Reog dan Ludruk: Dua Tradisi yang Berkembang di Jawa Timur

 
Reog dan Ludruk: Dua Tradisi yang Berkembang di Jawa Timur
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Ayu Sutorto salah satu peneliti tradisi menyatakan dalam konteks sejarah kebudayaan, tradisi agraris yang berkembang di wilayah Jawa Timur telah melahirkan beberapa bentuk kesenian agraris yang hingga saat ini masih hidup dan berkembang, antara lain, tayub, gandrung, seblang, kerapan sapi dan berbagai upacara kurban seperti upacara Kasada di Tengger dan upacara Petik Laut di Muncar atau di beberapa daerah pantai lain. Di samping tradisi memuja Dewi Padi atau Dewi Kesuburan, tradisi agraris yang berkembang di Jawa timur juga melahirkan banyak bentuk kesenian yang lain, misalnya Kerapan Sapi di Madura, Bantengan di Mojokerto, Kebo-keboan di Banyuwangi, dan berbagai macam upacara bersih desa. Harimau yang sangat ditakuti para petani agaknya juga melahirkan banyak seni tari yang hingga saat ini masih hidup di wilayah Jawa Timur, seperti tari Barong di Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, tari Singa Ulung di Kabupaten Bondowoso, dan Can Macanan Kadduk di Kabupaten Jember.

Meski tidak pernah disebutkan dalam sejarah reog, tari reog Ponorogo bisa jadi juga lahir dari fenomena yang sama (Sutarto, 2009). Sejatinya bentuk-bentuk kesenian agraris yang masih memiliki pendukung yang cukup kuat ini merupakan kekayaan budaya yang secara ekonomis dapat dimanfaatkan oleh para pewarisnya. Kekhasan dan keunikan yang dibawa oleh bentuk kesenian tersebut merupakan modal dasar yang sangat berarti bagi keberlangsungan hidupnya. Setiap bentuk kesenian memiliki sejarah asal-usul dan perkembangan yang berbeda. Bahkan, sebuah bentuk kesenian bisa memiliki asal-usul atau sejarah lebih dari satu versi. Seni reog Ponorogo, misalnya, memiliki lebih dari satu versi. Versi pertama, bertolak dari gaya tari dan legenda yang diceritakan oleh pewaris aktifnya, maka seni reog dikaitkan dengan era Kerajaan Kahuripan di Kediri (1019-1049).

Pada waktu itu wilayah yang sekarang disebut Ponorogo bernama Wengker, yang merupakan bagian dari Kerajaan Kahuripan. Tetapi perlu ditegaskan bahwa tokoh-tokoh utama yang disebut dalam kisah tentang asal-usul seni reog seperti Prabu Klana Sewandana, Pujangga Anom, Dewi Sanggalangit, Singabarong, dan Manyura sejatinya bukan tokoh sejarah. Dalam legenda tersebut dikisahkan bahwa Raja Wengker, Klana Sewandana, dan patihnya Pujangga Anom pergi ke Kerajaan Kediri untuk melamar putri Kahuripan yang sangat cantik. Dalam perjalanan ke Kediri, di tengah rimba Lodaya, mereka dihadang oleh raja rimba yang bernama Singabarong dan Manyura, seekor merak yang cantik tetapi sangat perkasa. Dengan bantuan cambuk Semandiman, Klana Sewandana berhasil mengalahkan musuh-musuhnya dan bahkan membuat mereka menjadi makhluk yang memiliki dua kepala, yaitu kepala harimau dengan seekor burung merak bertengger di atasnya. Diceritakan pula bahwa Raja Klana Sewandana dapat bertemu Putri Sanggalangit, tetapi tidak menikahinya.

Menurut kepercayaan, keduanya moksa. Versi kedua mengisahkan bahwa seni reog pertama-tama dimanfaatkan oleh Demang Ki Ageng Kutu Surya Ngalam, seorang ulama untuk mengeritik Raja Majapahit, Brawijaya V, yang dikendalikan oleh permaisurinya. Sang Raja dilambangkan sebagai seekor harimau, sedangkan Sang Permaisuri dilambangkan sebagai burung merak yang hinggap di atas kepala harimau tersebut. Pada waktu Ponorogo diperintah oleh Bathara Katong, seni reog digunakan sebagai alat yang efektif untuk menarik massa dan juga berkomunikasi dengan mereka. Bathara Katong mampu mengamankan wilayah Majapahit, terutama kadipaten Ponorogo, dan berhasil menyebarkan agama Islam secara damai. Ki Ageng Mirah, seorang abdi yang setia, menandai keberhasilan tersebut dengan menempatkan lambang Islam dalam bentuk tasbih pada paruh burung merak. Sementara simbol ular masih tetap ada.

Para seniman reog sangat menghormati tokoh lokal yang disebut warok. Bagi masyarakat Ponorogo warok adalah tokoh lokal yang memiliki kekuatan adikodrati, martabat, dan kharisma. Dalam seni reog para leluhur orang Ponorogo mengabadikan peranan warok sebagai pengawal raja Wengker yang perkasa. Untuk memperingati keberhasilan para pemuka Islam Ponorogo dalam menyebarkan agamanya, seperti Ki Ageng Kutu Surya Ngalam, Bathara Katong, dan Ki Ageng Mirah, maka masyarakat Ponorogo dengan dibantu oleh pemerintah Kabupaten Ponorogo menyelenggarakan festival reog pada setiap bulan Syura atau Muharam. Pergelaran seni reog pada umumnya menggambarkan perjalanan prajurit berkuda dari Ponorogo menuju kerajaan Kediri untuk mempersunting putri Raja Kediri. Perjalanan para prajurit tersebut dipimpin oleh senapati Bujangganong. Dalam perjalanan pulang, mereka dihadang oleh Singabarong beserta tentaranya, tetapi prajurit Ponorogo memetik kemenangan.

Dalam sejarah politik Indonesia, reog pernah digunakan untuk mengumpulkan atau mengerahkan massa, terutama dalam rapat atau kampanye partai politik. Jadi, di samping berfungsi sebagai hiburan, seni reog juga berfungsi sebagai alat penggerak massa. Formasi iring-iringan seni reog biasanya terdiri dari 1) tiga atau empat orang pengawal yang berpakaian lengkap dan khas Ponoragan. Mereka berperan sebagai pembuka jalan; setelah itu; 2) kelompok pendamping yang bertugas menjaga barisan penari reog, jumlahnya seimbang dengan jumlah kelompok pengawal; dan kemudian; 3) penari/pemain inti dan pemain cadangan, terdiri atas pemain barongan, penari topeng, dan penari kuda;  4) pemukul gamelan yang berada di belakang kelompok penari, terdiri atas peniup terompet, tukang gendang, pemain angklung, pemukul kethuk kenong, dan pemukul ketipung; dan paling belakang; 5) para pengiring. Para pemain, pengawal, pendamping, pengiring, dan pemukul gamelan mengenakan pakaian khas Ponoragan yang hingga saat ini menjadi identitas masyarakat Ponorogo.

Pada umumnya para pemain dan pengiring reog adalah kaum lelaki. Dalam perkembangannya, muncul juga pemain perempuan, yakni para pengendara kuda kepang atau eblek. Pernah pada suatu ketika seorang pejabat di Kabupaten Ponorogo, yakni Kasi III Departemen P dan K Kabupaten Ponorogo mengeluarkan surat edaran tentang larangan bagi perempuan untuk tidak menjadi penari kuda kepang. Dinyatakan dalam surat edaran tersebut bahwa penari wanita dalam seni reog adalah tabu. Larangan tersebut tertuang dalam Surat Dep. P dan K No. 644/II.04.19/J-78 tanggal: 1-7-1978 (Hartono, 1980:18).

Dalam sejarah seni reog Ponorogo dikenal adanya perilaku homoseksual. Sekelompok laki-laki memelihara anak laki-laki belia, yang disebut gemblakan yang dijadikan kekasih. Anak laki-laki tersebut menggantikan fungsi wanita. Ia disayangi dan dimanjakan layaknya kekasih. Fenomena ini sekarang jarang terdengar, tetapi beberapa orang mengatakan bahwa praktik homoseksual dalam seni reog masih sering terjadi. Gamelan yang mengiringi seni reog sangat khas, terdiri atas angklung, ketipung, gendang, kempul, kethuk kenong, dan terompet. Kesenian reog tidak dapat diiringi dengan jenis gamelan yang lain. Irama musiknya penuh gairah dan semangat, seolah-olah sebuah pertempuran sedang membara. Musik ini dipercaya sebagai pemberi energi positif terhadap penari reog, terutama penyangga barongan dan dhadhak merak yang sangat berat, terkadang seberat 60 kg. Barongan dan dhadhak merak sebenarnya dua buah benda yang dapat dipisahkan. Barongan adalah sebuah peralatan berbentuk kepala harimau, sedangkan dhadhak berupa burung merak yang sedang menari. Apabila kedua buah benda tersebut disatukan, maka ia disebut reog.

Dalam seni reog juga terdapat penari topeng lain di samping barongan, yakni topeng hewan, topeng manusia, dan topeng raksasa.Topeng Bujangganong berwujud raksasa. Warnanya merah tua atau hitam. Rambutnya panjang ke depan dan mata melotot. Terkadang ia disebut thethek melek. Sebagian besar pemerhati menyatakan bahwa sebutan Bujangganong berasal dari Pujangga Anom. Barongan termasuk topeng hewan. Sedangkan yang termasuk topeng manusia adalah topeng klana. Ada juga yang memasukkan topeng patrajaya dan topeng patrathala ke dalam kelompok topeng manusia. Dahulu, penari kuda kepang ialah seorang gemblakan, sedangkan sebagai pembarongnya diperagakan oleh seorang warok. Gemblakan atau warokan merupakan dua sosok yang berbeda tetapi merupakan satu kesatuan. Keduanya tidak dapat dipisahkan, ibarat merak dengan harimau dalam rimba raya. Gemblakan adalah merak, sedang warokan adalah singa hitam (Hartono, 1980:69).

Hingga saat ini seni reog masih memiliki pewaris aktif dan pewaris pasif yang cukup banyak. Daya tarik seni reog masih cukup besar. Banyak event penting yang menyuguhkan pertunjukan reog. Biaya tanggapan cukup beragam, dari beberapa juta hingga puluhan juta rupiah. Meskipun sekarang ini seni reog tidak lagi menjadi instrumen politik dan hanya memiliki pasar yang terbatas, ia masih dapat bertahan dengan gagah dan mampu mencuri perhatian massa. Bagaimana halnya dengan perkembangan seni ludruk di Jawa Timur? Masih banyaknya kelompok kesenian ludruk di berbagai daerah di Jawa Timur merupakan indikator bahwa teater tradisional ini masih dikehendaki keberadaannya.

Dari Buku Seni Tradisi Budaya Daerah (Data organisasi Kesenian Daerah se Jawa Timur) yang diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur (1998) dapat dilihat bahwa sebagian kota di Jatim, terutama wilayah kebudayaan Arek dan Pandalungan masih memiliki banyak kelompok kesenian ludruk. Sebagai seni pertunjukan tradisional Jawa, ludruk memiliki konvensi yang terkait dengan wewaton (dasar pertunjukan), paugeran (aturan pertunjukan), dan pakem (bakuan) dalam setiap pertunjukannya. Diakui atau tidak, seni pertunjukan ludruk sekarang ini merupakan salah satu jenis seni pertunjukan tradisional yang menjadi “korban” perubahan selera berkesenian dan selera publik terhadap jenis tontonan dan hiburan. Sekarang ini, sejujurnya, berbeda dari era 1950-an dan 1960-an ketika kesenian tradisional masih berjaya, ludruk kurang mendapatkan tempat di hati publik.

Dalam sejarah kesenian, ludruk memiliki sejarah yang cukup panjang. Suripan Sadi Hutomo (1990:7) telah menyajikan sistematika sejarah ludruk berdasarkan manuskrip, kamus, artikel, dan laporan pejabat pemerintah kolonial Belanda. Menurutnya, sejarah ludruk berdasarkan data tertulis, berawal dari Lerok Bandan, yakni seni pertunjukan rakyat yang dipentaskan di halaman, didukung dengan alat musik yang amat sederhana, anatar lain, kendang dan jidor. Penyajian pertunjukan lerok bandan didukung oleh pelaku panggung yang menyajikan adegan mistis, kesaktian atau kekebalan. Pertunjukan ini seringkali digunakan sebgai pengobatan anak yang sedang sakit. Secara historis bentuk seni ludruk ini diperkirakan telah muncul ada abad ke-13 dan ke-14 bahkan sampai abad ke-16. Kemudian dikenal istilah Sandiwara Lerok yang telah dilengkapi dengan musik pengiring gamelan sederhana, tetapi di dalamnya sudah terdapat kidung/kidungan.

Bentuk ini masih menyajikan unsur mistis, kekuatan gaib, tenaga dalam dan serangkaian sistem religi Jawa yang lain. Setelah itu muncul istilah Lerok Besut dan Lerok Ngamen yang mendapat sambutan besar dari masyarakatnya. Para pemainnya sering diundang ke tempat orang-orang yang punya hajat, misalnya acara penganten, khitanan, ngruwat/melepas kaul, dan lain-lainnya dengan sebutan nanggap lerok (Supriyanto, 2001:11). Yang paling akhir muncul adalah bentuk lerok berlakon, yakni penyajian seni pertunjukan dengan dukungan cerita. Lerok berlakon ini memasuki masa popularitas yang tinggi sesudah zaman Jepang dan pasca kemerdekaan Republik Indonesia. D. Djajakusuma pada sarasehan ludruk di Surabaya pada tahun 1987 mengatakan bahwa pada awal abad ke-19, kata ludruk telah dikenal di lingkungan masyarakat Jawa Timur. Berdasarkan data tersebut, Suripan Sadi Hutomo menyimpulkan bahwa pada abad ke-17 kata ludruk dalam arti badhut atau bebadhutan telah menjadi kesenian rakyat. Permasalahannya ialah bagaimana menelusuri bentuk dan ciri kesenian rakyat tersebut yang tidak dapat direkonstruksi (Supriyanto, 2001:8-10).

Sebagai produk budaya lokal, ludruk merupakan seni pertunjukan yang khas bagi rakyat Jawa Timur. Sebagai produk budaya lokal yang khas, ludruk mempunyai karakteristik yang tidak ditemukan dalam seni tradisional yang lain. Sedyawati (dalam Supriyanto, 1992:23-24) menyatakan bahwa ludruk sebagai drama tradisional, memiliki ciri khas, antara lain, (1) pertunjukan ludruk dilakukan secara improvisatoris, tanpa persiapan naskah; (2) memiliki pakem/ konvensi: (a) terdapat pemeran wanita yang diperankan oleh laki-laki; (b) memiliki lagu khas, berupa kidungan jula-juli; (c) iringan musik berupa gamelan berlaras slendro, pelog, laras slendro dan pelog; (d) pertunjukan dibuka dengan tari ngremo; (e) terdapat adegan bedayan; (f) terdapat sajian/adegan lawak/dagelan; (g) terdapat selingan travesti; (h) lakon diambil dari cerita rakyat, cerita sejarah, dan kehidupan sehari-hari; (i) terdapat kidungan, baik kidungan tari ngremo, kidungan bedayan, kidungan lawak, dan kidungan adegan. Senada dengan pendapat tersebut, Peacock (1968), mengemukakan ciri ludruk, antara lain, (1) lakon yang dipentaskan merupakan ekspresi kehidupan rakyat seharihari; (2) diiringi musik gamelan dengan tembang khas jula-juli; (3) tata busana menggambarkan kehidupan rakyat sehari-hari; (4) bahasa disesuaikan dengan lakon yang dipentaskan, dapat berupa bahasa Jawa atau Madura; (5) kidungan terdiri atas pantun atau syair yang bertema kehidupan sehari-hari; (6) tampilan dikemas secara sederhana, dan sangat akrab dengan penonton.

Kasemin (1999:19-20) menyatakan bahwa struktur pementasan ludruk dari zaman awal kemerdekaan sampai sekarang tidak mengalami perubahan yang signifikan. Artinya, struktur pementasan dari awal terciptanya seni ludruk hingga saat ini masih diikuti oleh generasi-generasi pelapisnya. Struktur pementasan ludruk tersebut adalah sebagai berikut. 1. Pembukaan, diisi dengan atraksi tari ngrema. 2. Atraksi bedayan, berupa tampilan beberapa travesti dengan berjoged ringan sambil melantunkan kidungan jula-juli. 3. Adegan lawak (dagelan), berupa tampilan seorang lawak yang menyajikan satu kidungan disusul oleh beberapa pelawak lain. Mereka kemudian berdialog dengan materi humor yang lucu. 4. Penyajian lakon atau cerita. Bagian ini merupakan inti dari pementasan. Biasanya dibagi beberapa babak dan setiap babak dibagi lagi menjadi beberapa adegan. Di sela-sela bagian ini biasanya diisi selingan yang berupa tampilan seorang travesti dengan menyajikan satu tembang jula-juli. Tidak berbeda dari seni reog Ponorogo, seni ludruk adalah kesenian tradisional nonagraris yang masih mampu bertahan. Di Provinsi Jawa Timur, daerah persebarannya cukup luas. Meski tak lagi menjadi pertunjukan yang laris manis seperti pada saat belum muncul televisi dan film layar lebar sebagai sarana hiburan, kehadirannya di tengah hiruk pikuk seni pop masih ditunggu banyak orang. Ludruk juga masih muncul di beberapa stasiun televisi dan radio dan menjaring pemirsa yang cukup meyakinkan, meski sebagian besar penikmatnya tetap masyarakat kelas menengah ke bawah.


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 17 Agustus 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar