Wahdatul Wujud#8: Membongkar Kekhilafan Memahami Samudera Wahdatul Wujud

 
Wahdatul Wujud#8: Membongkar Kekhilafan Memahami Samudera Wahdatul Wujud

LADUNI.ID, TASAWUF-  Paham wahdatul wujud dalam perjalanannya mengalami kontroversi pemahaman dikalangan ulama. Berdasarkan dari kutipan beberapa sumber menyebutkan , kesalahpahaman berkenaan Wahdatul wujud ini, melahirkan dua golongan:

Pertama, Golongan yang menentang, lalu menghukum sesat orang-orang yang berpegang dengan Wahdatul-wujud. Para teolog, khususnya Ibnu Taymiyah dan ulama yang sepaham tentu mengkafirkan Al-Hallaj, dan termasuk juga mengkafirkan Ibnu Araby, dengan tuduhan keduanya adalah penganut Wahdatul Wujud atau pantheisme. Padahal dalam seluruh pandangan Al-Hallaj dan para sufi lainnya, tidak satu pun kata atau kalimat yang menggunakan Wahdatul Wujud dengan makna kesatuan wujud antara hamba dengan Khaliq.

Wahdatul Wujud dengan makna pantheisme hanyalah penafsiran keliru secara filosofis atas wacana-wacana Al-Hallaj, Ibnu Araby, Syekh Siti Jenar dan para sufi lainnya. Yang benar adalah Wahdatul Wujud dengan makna Wahdatusy Syuhud (Kesatuan Penyaksian). Sebab yang manunggal itu adalah penyaksiannya, bukan DzatNya dengan dzat makhluk.

Golongan ini benar dari satu sudut pandang, tetapi salah dari sudut pandang yang lain. Mereka benar dari sudut pandang karena menolak Wahdatul-wujud dengan makna hululdan ittihad , karena hulul dan ittihad adalah kesesatan yang nyata. Namun, mereka salah dari sudut memvonis sesat seluruh golongan yang berpegang pada Wahdatul-wujud , karena mayoritas para sufi dan ahli tasawwuf, yang membicarakan tentang Wahdatul-wujud, tidak memahaminya dengan pemahaman yang keliru, yaitu dengan makna hululdan ittihad.

Kedua, golongan yang berpegang pada Wahdatul-wujud dengan makna hulul dan ittihad, lalu mereka ini memproklamirkan ketuhanan pada diri mereka sendiri dengan mengaku tuhan dan sebagainya. Mereka adalah golongan yang sesat lagi menyesatkan. Mereka lebih suka disebut sebagai golongan hakikat (ciri-ciri mereka adalah tidak mau menempuh syariat, seperti menjalankan sholat hanya dengan niat semata, tanpa melakukan gerakan sholat, berdiri, ruku’, sujud dst).

Sejatinya, golongan sufi dan ahli tasawwuf, yang bersandarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, sangat menentang golongan ini. Di Jawa sendiri pemahaman seperti ini diadopsi oleh golongan yang menisbatkan dirinya kepada pengikut Syekh Siti Jenar dengan ajarannya “Manunggaling Kawulo Gusti”, mereka benar-benar meyakini Wahdatul wujud dengan makna hulul / ittihad (manunggal). Padahal Syekh Siti Jenar sendiri berlepas diri dari anggapan seperti itu. Seseorang yang mengambil pemahaman wahdatul wujud bukan dari kaum sufi, maka akan melahirkan kesalahpahaman seperti yang terjadi pada golongan ini.

Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya yang memahami wahdatul wujud dengan makna hulul atau ittihad (manunggal), adalah orang-orang sesat yang tidak tahu makna sebenarnya akan tetapi mereka menisbatkan diri pada kaum sufi, sementara kaum sufi yang sebenarnya juga menentang pemahaman seperti ini, ikut kena getahnya dan mendapatkan vonis sesat.

 

Helmi Abu Bakar El-Langkawi

Penggiat Literasi dan Sosial Agama serta Dewan Guru Dayah MUDI Masjid Raya Samalanga, Bireun

Sumber: Abu Basit, Kontroversi Tentang Wahdatul Wujud, 2011