Benarkah Nabi dan Sahabat Memiliki Ambivalensi dalam Bersikap?

 
Benarkah Nabi dan Sahabat Memiliki Ambivalensi dalam Bersikap?

Pada seminar tentang Moderate Islam kemarin di UIN Maliki, ada peserta menanyakan potensi ambivalensi dalam sikap Nabi dan para sahabat. Terkadang diistilahkan dengan Rahmat Muhdah, terkadang berperang dan "membunuh".

Bagaimana kita menjelaskan?

Kami katakan, tidak ada ambivalensi atau sikap mendua dalam Islam : Terkadang cinta, terkadang benci.

Dalam bahasa joke saya katakan, karena "benci" adalah cinta yang tertunda. Atau barangkali "benci" sebenarnya adalah "benar-benar cinta".

Kita tak bisa menuduh Nabi liberal karena beliau menyusun Mitsaqul Madinah atau Piagam Madinah. Sebagaimana kita tak boleh menuduh Nabi radikal karena menghancurkan Masjid Dhirar.

Dalam kedua kejadian tersebut, Nabi hanya menjalankan perintah syariat. Sedangkan dalam syariat tidak ada sesuatu yang paradoks atau kontradiktif.

Oleh karena itu apabila ada teks yang lahiriahnya ta'arudh atau bertentangan, maka bila memang memungkinkan para ulama lebih suka menempuh jalur jam'u atau mengawinkan dua pendapat atau lebih, daripada nasakh mansukh atau tarjih. Dengan jam'u kedua teks dapat sama-sama diamalkan.

Dan, yang menyatukan teks-teks yang secara lahiriah bertentangan atau sikap yang sepertinya ambivalen, adalah KONTEKS.

Semua memiliki konteksnya masing-masing. Makanya ada sabab nuzul ayat, ada sabab wurud hadits.

Bahkan dalam malam dan siang, serta pergerakan alam semesta. Tidak ada yang bertentangan. Siang memberikan kehangatan. Malam memberikan ketenangan.

وَجَعَلْنَا ٱلَّيْلَ لِبَاسًا. وَجَعَلْنَا ٱلنَّهَارَ مَعَاشًا

"Kami jadikan malam sebagai pakaian, dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan." (QS. An-Naba’ : 10-11)

Pun dalam masalah poligami, yang konon menjadi topik paling seru untuk diperdebatkan. Selagi dalam batas kewajaran syari'ah, kelompok pro poligami memiliki konteksnya sendiri. Kelompok kontra poligami pun memiliki konteksnya sendiri.

Wallahu a'lam..