Syarah Dan Tahqiq Lagu Syubbanul Wathan Karya KH. A. Wahab Chasbullah

 
Syarah Dan Tahqiq Lagu Syubbanul Wathan Karya KH. A. Wahab Chasbullah
Sumber Gambar: ponpestambakberas

LADUNI.ID, Jakarta -  Siapa yang tak kenal KH. Abdul Wahab Chasbullah.
Sosok kiai kharismatik ini merupakan tokoh pergerakan pendiri organisasi muslim terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, yakni Nahdlatul Ulama (NU).

KH. Abdul Wahab Chasbullah lahir tahun 1888, ada yang menyebut 1887, dan 1886 sebagaimana data dari Tim Sejarah Tambak Beras. Tahun berapapun kelahiran Kiai Wahab, generasi muda khususnya kader NU haruslah menggali dan mengambil pelajaran dari pribadi kiai asal Jombang itu. Hal itu karena dalam diri Kiai Wahab, semua aspek kehidupan melekat padanya. Mulai dari pendidikan, perdagangan, pemikiran, organisasi, kajian agama hingga persilatan pernah Beliau tekuni.

Selain menjadi motor pergerakan perlawanan terhadap penjajah, Beliau juga menciptakan bait-bait puisi berbahasa Arab sebagai pembangkit perjuangan tunas bangsa di Bumi Pertiwi. Beliau memberi judul puisinya tersebut  “Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air).” atau yang popular di sebut  “Yaa Lal Wathan”. Saat mendirikan organisasi gerakan bernama Syubanul Wathan, berarti sepuluh tahun sebelum didirikannya Jami’iyyah Nahdlatul Ulama. Menurut Abdul Halim (Sekretaris Mbah Wahab) dalam bukunya  Sejarah Perjuangan Abdul Wahab Chasbullah,  puisi ini lahir tahun 1916 sebagai semboyan organisasi Nahdlatul Wathan, salah satu sekolah yang dirintis Mbah Wahab yang berisi ajaran tentang kebangsaan sesuai namanya (Kebangkitan Negeri). Menariknya, puisi tersebut selalu dinyanyikan sebelum dimulainya pelajaran.

Kemudian puisi tersebut berubah menjadi lebih pendek tahun 1934 menjadi 8 baris dan satu kolom seperti yang terdengar dan dinyanyikan sekarang. Padahal, awalnya lagu Ya Lal Wathan tersebut memiliki panjang 12 baris serta dua kolom, kanan dan kiri.

Lagu ini kerap dinyanyikan setelah lagu Indonesia Raya dalam setiap acara yang digelar kalangan Nahdliyyin. Untuk lebih dapat menjiwai lagu ini, penulis akan mencoba mensyarah lagu ini dengan sederhana. Dan dalam beberapa tempat, penulis juga akan mencoba mengurai beberapa kalimat yang belum seragam, kadang disuatu waktu dinyanyikan dengan satu kalimat dan di waktu lainnya dengan kalimat yang lain pula. Hal tersebut sangat wajar terjadi dikarenakan sudah lamanya lagu ini diciptakan, tentu dengan berjalannya waktu dari satu perawi kepada perawi lainnya ada pergeseran bahkan distorsi dari segi kalimatnya.

  1. Lagu ini di mulai dengan kalimat:

ياَ لَلْوَطَنْ ياَ لَلْوَطَن ياَ لَلْوَطَنْ

Yaa Lal Wathon Yaa Lal Wathon Yaa Lal Wathon

Kalimat “Yaa Lal Wathon”, diulang sebanyak tiga kali. Kalimat “Yaa Lal Wathon” (يا للوطن) huruf “ya” yang yerdapat pada kalimat tersebut adalah huruf “nida” (huruf yang bermakna panggilan untuk lawan yang diajak bicara). Sedangkan huruf “lam” yang menempel pada kata “wathon” adalah disebut huruf lam “li al-ta’ajjub” (yang bermakna takjub, heran, dikagumi), dibaca dengan di fatahkan sebelum kalimat “muta’ajjab minhu”, yaitu kalimat yang berposisi dikagumi. (al-Nail al-Kamil fi Syarhi Matni al-Awamil: 11).

Pencipta lagu tersebut ketika menggunakan “lam li al-ta’ajjub” sebelum kalimat “tanah air”, ingin mengekspresikan kekagumannya akan tanah airnya yang indah dan penuh kelebihan.

Sedangkan kata “wathon” bermakna “manzil iqomat al-insan wulida fihi aw lam yulad, tempat tinggal manusia baik ia dilahirkan di situ atau tidak” (Kamus Al-Munjid: 906) kalimat tersebut sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “tanah air”.

Dari situ kita dapat memahami bahwa yang menjadi “munada” (yang dipanggil dengan “nida” itu adalah “tanah air”. Maka kurang tepatlah ketika ada yang berpendapat bahwa kalimat “lal wathon” berasal dari singkatan kalimat “ahlal wathon” (penduduk tanah air).

Kalimat “Yaa lal wathon” bila diterjemahkan aslinya adalah “wahai Tanah air”. Adapun tambahan terjemah dengan kalimat “pusaka hati di awal dan “ku” di akhir adalah sebagai penguat kekaguman untuk yang pertama, dan menunjukan kedekatan tanggung jawab untuk yang kedua.

2. Pada baris kedua syair lagu “Yaa lal wathon” berbunyi:

حُبُّ الْوَطَنْ مِنَ اْلإِيمَانْ

Hubbul Wathon minal Iman (Cinta tanah air sebagian dari iman).

Kalimat tersebut diambil dari kalimat yang masyhur dikalangan kaum muslimin, sampai sampai kalimat tersebut di yakini sebagai hadits. Syaikh Syamsuddin al-Sakhowi (w. 902) dalam kitabnya “al Maqosid al Hasanah” menyatakan tentang hadits “Hubbul Wathon Min al Iman”: “Aku tidak menganggapnya hadits tetapi maknanya sohih”. (Al-Maqosid al-Hasanah: 1/297)

Banyak hadits yang menjelaskan tentang bagaimana kerinduan Nabi Muhammad SAW kepada Kota Makkah yang pernah menjadi tanah airnya. Jika cinta tanah air itu bukan kebaikan maka bagaimana Nabi Muhammad SAW menterjemahkannya dihadapan para sahabat bahwa ia mencintai Mekkah?

3. Baris yang ketiga dari syair lagu “Yaa lal Wathon” berbunyi sebagai berikut:

وَلاَتَكُنْ مِنَ الْحِرْماَنْ

Wala Takum minal Hirman

Ada beberapa masalah yang perlu kita cermati dari baris kalimat yang ketiga ini: yang pertama adalah kalimat “takun” apakah dhomir (kata ganti) yang terdapat pada kata itu adalah dhomir khitab mufrad mudzakar (Orang kedua laki-laki tunggal) atau dhomir muannats ghoibah (orang ketiga yang menunjukan makna perempuan)?

Jika dhomir itu khitab maka terjemahnya adalah “Janganlah engkau menjadi, wahai fulan”, tetapi yang demikian itu akan tidak “munasib” (sesuai) dengan baris berikutnya yang menggunakan dhomir khitab jama mudzakkar (kata ganti orang kedua untuk lelaki jamak; Jika dhomir itu muannats ghoibah maka ruju-dhomir (kembalinya kata ganti) nya kemana, apakah kepada “wathan” atau kepada apa? jika kepada “wathan” maka harusnya menggunakan dhomir mudzakkar ghoib yaitu “yakun” bukan “takun”, karena orang Arab biasa mengembalikan kalimat “wathan” dengan dhomir mufrad mudzakar.

Menurut penulis, kalimat yang diinginkan pencipta lagu ini bukan “wala takun” tetapi “wala takunu” yaitu dengan dhomir jamak. Karena lagu ini ditulis sejak tahun 1916 tentu periwayatan yang panjang itu dimungkinkan sekali terjadi distorsi dari yang ditulis dan diinginkan pertama kali dari penciptanya.

Kalimat “Minal Hirman” ada beberapa masalah yang perlu kita bahas, pertama ketika penulis menduga bahwa kalimat “wala takun” yang diinginkan penciptanya adalah “wala takunu” maka kalimat “minal hirman” ini secara stanza akan terjadi gejlok, maka kalimat “minal” yang artinya “dari” dimungkinkan pula sebenarnya yang diinginkannya adalah “Fil” yang artinya “didalam”.

Kemudian lafadz “Hirman” dalam bahasa indonesia berarti “al-man’u wa naqidl al-rizqi, enggan dan kebalikan dari mendapatkan bagian rizqi” (Kamus Al-Munjid: 130)

Dari situ maka kalimat “wala tukunu fil hirman” bermakna asal “janganlah engkau semua menghilangkan bagian rizkimu!”

Dalam lirik yang biasa dibaca diterjemahkan dengan kalimat “jangan halangkan nasibmu”, kalimat “halangkan” menurut penulis adalah distorsi dari kalimat yang diinginkan pencipta lagunya yaitu kata “hilangkan”. Karena kalau kita cermati kita akan sulit memahami apa maksud kalimat “jangan halangkan nasibmu”, tetapi ketika kita menerjemahkannya “jangan hilangkan nasibmu” maka dengan mudah kita bisa memahami bahwa kita diberikan motivasi oleh pencipta lagu tersebut untuk mengambil bagian dan peran dalam membela tanah air dan mengurusnya sendiri bukan diurus oleh kaum penjajah.

4. Kalimat pada baris keempat berbunyi:

 

اِنْهَضوُا أَهْلَ الْوَطَنْ

Inhadlu Alal Wathon (bangkitlah hai kalian semua penduduk negeri)

Kalimat “ahlal wathon” menurut penulis memang lebih muwafaqoh (sesuai) dari pada sebagian orang yang membacanya “alal wathon” dimana “ala” diambil dari kalimat huruf jarr “ala” yang bermakna “atas”. Kalimat “inhadlu ahlal wathon” sangat tepat karena dalam terjemahannya yang terdapat di dalam lagu tersebut “bangkitlah hai bangsaku”, dimana “ahlul wathan” yang bermakna “penduduk tanah air” tidak lain dan tidak bukan adalah bangsa yang hidup di atasnya.

5. Baris kelima dari lagu tersebut adalah:

اِندُونيْسِياَ بِلاَدى

Indonesia Biladi (Indonesia negeriku)

Kalimat “biladi” tersusun dari dua kata yaitu “bilad” dan “ya mutakallim” yaitu ya yang bemakna “kepunyaanku”. Kalimat “bilad” adalah jamak dari kata “balad” atau “baldah” yang artinya “kullu makan min al-ardl amiran kana aw khuluwwan, setiap tempat di bumi yang sudah ramai maupun masih sepi”. (Al-Munjid: 47).

Kalimat yang dipakai pencipta lagu “bilad” untuk Indonesia yang menunjukan jamak dimungkinkan untuk maksud bahwa Indonesia yang terdiri dari berbagai negeri dari sabang sampai merauke yang bersatu menjadi Indonesia.

Baris selanjutnya adalah kalimat:

أَنْتَ عُنْواَنُ الْفَخَاماَ

Anta ‘Unwanul Fakhoma (engkau panji martabatku)

Kata “unwan” bermakna “dalil” atau petunjuk. (Kamus Al-Munjid: 534) “unwan kitab” adalah judul kitab. kalimat tersebut diterjemahkan dalam lagu tersebut dengan “panji” yaitu bendera perang, masih memiliki makna yang “munasib” (sesuai) karena panji merupakan tanda bagi pasukan ketika di medan perang.

Kalimat “fakhoma” yang biasa ditulis “فخاما” dengan huruf alif di akhirnya, yang paling tepat adalah ditulis dengah hurup “kho” (فخامة), ia adalah masdar dari “fakhuma” yang artinya pangkat yang agung. (al-Munjid: 571) Diterjemahkan dalam lagu tersebut dengan “martabat”, tentu yang dimaksud adalah martabat yang agung.

Barus selanjutnya dari lagu tersebut adalah:

كُلُّ مَنْ يَأْتِيْكَ يَوْماَ

Kullu May Ya’tika Yauma (setiap orang yang datang disuatu hari)

Sampai disini kalimat tersebut belum difahami kecuali dikaitkan dengan baris selanjutnya, yaitu:

طَامِحاً يَلْقَ حِماَمًا

Thomihay Yalqo Himama (ia datang- dalam keadaan sombong, maka ia akan menemui kebinasaan)

Kalimat “tomikhon” dengan menggunakan “kho” berarti “sombong” sedangkan bila menggunakan “ha” maka berarti “pergi, menjauh, tidak mau, tidak patuh” (Kamus Al-Munjid: 471) dilihat dari makna-makna itu maka dengan huruf “kho” maknanya lebih munasabah dengan maksud pencipta lagu yang secara nash dapat difahami dari kalimat terjemah dari lagu tersebut, dimana dalam versi terjemahnya dikatakan “siapa datang mengancammu” kalimat mengancam itu lebih dekat kepada lafadz “tomikhon” dengan “kho” yang berarti sombong dari pada lafadz “tomihan” dengan “ha” yang lebih cenderung bermakna menghindari sesuatu.

Kemudian kalimat “himama” sebagai kalimat terakhir dalam lagu tersebut bermakna “mati” (Kamus Al-Munjid: 152) diterjemahkan dalam lagu tersebut dengan kata “binasa”.

Ada yang perlu diperhatikan dalam versi terjemah dalam lagu tersebut yaitu kalimat “duli”. Sebagian orang ada yang menyanyikannya “kan binasa di bawah dulimu” dengan hurup “L”, ada juga yang membaca “durimu” dengan hurup “R”, lalu mana yang benar?

“Duri” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti bagian tumbuhan yang runcing dan tajam. Sedangkan kata “duli” di sana bermakna “debu”, binasa dibawah dulimu artinya binasa bergelimpangan di tanah. menurut penulis kata duli lebih sesuai dari pada kata duri.

Dari keterangan di atas maka menurut penulis, lagu Hadratusyaikh K.H. Wahab Hasbullah yang berjudul “Syubbanul Wathan” atau yang lebih popular dengan judul “Yaa Lal Wathon” ini adalah:

 

Judul:  Syubbanul Wathan

Cipt : KH Abdul Wahab Chasbullah (1916)

ياَ لَلْوَطَنْ ياَ لَلْوَطَن ياَ لَلْوَطَنْ

Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon

حُبُّ الْوَطَنْ مِنَ اْلإِيمَانْ

Hubbul Wathon minal Iman

وَلاَتَكُونوا في الْحِرْماَنْ

Wala Takunu fil Hirman

اِنْهَضوُا أَهْلَ الْوَطَنْ

Inhadlu Ahlal Wathon

اِندُونيْسِياَ بِلاَدى

Indonesia Biladi

أَنْتَ عُنْواَنُ الْفَخَامة

Anta ‘Unwanul Fakhoma

كُلُّ مَنْ يَأْتِيْكَ يَوْماَ

Kullu May Ya’tika Yauma

طَامِخاً يَلْقَ حِماَمًا

Thomihay Yalqo Himama

Pusaka Hati Wahai Tanah Airku
Cintamu dalam Imanku
Jangan Halangkan Nasibmu
Bangkitlah Hai Bangsaku
Pusaka Hati Wahai Tanah Airku
Cintaku dalam Imanku
Jangan Halangkan Nasibmu
Bangkitlah Hai Bangsaku

Indonesia Negeriku
Engkau Panji Martabatku
Siapa Datang Mengancammu
Kan Binasa di bawah dulimu

Tentunya apa yang penulis sampaikan dalam tulisan ini bukanlah kebenaran mutlak, dan sangat mungkin sekali salah, namun semoga dengan tulisan ini ada sedikit pencerahan, setidaknya bagi kita yang biasa menyanyikannya namun sedikit ada hal yang tidak terlalu difahami. Benih-benih cinta tanah air ini akhirnya bisa menjadi energi positif bagi rakyat Indonesia secara luas sehingga perjuangan tidak berhenti pada tataran wacana, tetapi pergerakan sebuah bangsa yang cinta tanah airnya untuk merdeka dari segala bentuk penjajahan.
Wallahu a’lam bi al showab

 

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal  07 Agustus 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan
Editor : Lisandipo

 

Sumber : https://gurunu.or.id/