebut, maka harus dikumpulkan dengan tempat jumat terdekat, sebab tidak pernah dikutip dari Nabi dan salaf al-Shalih setelahnya bahwa Jumat kurang dari jumlah tersebut. Adapun pendapat yang tidak memperbolehkan berbilangnya jumat dalam satu tempat kecuali saat sulitnya berkumpul, tidak memiliki dalil yang tegas bahkan yang mendekati tegaspun tidak ada, baik berupa dalil nash atau yang serupanya. Bahkan rahasia dari maksud syariat berada pada memperlihatkan syiar Islam pada hari jumat tersebut dan suara-suara dinyaringkan di atas mimbar-mimbar dengan mengajak kepada Allah dan memberi nasehat kepada kaum muslimin. Saat mimbar-mimbar semakin banyak, niscaya syi’ar-syi’ar Islam semakin tampak dan kemuliaan agama Islam terlihat jelas dalam satu waktu di beberapa tempat apabila setiap masjid diramaikan dengan 40 jamaah atau lebih. Inilah pendapat yang jelas menurutku”. (Syekh Isma’il al-Zain, Qurrah al-‘Ain bi Fatawa Isma’il al-Zain, halaman 83).

Demikian ikhtilaf ulama dalam masalah pendirian dua Jumat atau lebih dalam satu desa. Masing-masing memiliki tendensi dan dalil sesuai dengan ijtihadnya. Penerapannya tinggal disesuaikan dengan yang paling mashlahat sesuai daerahnya masing-masing. Wallahu A’lam