Melestarikan Lontar Yusuf Menggerakkan Milenial

 
Melestarikan Lontar Yusuf Menggerakkan Milenial

Banyuwangi – Sanggar Rumah Budaya Osing (RBO) di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, pada Selasa malam (4/9) terlihat ramai. Anak-anak muda yang biasa dikelompokkan sebagai generasi milenial terlihat mendominasi. Nuansa pakaian serba hitam dan sebagian mengenakan ikat kepala khas Banyuwangi. Mereka sedang menyimak lantunan Lontar Yusuf yang dibawakan oleh Adi Purwadi atau akrab disapa Kang Pur.

“Ini adalah bagian dari kaderisasi. Kita ingin melestarikan budaya khas masyarakat Suku Osing ini kepada generasi millenial,” ungkap penggagas acara pelatihan Moco Lontar Yusuf, Wiwin Indiarti, ketika ditanya perihal keikutsertaan anak-anak muda.

Lontar Yusuf sendiri merupakan tradisi yang berkembang di tengah masyarakat Osing. Yaitu sebuah tradisi membacakan kisah hidup dan perjuangan dari Nabi Yusuf yang tertulis dalam sebuah naskah kuno. Isinya sarat dengan nilai-nilai dakwah keislaman. Di tengarai, tradisi ini telah berkembang ratusan tahun silam di bumi Blambangan. Berkembang seiring dengan proses Islamisasi yang berlangsung sejak abad 16. Biasanya, pembacaan (mocoan) Lontar Yusuf dilakukan sebagai pengiring ritual tradisi.

“Seperti halnya adat Gelar Songo di Glagah atau Seblang Bakungan, pada malam sebelum di gelar adat tersebut, diawali dengan pembacaan Lontar Yusuf,” ungkap Purwadi yang merupakan penggiat budaya Osing.

Lebih jauh, Purwadi menjelaskan, pembacaan Lontar Yusuf diyakini sebagai laku spiritualitas. Membacanya adalah bagian tirakat untuk memperkuat batiniah pembacanya. “Jadi, ada aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar saat membacanya,” tuturnya.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN