Gus Nadir: Pentingnya Pembaruan Aturan Penggunaan alat Pengeras Suara di Masjid

 
Gus Nadir: Pentingnya Pembaruan Aturan Penggunaan alat Pengeras Suara di Masjid

LADUNI.ID, Jakarta - Kasus yang menjerat Meiliana, warga Tanjungbalai, Sumatera Utara yang dijatuhi hukuman 18 bulan tahanan akibat dituduh melakukan penistaan agama karena meminta volume speaker masjid dipelankan ketika azan. Kasus ini sontak menghebohkan jagat media dan menyedot perhatian publik  sekaligus mengundang komentar dari berbagai kalangan.

Di antaranya datang Nadirsyah Hosen, seorang dosen senior dari Monash University yang merupakan Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Australia dan Selandia Baru.

Ada dua hal yang disinggung oleh pria yang kerap disapa Gus Nadir ini; pertama pentingnya pembarauan aturan mengenai penggunaan alat pengeras suara dan perlunya mengevaluasi kembali pasal 156A.

Mengenai masalah pertama, Gus Nadir berpendapat bahwa peraturan mengenai suara azan yang ditetapkan oleh kementerian agama melalui Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushalla diangapnya perlu pembaharuan.

“Payung hukumnya yang sudah lama ternyata tidak efektif karena hanya berupa instruksi Dirjen. Karenanya perlu didorong untuk direvisi. Misalnya dalam bentuk keputusan Menteri Agama atau Peraturan Pemerintah,” ujar Nadirsyah Hosen.

Upaya pembaharuan peraturan bukan hal baru. Wakil Presiden tahun 2012, Boediono pernah melontarkan pandangan serupa dalam sebuah pidato sambutan di Pembukaan Muktamar Dewan Masjid Indonesia (DMI) ke-6 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, 27 April 2012. Kala itu ia mengusulkan agar DMI membahas mengenai pengaturan suara azan yang disambut baik oleh Jusuf Kalla selaku ketua DMI masa itu.

“Namun pemerintah SBY kala itu difitnah seakan-akan hendak melarang azan. Padahal sebenarnya bukan melarang azan tapi mengatur,” ujar Nadirsyah. Pengaturan semacam ini, lanjutnya, harus dibarengi dengan edukasi untuk masyarakat, agar bisa membedakan antara membuat aturan tentang azan dan melarang kumandang azan.

Pengaturan semacam itu, lanjut Nadirsyah, tak lantas membuat orang lupa waktu, sebab saat ini sudah banyak yang bisa ditempuh untuk mengetahui waktu masuk masa shalat, misalnya dengan aplikasi azan di smart phone, atau dengan cara lain.

“Sekarang dengan kecanggihan teknologi ada banyak cara lain bahwa waktu solat telah tiba. Sekarang sudah ada jam tangan ada aplikasi di handphone dan laptop, yang bisa mengingatkan kita bahwa waktu shalat tiba,” lanjutnya.

Untuk itu, bagi dia, yang tak kalah penting adalah mengembalikan fungsi azan sebagai salah satu cara pengingat masuknya sebuah waktu beribadah, yang perlu memperhatikan kenyamanan orang lain. Sebab, jika tidak diatur, suara azan tidak hanya mengganggu kalangan non muslim tapi juga umat islam sendiri.

Hal kedua yang menjadi sorotan dosen senior fakultas hukum ini adalah pasal 156 A yang disebutnya sebagai ‘pasal karet’ yang ditimpakan pada Meliana. Menurut dia, kejadian yang viral ini dapat dimanfaatkan sebagai sebuah ‘kesempatan’ untuk meninjau ulang pasal tersebut. Sebab, pasal ini tidak memiliki batasan yang jelas, sehingga mudah ‘ditarik ke sana-ke mari’.

“Karena itu sudah waktunya pasal seperti ini segera dihapus dan diganti dengan undang-undang yang lebih mengakomodir semua pihak.  Sehingga batasan yang mana yang disebut penodaan agama menjadi jelas,” kata Nadirsyah.

Di sisi yang lain, aparat pemerintah dalam beberapa kesempatan menggunakan pasal tersebut sebagai alat untuk ‘menjaga ketenangan sosial’. “Jadi isunya yang dijaga oleh pemerintah bukan lagi penodaan agamanya tapi ketenangan sosialnya, dengan berakibat hak-hak minoritas bisa terpinggirkan,” lanjut Gus Nadir.

Karena itu, ia mendorong agar filosofi di balik ‘pasal karet’ 165A ini ditinjau kembali. Sebab, antara menjaga kerukunan umat beragama dengan menimpakan pasal penodaan agama itu dua hal bisa menjadi kontra produktif.

“Saya kira harus diluruskan bahwa menjaga kerukunan umat beragama dengan menjaga ketertiban sosial bisa berjalan beriringan jika kita rumuskan dengan baik, bukan lewat pasal-pasal mengkriminalkan orang lain seperti pasal 165 A itu,” pungkasnya

 

Sumber: NU Online