Bagian Kedua: Asal Muasal Para Habaib di Nusantara

 
Bagian Kedua: Asal Muasal Para Habaib di Nusantara
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel bagian pertama. Kisah ini akan menjelaskan mengenai golongan Alawi yang pindah ke Hadramaut disebabkan kekuasaan yang diktator.

Tokoh pertama golongan Alawi di Hadramaut adalah Ahmad bin Isa yang dijuluki Al-Muhajir. Kepindahannya ke Hadramaut disebabkan kekuasaan diktator kekhalifahan Bani Abbas yang secara turun menurun memimpin umat Islam, mengakibatkan rasa ketidakpuasan di kalangan rakyat. Rakyat mengharapkan salah satu keturunan Rasulullah dapat memimpin mereka.

Akibat dari kepemimpinan yang diktator, banyak kaum muslim berhijrah, menjauhkan diri dari pusat pemerintahan di Bagdad dan menetap di Hadramaut. Imam Ahmad bin Isa keadaannya sama dengan para sesepuhnya. Beliau seorang ‘alim, ‘amil (mengamalkan ilmunya), hidup bersih dan wara’ (tidak begitu senang dengan persoalan keduniaan).

Di Iraq beliau hidup terhormat dan disegani, mempunyai kedudukan terpandang dan mempunyai kekayaan cukup banyak. Mereka hijrah ke Hadramaut bukan karena dimusuhi atau dikejar-kejar tetapi mereka lebih mementingkan keselamatan aqidah keluarga dan pengikutnya. Mereka hijrah dari Basrah ke Hadramaut mengikuti kakeknya Rasulullah saw hijrah dari Makkah ke Madinah.

Mengenai hijrahnya Imam Ahmad Al-Muhajir ke Hadramaut, Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam bukunya Risalah al-Muawanah mengatakan: Al-Imam Muhajir Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Al-Imam Ja’far Shadiq, ketika menyaksikan munculnya bid’ah, pengobralan hawa nafsu dan perbedaan pendapat yang makin menghangat, maka beliau hijrah dari negaranya (Iraq) dari tempat yang satu ke tempat yang lain hingga sampai di Hadramaut, beliau bermukim di sana hingga wafat.

Ketika beliau berangkat hijrah dari Iraq ke Hijaz pada tahun 317 H beliau ditemani oleh istrinya, Syarifah Zainab binti Abdullah bin Al-Hasan bin ‘Ali Al-‘Uraidhy, bersama putera bungsunya bernama Abdullah, yang kemudian dikenal dengan nama Ubaidillah. Turut serta dalam hijrah itu cucu beliau yang bernama Ismail bin Abdullah yang dijuluki dengan Bashriy. Turut pula dua anak lelaki dari paman beliau dan orang-orang yang bukan dari kerabat dekatnya. Mereka merupakan rombongan yang terdiri dari 70 orang. Imam al-Muhajir membawa sebagian dari harta kekayaannya dan beberapa ekor unta ternaknya. Sedangkan putera-puteranya yang lain ditinggalkan menetap di Iraq.

Tibalah Imam Al-Muhajir di Madinah Al-Munawwarah dan tinggal di sana selama satu tahun. Pada tahun itulah kaum Qaramithah memasuki kota Makkah dan menguasainya. Mereka meletakkan pedang di Al-Hajij dan memindahkan Hajarul-Aswad dari tempatnya ke tempat lain yang dirahasiakan. Pada tahun berikutnya Al-Muhajir berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Dari Makkah beliau menuju Asir lalu ke Yaman. Di Yaman beliau meninggalkan anak pamannya yang bernama Sayyid Muhammad bin Sulaiman, datuk kaum Sayyid al-Ahdal. Kemudian Imam al-Muhajir berangkat menuju Hadramaut dan menetap di Husaisah. Imam al-Muhajir menetap di Hadramaut atas dasar pengarahan dari Allah SWT, sebab kenyataan menunjukkan, setelah beliau hijrah ke negeri itu di sana memancar cahaya terang sesudah beberapa lama gelap gulita. Penduduk Yaman khususnya Hadramaut yang mengaku penduduk asli dari keturunan Qahthan, yang awalnya bodoh dan sesat berubah menjadi mengenal ilmu dan berjalan di atas syariat Islam yang sebenarnya. Imam Al-Muhajir dan keturunannya berhasil menundukkan masyarakat Hadramaut yang mempunyai faham Khawarij dengan dalil dan argumentasi.

Maka masuklah Imam Al-Muhahijir ke Hadramaut. Ia bersikap lemah lembut dalam dakwahnya dan menempuh cara yang halus dan mengeluarkan hartanya. Maka banyak orang-orang Khawarij yang datang kepadanya dan taubat di tangannya setelah mereka berusaha menentang dan mencacinya. Ia juga menolong qabilah Al-Masyaikh al-Afif. Dan bergabung juga dengannya qabilah Kindah dan Madij. Mereka meninggalkan mazhab Ibadhiy dan bercampur dengan orang-orang yang datang dari Iraq.

Kaum Khawarij tidak mengakui atau mengingkari Imam Al-Muhajir berasal dari keturunan Nabi Muhammad saw. Untuk memantapkan kepastian nasabnya sebagai keturunan Rasulullah saw, sayyid Ali bin Muhammad bin Alwi berangkat ke Iraq. Di sanalah ia beroleh kesaksian lebih dari seratus orang terpercaya dari mereka yang hendak berangkat menunaikan ibadah haji. Kesaksian mereka yang mantap ini lebih dimantapkan lagi di Makkah dan beroleh kesaksian dari rombongan haji Hadramaut sendiri. Dalam upacara kesaksian itu hadir beberapa orang kaum Khawarij, lalu mereka ini menyampaikan berita tentang kesaksian itu ke Hadramaut.

Dan di antara ulama ahli nasab dan sejarah yang telah memberikan perhatiannya terhadap kebenaran nasab keturunan Al-Imam Al-Muhajir dan silsilah mereka yang mulia, ialah: pertama, Al-Allamah Abu Nash Sahal bin Abdullah Al-Bukhori dalam kitabnya Sirru al-Silsilah al-Alawiyah tahun 341 Hijriyah. Kedua, Al-Nasabah Abu Hasan Najmuddin Ali bin Abi al-Ghonaim Muhammad bin Ali Al-Amiri Al-Bashri, wafat tahun 443. Di antara kitabnya adalah Al-Majdi wa Al-Mabsuth wa Al-Musajjar. Ketiga, Al-Allamah Muhammad bin Ja’far Al-Ubaidili dalam kitabnya Tahdzib Al-Ansab, wafat tahun 435 Hijriyah. Keempat, Al-Allamah Al-Yamani Abu Al-Abbas Al-Syarajji dalam kitabnya Thabaqat Al-Khawash Ahl Al-Shidqi wa Al-Ikhlas. Di dalamnya disebutkan mengenai hijrahnya Saadah keluarga al-Ahdal dan Bani Qudaimi, disebutkan awal pertama mereka tinggal di daerah Wadi Saham, Wadi Surdud, dan Hadramaut.

Dan terdapat pula dari beberapa ulama nasab yang mempunyai catatan-catatan ringkas mengenai nasab keturunan Rasulullah yang mulia ialah Al-Imam Al-Nasabah Al-Murtadho Al-Zubaidi dan Al-Nasabah Ibnu Anbah pengarang kitab Umdah al-Thalib. Selain mereka banyak pula yang mengadakan penelitian tentang nasab keturunan Rasulullah saw yang mulia, hasilnya mereka mendapatkan kebenaran yang tidak diragukan lagi, sebagaimana hukum syar’i yang telah menjelaskan masalah interaksi sosial dan keterangan-keterangan yang berkaitan dengan keberadaan mereka dalam bentuk dalil-dalil yang kuat yang menjelaskan kemuliaan nasab mereka, serta kepemimpinan mereka di wilayah Arab, Hindi, Turki, Afrika Timur, Asia, semuanya merupakan dalil yang kuat tentang keberadaan mereka.

Di antara peneliti tersebut ialah Al-Khazraji, Al-Yafi’, Al-Awaji, Ibnu Abi Al-Hub, Al-Sakhowi, Abu Fadhol, Abu Ubbad, Ibnu Isa Al-Tarimi, al-Junaid, Ibnu Abi Al-Hissan, Ibnu Hajar Al-Haitami, Ibnu Samuroh, Ibnu Kabban, Bamahramah, Ibnu Fahd, Ibnu Aqilah, Al-Marwani Al-Tarimi, dan lainnya sebagaimana dijelaskan oleh Sayid Dhiya’ Shahab dalam bukunya ‘al-Imam al-Muhajir’. Terakhir, nasab keturunan Rasulullah saw dibahas oleh Sayid Abdullah bin Hasan Bilfaqih dalam kitab Tafnid Al-Maza’im, Sayid Alwi bin Thahir Al-Haddad dalam kitab Al-Qaul Al-Fashlu dan Al-Syamil fi Tarikh Hadramut, Sayid Abdurrahman bin Ubaidillah Al-Saqqaf dalam kitab Badhoi’ Al-Tabut.

Dengan demikian mantaplah sudah pengakuan masyarakat luas mengenai keutamaan para kaum ahlul-bait sebagai keturunan Rasulullah saw melalui puteri beliau Siti Fatimah Az-Zahra dan Imam Ali bin Abi Thalib. Rasulullah saw bersabda: ‘Setiap putra ibu akan bergabung nasabnya kepada ashabahnya (pihak ayah), kecuali anak-anak Fathimah, Akulah wali mereka dan akulah ashabah mereka’.

Lanjutan dari kisah ini ada pada ulasan selanjutnya mengenai Asal Usul Para Habaib di bagian ketiga.
 


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 27 Juli 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________
Editor: Kholaf Al Muntadar