Siapakah Keturunan Nabi Muhammad SAW Angkatan Pertama yang Tiba di Asia Tenggara?

 
Siapakah Keturunan Nabi Muhammad SAW Angkatan Pertama yang Tiba di Asia Tenggara?
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Menurut Dr. Hilmy Bakar Almascaty seorang peneliti Sejarah Aceh yang dikutip dari SerambiNews.com, bahwa Ahlul Bait secara umum diartikan sebagai keluarga Nabi Muhammad saw. Selanjutnya dipahami sebagai itrah atau keturunan Nabi saw berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan beberapa imam lainnya, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Aku tinggalkan kamu dua perkara, jika kamu berpegang teguh kepada keduanya, maka kamu tidak akan sesat selamanya, yaitu kitab Allah (Alquran dan al-Sunnah) dan (itrah) keturunanku.”

Menurut penelitian pakar sejarah dan ahli nasab di Aceh, ahlul bait atau keturunan Nabi saw angkatan pertama yang tiba di Asia Tenggara, tepatnya di Aceh-Sumatra adalah Abdullah bin Hasan Mutsanna bin Hasan bin Ali atau cicit Nabi Muhammad saw. Sosok Abdullah bin Hasan Mutsanna bin Hasan bin Ali atau cicit Nabi Muhammad saw dalam sejarah disebutkan bahwa beliau hijrah ke kepulauan Nusantara setelah singgah dan menetap di pelabuhan Chambia (Kambei) India.

Perjalanan dan misinya tidak lain selain untuk mengembangkan misi perjuangan keluarga Rasulullah saw. Sejarah tidak mencatat, apakah beliau meninggal di wilayah ini atau kembali ke tanah Arab. Keberadaan nama Abdullah disebut dalam ikhtisar Radja Jeumpa oleh Ibrahim Abduh yang disadurnya dari Hikayat Radja Jeumpa. Sebelum kedatangan Islam di daerah Jeumpa sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin turun temurun oleh seorang Meurah. Saudagar muslim keturunan Arab bernama Abdullah ini tiba di Aceh pada awal abad ke 8 Masehi. Selanjutnya Abdullah tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam. 

Menurut silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam, Kesultanan Sulu-Mindanao, Tarsilah Sultan Kelantan-Trengganu, Silsilah Raja-Raja Aceh dan lainnya, menyebutkan tentang Kerajaan  Jeumpa pada sekitar 156 H (780 M) yang dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan anak Raja Jeumpa bernama Mayang Seuladang. Menurut sebagian peneliti, sang putri adalah anak dari Raja Jeumpa pertama Maulana Abdullah. Syahriansyah Salman memiliki beberapa anak, antara lain Syahri Poli, Syahri Tanti, Syahri Nuwi, Syahri Dito dan Makhdum Tansyuri yang menjadi ibunda dari Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak.

Sampai saat ini, peneliti belum menemukan silsilah Pangeran Salman ke atas, apakah beliau termasuk dari keturunan Nabi Muhammad saw atau keturunan raja-raja Parsia. Karena di silsilah tersebut tidak disebutkan. Namun menurut pengamatan pakar sejarah, sebagaimana disebutkan naskah Idhar al-haqq fi Mamlakat Ferlah wal Fasi karangan Abu Ishak Al-Makarani Al-Fasi  dan Tazkirat Tabaqat Jumu Sultanul Salatin karya Syaikh Syamsul Bahri Abdullah Al-Asyi, beliau termasuk keturunan Sayyidina Husein bin Ali, karena memberikan gelar Syahri kepada anak-anaknya. Ini jelas menunjuk kepada moyang perempuannya, istri Sayyidina Husein yang bernama Syahribanun. Beliau juga  mengawinkan anak perempuannya dengan Maulana Ali atau cucu Imam Ja’far Sadiq. Selain itu, anaknya, Syahri Nuwi adalah patron dari rombongan nakhoda khalifah.

Ada yang menganggap kedatangan rombongan ini atas permintaan Syahri Nuwi untuk memperkuat dinasti ahlul bait atau keturunan Nabi saw yang mulai berkembang  di kepulauan Sumatra setelah mendapat pukulan di Arab maupun Parsia. Para peneliti memperkirakan Salman adalah salah seorang keturunan dari Imam Musa al-Kazhim cicit Sayyidina Husein dari perkawinannya dengan putri bangsawan di sekitar Champia di India.

Syahriansyah Salman telah mengangkat anak-anaknya menjadi Meurah-Meurah baru. Ke sebelah timur, beliau mengangkat anaknya Syahr Nuwi sebagai Meurah di sebuah kota baru bernama Perlak. Namun dalam perkembangannya, Kerajaan Perlak tumbuh pesat menjadi kota pelabuhan baru terutama setelah kedatangan rombongan keturunan Nabi yang dipimpin Maulana Muhammad al-Diba’i bergelar Nakhoda Khalifah. Syahr Nuwi mengawinkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan salah seorang tokoh rombongan tersebut bernama Maulana Ali bin Muhammad bin Jafar Sadik, cicit kepada Nabi Muhammad saw. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama  Maulana Sayyid Abdul Aziz, dan pada  1 Muharram 225  H atau tahun 840 M,  dilantik  menjadi  Raja  dari Kerajaan Islam Perlak.

Suasana yang kondusif di wilayah Aceh, yang jauh dari perpecahan dan tiranisme seperti yang tengah terjadi di Jazirah Arabia akibat perebutan kekuasaan dari bani Umayyah atau penggantinya bani Abbsiyah, menjadikan keturunan Nabi Muhammad seperti Maulana Abdullah (Yaman), Salman (Parsi), Maulana Muhammad al-Diba’i (Baghdad) dan para pengikutnya mapan di wilayah Aceh dan sekitarnya dalam mengembangkan pemahaman keislamannya yang lebih dekat kepada pemahaman ahlul bait. Dengan kharisma dan pengaruh yang dimilikinya, mereka dapat menyeru masyarakat untuk memeluk agama Islam, serta berhasil berdakwah kepada raja-raja di wilayah sekitar Aceh-Sumatra, yang berkembang menjadi jaringan kerajaan Islam Asia Tenggara yang dipimpin oleh para keturunan Nabi Muhammad saw dari suku Quraisy, sebagaimana disebutkan hadits: “Kepemimpinan dari kalangan Quraisy”. Itulah sebabnya hampir semua raja dan sultan awal kerajaan Islam di Asia Tenggara adalah dari kalangan ahlul bait, baik yang berada di Jeumpa, Perlak, Pasai, Aceh Darussalam dan lainnya.

Maka tidak berlebihan jika dikatakan di wilayah Aceh pada awal perkembangan Islam, bersamaan dengan terjadi perbedaan pendapat antar-mazhab di Jazirah Arabia, yang menjadi beberapa aliran besar mazhab, telah berkembang pula paham keagamaan yang pada dasarnya tidak memiliki hubungan dengan pertikaian antar mazhab di Dunia Arab akibat perbedaan politik di kalangan kaum muslimin. Paham keislaman ini lahir dari pengetahuan tentang keislaman yang murni (Islam Madinah) dibawa oleh murid-murid utama para sahabat Nabi yang utamanya datang dari wilayah Hadramaut Yaman yang berkembang di kalangan para saudagar Muslim. Paham keagamaan ini bertambah dewasa setelah kedatangan para maulana dan ulama yang diketahui sebagai keturunan dan pengikut Sayyidina Ali dan tidak seekstrim mazhab Damsyik ataupun Baghdad yang memusuhi ahlul bait.

Ahlul Bait Aceh ini secara fiqh lebih dekat dengan mazhab Sunni, karena memiliki sumber pengambilan yang sama, yaitu dari Imam Syafi’i yang mengambil manhaj Imam Ja’far al-Shadiq yang diketahui berguru kepada murid-murid Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain.   Di kemudian hari, paham ahlul bait Aceh inilah yang akan melahirkan sebuah paham yang sulit dibedakan, apakah beraliran syiah atau sunni, karena memiliki ajaran yang mirip syiah dan sunni sekaligus. Paham yang terbuka kepada ajaran-ajaran Islam yang berkembang di dunia Arab, Parsia, Maghrib, India, Cina, Andalusia, Turki dan lainnya, namun memiliki dasar pemahaman yang berakar pada keislaman para sahabat utama Nabi saw. Namun paham ini memang tidak menghasilkan Imam-Imam besar sebagaimana yang telah dilahirkan di Jazirah Arabia, namun tidak diragukan paham ini telah berhasil menjadi penggerak Islamisasi Asia Tenggara yang dipelopori para saudagar, dari Semenanjung Malaya sampai di Fak-fak di Papua.

Dari sejarah ini, dapat diketahui bahwa jaringan keturunan Nabi saw datang ke wilayah utara Sumatra, khususnya ke Aceh adalah dengan perencanaan untuk membangun sebuah jaringan kekuatan ahlul bait bersama dengan pemahaman keislaman yang mereka yakini kebenarannya. Sebagaimana disebutkan banyak hadits tentang peristiwa pembantaian keturunan Rasulullah pascakhalifah rasyidah dan hubungannya dengan pembelaan sebuah kelompok dari timur (qaum min masyrik), yang tidak diragukan berada di sebelah timur dari Madinah, tempat Rasulullah mengucapkannya, terbentang dari daratan Yaman, menyeberang Samudra Hindia ke wilayah Sumatra dan seterusnya. Dalam kenyataannya, sejarah membuktikan bahwa para keturunan Rasulullah (itrah) banyak yang berhijrah ke wilayah Sumatra-Aceh dan mendapatkan pembelaan dari masyarakat timur ini, bahkan mereka diberi kehormatan sebagai raja dan sultan.

Peran ahlul bait awal di Aceh, pertama adalah mewarisi genetik terbaik keturunan Rasulullah saw dari jalur Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein, yang selanjutnya melahirkan orang-orang besar yang menjadi ulama dan sultan di Nusantara. Sebagaimana diketahui, hampir seluruh sultan di Nusantara, dari Maulana Abdul Aziz Syah (Sultan Perlak) sampai kepada Sultan Malik al-Salih (Sultan Pasai), Sultan Ali Mughayat Syah (Sultan Aceh Darussalam) sampai sultan terbesar Aceh, Sultan Iskandar Muda adalah menyambung silsilahnya secara geneologi dengan ahlul bait.

Kedua, para ulama dan sultan keturunan ahlul-bait ini telah mengembangkan sistem politik yang bertitik tolak pada pandangan alam dari ahlul bait, yaitu yang memberikan syarat kepemimpinan adalah dari kalangan atau keturunan (itrah) ahlul bait, sebagaimana disebutkan dan dibuktikan dalam silsilah para sultan di Nusantara.

Ketiga, para ulama dan sultan dari kalangan ahlul bait ini juga secara bertahap telah mengajarkan paham-paham keagamaan yang bersumber dari ajaran ahlul bait, sehingga keputusan-keputusan politik didasarkan kepada mazhab ahlul bait. Di antaranya adalah wajibnya sultan mengangkat dewan penasihat keagamaan (majelis ulama) yang dipimpin seorang Syaikh al-Islam atau Qadhi Malik al-Adil. Kedudukan Syaikh al-Islam dalam Kerajaan Aceh Darussalam memiliki posisi yang sangat strategis dalam berbagai keputusan politik.

Keempat, kebijakan politik para ulama dan sultan dari kalangan ahlul bait ini secara otomatis telah melahirkan para ulama yang menjadi penyebar pemikiran para cendekiawan yang beraliran ahlul bait, di antaranya yang terkenal adalah Maulana Akbar (Sayyid Jamaluddin al-Akbar) dan Maulana Malik Ibrahim di Pasai yang dikenal sebagai pelopor Gerakan Walisongo, dan tentunya Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin al-Sumatrany bersama para murid-muridnya di Kerajaan Aceh Darussalam yang telah mengembangkan aliran Tasauf Falsafati yang berasal dari Parsia. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 27 September 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
___________________
Editor: Kholaf Al Muntadar