Sekolah Itu Menghidupkan, Bukan Mematikan Mereka

 
Sekolah Itu Menghidupkan, Bukan Mematikan Mereka

Oleh Sholihin H. Z.
(Kepala MTs ASWAJA Pal Lima Pontianak) / Anggota PW ISNU Kalbar

Satu hari, penulis didatangi beberapa alumni sekolah di tempat penulis bertugas saat ini. Bertemu, jabat dan cium tangan dan biasa pertanyaan yang diajukan guru adalah sekarang melanjutkan kemana. Pertanyaan khusus yang selalu penulis ajukan adalah di SMA/MA ikut ekskul apa, dari beberapa alumni tersebut penulis cukup terkejut dengan satu alumni yang memberikan jawaban bahwa ia aktif di salah satu ekskul dan ditunjuk sebagai asisten pelatih. Bukan ekskulnya yang menjadi pikiran penulis, tetapi bahwa alumni ini saat masih tercatat sebagai siswa di tempat penulis bertugas cukup dikenal bukan karena aktivitas ekskulnya, bukan karena juara kelasnya dan bukan karena prestasinya tapi karena ia sering terlambat, tidak ada ekskul satupun yang diikutinya, dan prestasinya biasa-biasa saja. Sebagian nama siswa terlambat yang ada di jurnal guru piket saat itu adalah namanya. Saat ini ia datang dan bangga dengan mengatakan bahwa ia diangkat menjadi asisten pelatih di ekskul sekolahnya saat ini, penulis mencoba meyakini bahwa tidak mungkin orang yang biasa-biasa saja, yang sering terlambat akan diangkat pada posisi itu. Pasti trjadi perubahan yang besar dalam diri anak ini.

Pada akhirnya, penulis memahami dan sampailah pada satu titik persinggungan bahwa sekolah bukan sekedar tempat untuk melihat mereka eksis dan berprestasi, sekolah juga harus dilihat sebagai wadah untuk membangkitkan potensi kemajuan dan bekal untuk hari esok, esok bisa bermakna selama mereka berada di bangku sekolah saat ini, bisa berarti pada jenjang pendidikan berikutnya dan seterusnya. Sekolah harus selalu memberikan nutrisi optimis dan gairah meraih cita-cita, bahwa setiap anak memiliki kelebihan masing-masing. Ringkasnya, setiap anak adalah juara. Sekolah harus memainkan peran sebagai pusat pembangkit semangat anak-anak untuk meraih masa depan, dan bukan sebagai lembaga yang mematikan aktivitas dan kreativitas warganya. Contoh begitu sempitnya imajinasi dan kreativitas anak-anak adalah apa yang mereka gambar saat disediakan pensil dan buku gambar? Penulis yakin akan ada atau malah sebagian besar menggambar dua gunung, dengan matahari sedang terbit, ada burung dan awan berarak, sepanjang jalan ada tiang listrik dengan tanaman padi menyertainya, tidak jauh akan ada seorang yang sedang memancing. Sekali lagi, sekolah harus mampu membuka ruang-ruang imajinasi peserta didik dan memberi kebebasan berkreasi sebagaimana keinginan mereka.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN

 

 

Tags