Wirid Para Abdal (2): Hidhir Pembimbing Sebagian Sufi dan Doa-Doanya

 
Wirid Para Abdal (2): Hidhir Pembimbing Sebagian Sufi dan Doa-Doanya

Nur Kholik Ridwan

Anggota PP RMI NU

Dalam Kitab Quttul Qulûb itu, Ibnu `Athiyah, menyebutkan bahwa Nabi Hidhir memberikan hadiah kepada Imam Ibrahim at-Taimi, dan Kanjeng Nabi Muhammad mengabarkan keutamaan wirid itu, melalui jalur mimpi. Imam al-Ghozali dalam Ihyâ’, juga menyebut riwayat Ibrahim at-Taimi dan Ibnu Wabrah, dalam bagian “Kitab al-Adzkâr wa ad-Da`awât”, pada bagian “Tartibul al-Aurôd wa Tafshilu Ihyâ’il Lail. Imam Al-Ghozali juga menyebut bahwa Kurz bin Wabrah termasuki Abdal, dan menyebut dzikir itu dengan sebutan al-Musabba`atul `Asyar (10 jenis wirid yang dibaca 7 x dengan mengikutkan basmalah), dengan cerita yang sama disebutkan oleh Ibnu Athiyah, yang isinya adalah bacaan-bacaan terdiri dari surat-surat pendek, sholawat, istighfar, dan doa yang dibaca tujuh kali, pagi dan sore hari (dalam Hafizh Murtadho az-Zubaidi, Ithâfu as-Sâdatil Muttaqîn bi Syarah Ihyâ’ Ulûmiddin, Darul Fikr, V: 134).

Dalam versi Ihyâ’ ini, pada bagian tasbih 7x, tidak diteruskan dengan Lâ haula walâ quwwata illâ billâhill `Aliyyil Azhîm; dan tidka menyebutkan jenis istighfarnya, kecuali: istighfar untuk dirinya, kedua orang tua, dan untuk orang mukmin laki-laki-perempuan; dan dalam ceritanya tentang Hidhir, juga menyebut bahwa Hidhir adalah “Râ’isul Abdâl” (pimpinan para Abdal).

Wirid al-Musabba`ât al-Asyara ini, di kalangan sebagian thoriqot, diamalkan dengan ditambahi wirid-wirid lain. Di antara yang dikenal memiliki wirid ini, adalah Imam al-Jazuli shôhibud Dalâ’ilil Khoirôt, Imam Dardir Shohibul Kholwati dalam ash-Sholawât ad-Dardiriyah-nya, dan Imam ash-Showi al-Maliki bahkan mensyarahi wirid ini; juga Imam Ibrahim ad-Dasuqi yang memasukkannya dalam al-Hizbush Shoghîr, yang pembacaan wirid dari Hdhir itu didahului beberapa bacaan, termasuk bacaan Ismullôh, Yâ Bari’u; dan masih banyak lagi yang mengamalkan wirid ini.

Wirid al-Musabba`ât al-`Asyar di atas, menjelaskan satua hal bahwa di kalangan para guru besar tasawuf, Nabi Hidhir diakui membimbing sebagian sufi di antara mereka yang berusaha dekat dengan Alloh. Ibnu Athiyah dan Imam al-Ghozali, bahkan menyebutkan lewat riwayat dari cerita Imam Ibrahim at-Taimi itu, Hidhir adalah pemimpin para Abdal.

Dalam Kitab Kasyful Mahjûb, al-Hujwiri mengetengahkan bimbingan Hidhir kepada Imam Ibrohim bin Azhom ketika menyebutkan tokoh-tokoh tabi’in; demikian juga Imam al-Qusyairi dalam kitab ar-Risâlah al-Qusyairiyah, ketika membicarakan Imam Ibrohim bin Azhom; dan Syaikh Faridhuddin al-Athar dalam Tadzkiratul Auliyâ’, dalam cerita juga tentang Imam Ibrahim bin Azhom (Tokoh ini berbeda dengan Imam Ibrahim at-Taimi).

Al-Hujwiri menyebutkan begini kaitannya dengan Hidhir: “Dia (Syaikh Ibrohim bin Azhom) unik dalam tarekat ini, dan paling terkemuka di antara sejawatnya. Dia murid Nabi Hidhir.”

Cerita yang dimuat dalam ar-Risâlah al-Qusyairiyah begini:

“Ibrahim lebih suka memakan dari hasil kerja tangannya seperti bertani, bekerja di kebun atau yang lainnya. Di padang sahara, dia bertemu dengan seorang laki-laki yang mengajari Ismullôh al-A’zhom, lalu dia berdoa dengan nama itu, dan setelah itu tidak beberapa lama dia bertemu dengan Hidhir yang berkata kepadanya: “Yang mengajarimu Ismullôh al-A’zhom adalah saudaraku Dawud.” Cerita ini saya peroleh dari penuturan Abu Abdurrahman as-Sulami,” kata Imam al-Qusyairi.

Cerita tentang Hidhir seperti di atas juga dikemukakan Syaikh Fariduddin al-Athar dalam Tadzkîratul Auliyâ’, dan menambahkan penjelasan begini: “Kemudian terjadi perbincangan panjang antara Hidhir dan Ibrahim (bin Azhom). Hidhir `alahissalam adalah orang pertama yang membuat Ibrahim berbicara banyak dan terbuka, dengan izin Alloh.”

Selain itu, Nabi Hidhir juga dikenal dalam membimbinmg sebagian sufi dalam memudawamahkan sholawat dengan redaksi: Shollallôhu `alâ Muhammad. Di antaranya, saya memperoleh cerita dari KH. Baiquni (Gus Baiq), cucu KH. Achmad Shiddiq (Rais Am PBNU pada zaman Gus Dur), bahwa kakeknya, Mbah KH. Muhammad Shiddiq, memperoleh wirid sholawat Shollallôhu `alâ Muhammad dari Nabi Hidhir untuk dibaca setelah Sholat Jumat sampai sebelum matahari terbenam, sebanyak 1000 x.

Dalam Kitab Afdholush Sholawât `alâ Sayyidis Sâdât, Imam Yusuf bin Ismail an-Nabhani juga bercerita soal sholawat pendek dengan redaksi Shollallôhu `alâ Muhammad, ketika membahas sholawat ke-10. Dalam kitab itu dijelaskan begini, kaitanya dengan Hidhir:

“Imam asy-Sya’roni berkata: “Rasululloh sholallôhu `alai wasallam pernah bersabda: “Barang siapa yang mengucapkan sholawat ini, maka ia telah membukakan 70 pintu rahmat untuk dirinya, dan Alloh menyebarkan kecintaan-Nya ke dalam hati manusia, kemudian jika ada orang yang membencinya, maka orang yang membencinya itu orang yang memiliki sifat munafik dalam hatinya.”

“Syaikh kita, Ali al-Khowash rodhiyallôhu `anhu mengatakan bahwa hadits ini dan hadits sebelumnya, yaitu: “Keadaan kalian yang paling dekat denganku adalah ketika salah seorang dari kalian mengingatku dan bersholawat kepadaku.” Kami meriwayatkan kedua hadits ini, dari sebagian orang-orang arif, dari Hidhir dari Rasululloh. Menurut kami, hadits ini menduduki tempat kesahihan yang paling tinggi, meskipun para ahli hadits tidak menetapkannya sesuai dengan istilah mereka.

“Pendapat ini diperkuat oleh keterangan al-Hafizh as-Sakhowi dari Majduddin al-Fairuzabadi, penulis kitab al-Qômus, dengan sanadnya kepada Imam as-Samarqondhi, ia berkata: “Aku mendengar Hidhir dan Ilyas berkata: “Kami mendengar Rasulullah shollallôhu `alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang mukmin mengatakan: “Shollallôhu `alâ Muhammad,” melainkan Alloh akan menjadikan manusia mencintainya meskipun mereka membencinya, dan demi Alloh, tidaklah mereka mencintai orang itu sehingga Alloh `azza wajalla mencintainya.” Kami pernah mendengar Rasululloh shollallôhu `alaihi wasallam bersabda di atas mimbar: “Barang siapa yang berkata: “Shollallôhu `alâ Muhammad”, maka sesungguhnya ia telah membukakan untuk dirinya 70 pintu rahmat.”

Nabi Hidhir inilah yang menurut Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya tentang Hidhir berjudul az-Zuhrun Nadhir fî Hâli al-Hidhir (Maktabah Ahlul Atsar, 2004), yang dimaksud oleh khabar-khabar Kanjeng Nabi Muhammad, meski diinkari oleh sebagian ahli hadits. Dia ini dipanggil dengan kunyah Abul Abbas. Pada bagian “Dzikrul Ahbâr allatî Warodat annal Hidhr Kâna fî Zamânin Nabî shollallôhu `alaihi wasallam Tsumma Ba’dahu ilâ al-Ân, diketengahkan riwayat-riwayat kaitannya dengan Hidhir pada zaman Nabi sampai zaman ini.

Akan tetapi, tokoh wahhabi salafi juga menulis pandangannya sendiri tentang Hidhir, dalam kitab berjudul at-Tahdzir minal Qouli bi Hayâtil Hidhr yang ditulis Muhammad bin Ibrohim al-Luhaidan (Darul Kutub was Sunnah, 1992).

Imam al-Ghozali dalam kitab Ihyâ’ juga mengemukakan salah satu doa Nabi Hidhir selain al-Musabba`ât al-`Usyr di atas, dalam bagian Doa Nabi Hidhir `alaihissalam (dalam cetakan versi Syarah Ihyâ’, Ithâfu Sâdatil Muttaqîn, V: 69):

“Dikatakan bahwa Hidhir dan Ilyas `alaihimas salam apabila bertemu di dalam setiap tahun musim (maksudnya musim haji) tidak pernah meninggalkan kalimat-kalimat ini ketika mereka berpisah:

Bismillâh Mâ Syâ’allâh
Lâ Haula walâ Quwwata illâ billâh Mâ Syâ’allâh
Kullu Ni’matin minallôh Mâ Syâ’allâh
Al-Khoiru Kulluhu biyadillâh Mâ Syâ’allâh
Lâ Yashrifus Sû’a illallôh (tidak ditambahi Lâ Haula walâ quwwata illâ billâh)

“Dengan nama Alloh, apa yang dikehendaki Alloh . Tidak ada daya dan kekuatan kecuali milik Alloh dan apa yang dikehendaki Alloh. Setiap nikmat berasal dari Allah, apa yang dikehendaki Alloh. Segala kebaikan berada di dalam kekuasan Alloh, apa yang dikehendaki Alloh. Tidak ada sesuatupun selain Alloh sanggup menyingkirkan kejahatan.”

Imam al-Ghozali dalam kitab Ihyâ’ itu mengatakan: “Barang siapa membacanya tiga kali setiap pagi, aman dari kebakaran banjir dan maling, insya Alloh.”

Al-Hafizh Murtadho az-Zubaidi dalam Ithâfus Sâdatil Muttaqîn mengomentari: “Barang siapa membacanya tiga kali… ini adalah lafazh dalam kitab al-Qutt, dan lafzah dari Abu Dzar menyebutkan “barang siapa yang membaca 3 x di pagi dan sore dia aman dari kebakaran, banjir, dan maling.”

Ibnu Athiyah sendiri yang dikutip Imam Murtadho az-Zubaidi, dalam Quttul Qulûb menyebutkan begini:

“Saya menerima berita dari Atho’ dari Ibnu Abbas berkata: “Hidhir dan Ilyas suka bertemu pada setiap musim haji, keduanya saling berpisah dan membaca doa (dalam lafazh di atas). Barang siapa di waktu shubuh membaca doa ini sebanyuak 3 kali dia aman dari kebakaran, banjir, dan maling.” Jadi, doa di atas berasal dari Hidhir dituturkan Ibnu Abbas, dan riwayat ini dari Ibnu Athiyah. .

Setelah itu Ibnul Athiyah juga mengemukakan tentang istighfar yang bersumber dari Hidhir:

“Disebutkan bahwa istighfar yang biasa dibaca oleh Hidhir sebagai berikut: “Ya Alloh aku meminta ampunan kepada-Mu dari setiap dosa. Aku taubat kepada-Mu dari dosa yang kembali aku melakukannya. Ya Alloh aku meminta ampunan dari setiap perjanjian yang aku buat kepada-Mu, kemudian aku tidak melaksanakannya. Ya Alloh, aku memohon ampunan kepada-Mu dari setiap nikmat yang aku anugerahkan kepadaku, kemudian aku jadikan bahan untuk bermaksiat kepada-Mu. Ya Alloh aku mohon ampunan kepada-Mu dari setiap amal yang aku lakukan hanya untuk-Mu, namun aku campuri dari sesuatu yang bukan untuk-Mu.”

Selain itu, menurut Ibnu Athiyah, juga ada doa Hidhir yang diberikan kepada Imam Ali berbunyi demikian:

يا من لا يشغله سمع عن سمع
يا من لا تغلطه المسائل
يا من لا يتبرم بإلحاح الملحين
أذقني برد عفوك وحلاوة رحمتك

“Wahai Dzat yang tidak pernah keliru dalam mendengar dan tidak pernah pusing oleh berbagai suara, wahai Dzat yang tidak pernahlelah dengan berbagai permintaan dan tidak keliru terhadap bahasa yang berbeda-beda, wahai Dzat yang tidak pernah terpengaruh rontaan orang yang meronta-ronta, cicipkanlah kepadaku sejuknya maghfiorah-Mu dan manisnya rahmat-Mu.”

Doa Nabi Hidhir juga terkenal di kalangan pengamal ratib, dan biasa dibaca oleh sebagain murid Ratib al-Haddad setelah menyelesaikan Ratib, yaitu: “ Yâ Lathîfân bi kholqih Yâ `Âlimâm bi kholqih Yâ Khobîrôn bikholqih ulthuf binâ Yâ Lathîfu Yâ `Âlimu Ya Khobîr.”

Artinya: “Wahai Tuhan yang lemah lembut kepada makhluk-Nya, wahai Dzat yang mengetahui makhluk-Nya, wahai Dzat yang waspada kepada makhluk-Nya, berikanlah kami perlakuan lembut-Mu, wahai Dzat yang Maha Lembut, wahai Dzat yang Maha Mengetahui, wahai Dzat yang Waspada” (Yang mengutip doa ini di antaranya adalah Maulana al-Kandahlawi dan menyebut cerita tentang Hidhir dalam Kitab al-Hajj).

Imam Afiduddin al-Yafi`i dalam kitabnya berjudul Khulâshotul Mafâkhir fî Manâqibisy Syaikh `Abdul Qôdir wa Jamâ`ati minasy Syuyûkh al-Akâbir , dalam hikayat ke-139 menceritakan tentang Nabi Hidhir dan pertemuannya dengan seorang wali bernama Abu Muhammad bin Abdul Bashri, yang sering bershuhbah dengan Nabi Hidhir. Ceritanya agak panjang, saya kutipkan bagian tertentu saja, yaitu, dia bertanya: “Aku bertanya kepada Hidhir, apakah orang-orang yang dicintai Alloh (para wali) itu memiliki seseorang yang menjadi pimpinan mereka dalam setiap zaman?” Hidhir menjawab: “Iya.” Baru setelah itu berbicara tentang Syaikh Abdul Qodir al-Jilani yang menjadi Quthub di zamannya.

Syaikh Afifuddin al-Yafi’i dalam kitabnya yang lain berjudul Roudhur Rayâhin juga mengatakan kehidupan Hidhir yang terlihat di Mekkah dalam sebuah cerita, begini:

“Dan melihat juga sebagian al-Masyaikh al-Ahyâr min Aulâdil Masyâyikhil Kibâr: “Saya melihat seorang laki-laki di al-Hijr dan kepalanya ma`a ra’sil Ka’bah, dan dia berkata dan mengucapkan salam kepada-ku, “salam untukku atas seseorang dan katakan kepadanya untuk bersabar,” sehingga kami mendatanginya, kami makan dan berkata, maka saya berkata kepadanya: “ Siapakah Anda?” Dia menjawab: “Hidhir.” Semoga Alloh meridhoinya, memberi manfaat bagi kita dan kaum muslimin, dengan berkahnya” (Roudhur Rayâhin fî Hikâyatish Shôlihîn, Maktabah Taufiqiyah, t.t., hlm. 309).

Dalam membahas Bisyr al-Hafi, sufi terkenal yang biografinya banyak dibahas, Imam al-Qusyairi dalam ar-Risâlah al-Qusyairiyah juga menuturkan cerita Bilal al-Khowash yang bertemu Hidhir, dan berbicara tentang Bisyr al-Hafi. Bilal al-Khowash berkata:

“Suatu ketika saya sedang ada di padang sahara yang didiami orang Israel, tiba-tiba seorang laki-laki muncul dan menemaniku. Saya heran, siapa gerangan orang ini. Tidak berapa lama saya diberi ilham bahwa laki-laki itu adalah Hidhir. Saya pun beranjak menemuinya dan bertanya: “Demi kebenaran suatu kebenaran, siapakah kamu sebenarnya?” Hidhir menjawab: “Saudaramu, Hidhir.” Aku bertanya: “Bagaimana pendapatmu tentang Imam Syafi`i?” Hidhir menjawab: “Dia pemelihara agama.” Bagaimana pendapatmu tentang Imam Ahmad bin Hanbal?” Hidhir menjawab: “Dia seorang shiddiq.” Bagaimana tentang Bisyr al-Hafi?” Hidhir menjawab: “Belum ada orang sepertinya sesudahnya nanti.” Apakah yang bisa menjadikanku bisa bertemu denganmu?” Hidhir menjawab: “Karena kebaikanmu kepada ibumu” (Ar-Risâlah al-Qusyairiyah, bagian yang membahas Bisyr al-Hafi).

Dalam riwayat dari sahabat Anas bin Malik, diceritakan bahwa Rasulullah sedang di masjid, dan mendengar suara orang berdoa di belakangnya, dan orang itu berdoa: “Ya Alloh, tolonglah aku atas apa yang menyelamatkanku dari apa yang paling kutakuti.” Rasulullah mendengar itu, dan berkata: “Mengapa orang itu tidak menyertakan pasangan doanya seperti ini: “Ya Alloh berilah kepadaku kerinduan orang-orang sholih yang paling mereka rindukan.” Nabi Muhammad kemudian berkata kepada Anas bin Malik (Anas bersamanya): “Pergilah wahai Anas (untuk menemuinya), maka Anas berkata kepadanya: “Rasulullah berkata kepada engkau: “Mintakan ampun untukku.” Maka Anas mendatanginya dan menyampaikannya, maka berkata laki-laki itu: “Hai Anas engkau adalah utusan dari Rasulullah untukku? Maka kembalilah. (Setelah itu) Maka Nabi berkata (kembali kepada Anas): “Katakan kepadanya “iya”. Maka Hidhir berkata kepada Anas, pergilah dan katakana kepada Nabi Muhammad: “Sesungguhnya Alloh telah memberikan karunia kelebihan kepada engkau di atas para nabi-nabi, sebagaimana Alloh mengutamakan Ramadhoh di atas bulan-bulan; dan mengutamakan umatmu, sebagaimana keutamaan hari Jumat di atas hari-hari semuanya.” Maka Nabi berkata (kepada Anas): “Maka dia kalau begitu adalah Hidhir `alaihissalam” (HR. Ibnu `Udi dalam al-Kâmil, dikutip Ibnu Hajar dalam az-Zuhrun Nadhir fî Hâli al-Hidhir, Maktabah Ahlul Atsar, 2004, hlm. 131-132).

Meski begitu, Hidhir yang menjadi pemimpin para Abdal, sebagaimana cerita Imam Ibrahim at-Taimi yang dituturkan Ibnu Athiyah dan Imam al-Ghozali itu, ada yang berpandangan bahwa Hidhir telah wafat dan yang menentang keberadaannya menemui orang-orang sholih, juga ada. Hanya saja, para guru sufi yang sholih-sholih di kalangan mereka banyak menceritakan tentang Hidhir, dan seperti riwayat soal wirid dan doa Imam Ibrohim at-Taimi dan Kurz bin Wabrah di atas, adalah contohnya.

Dan, cerita para guru sufi bertemu Hidhir bisa dijumpai di banyak kitab thobaqat sufi dan kitab tasawuf. Doa-doanya dan sholawat kepada Kanjeng Nabi Muhammad yang diijazahkan dari Hidhir juga banyak diamalkan, termasuk al-Musaba`at al-`Asyar di pagi dan sore hari, sholawat Shollalôhu `alâ Muhamad, Yâ Lathîfan bi Kholqih…, Bismillah Mâ Sya’ alloh, istighfarnya, dan wirid-wirid lain yang diterima oleh guru-guru sufi. Wallôhu a’lam.

 

 

 

Tags