Rhenald Kasali: Pemimpin Harus Berbasiskan Fakta, Bukan Ilusi

 
Rhenald Kasali: Pemimpin Harus Berbasiskan Fakta, Bukan Ilusi

LADUNI.ID, Jakata -  Setiap memberi kuliah kepemimpinan, saya selalu membukanya dengan leadership diamond yang digagas Peter Koestenbaum (2002), The Inner Side of Greatness. Sengaja memilih buku ini karena tujuan pengajarannya bukan melahirkan pemimpin biasa, melainkan pemimpin besar (great leader with greatness).

Maka ketika Indonesia dilanda hoax yang bisa memicu kebencian dan kebengisan beberapa hari ini, dan ketika hoaxmaker-nya mengakui bohong (3/10/2018), murid-murid saya pun tersontak.

Mereka kembali membahas Leadership Diamond: Seseorang hanya bisa menjadi besar kalau selalu bekerja dengan fakta. Bukan ilusi. Ya, fakta.

Percuma bergelar tinggi kalau mengendus fakta saja tidak bisa. Pemimpin tidak bisa memajukan bangsanya dengan ilusi. Maka dalam science pun, ilmuwan dibekali validity dan realibility check.

Di abad 21, Profesor Yuval Noah Harari mengingatkan bencana disillusionment akibat teknologi dan disrupsi. Baginya, “Clarity is Power.”

Dalam kepungan banyak berita yang kurang relevan, mendapatkan gambaran besar yang sebenarnya adalah sebuah kemewahan. Apalagi, “humans think in stories rather than in facts,” ujarnya.
2 dari 3 halaman
Tukang Mancing Lebih Pandai?

Saya membaca penyesalan para elit yang mengaku telah dikibuli seorang hoaxmaker minggu ini sambil senyum-senyum. Padahal beberapa jam sebelumnya mereka masih genit di hadapan wartawan dengan meyakinkan publik bahwa hoax itu benar. Sebaliknya anak-anak muda sudah lebih awal mengatakan, itu hoax.

Jejak digitalnya di lokasi sekitar kejadian sama sekali tidak ada. Akal sehat kita pun sebenarnya dengan mudah bisa menangkap "bahwa seseorang tengah merangkai sebuah ilusi."

Apalagi bagi pemimpin yang sudah makan asam garam. Seharusnya mereka sudah dibekali validity check dan intuisi yang kuat. Tanpa kemampuan mendeteksi fakta, seorang ekonom tak akan mungkin bisa menjadi menteri keuangan yang baik. Juga tanpa itu seorang panglima perang tak bisa membentengi bangsanya dalam peperangan.

Melihat kerumunan banyak saja mereka bisa bilang itu PKI. Atau saat kurs menembus Rp 15.000 mereka langsung bilang krisis.

Kalau Anda ingin tahu bagaimana masyarakat bergulat dalam serangan hoax dan mendeteksi kebohongan, maka bukalah video-video di Youtube dengan kata kunci 'penipuan'.

Anda akan terkejut. Sebab jumlahnya ribuan. Menggambarkan pengalaman rakyat jelata berhadapan dengan penipu. Salah satu favorit saya adalah tentang Tukang Mancing yang menghadapi seorang penyebar hoax sampai penipunya menyerah.

Setelah menyaksikan video itu, saya yakin Anda pasti memiliki persepsi yang sama dengan saya: Masyarakat kita telah menjadi sangat cerdas.

Mereka bukan cuma mengerti berita yang mereka terima hoax atau bukan, melainkan juga mengerjai penipunya. Mereka kuras pulsanya, membuat mereka marah karena gagal mendulang keuntungan. Ya, tentu penebar hoax mencari keuntungan dari kesusahan orang lain.

Sekali lagi ada ribuan video serupa itu, bukan satu-dua. Dan perlu saya ingatkan agar Anda berhenti. Masalahnya Anda akan ketagihan. Sebab, video-video itu genuine dan membuat Anda bahagia. Bukan karena lucu, tetapi puas telah bersatu dengan pemberantas hoax.

Nah, kalau masyarakat sudah begitu cerdas, renungkanlah, mengapa orang-orang hebat yang kemarin membenarkan dan turut mengamplifikasi hoax mengaku “telah menjadi korban berita tidak benar” alias tertipu? Ada yang berargumen empati telah mengalahkan nalar mereka. Tetapi benarkah demikian? Apakah empati disampajkan dengan pedas?

Saya menduga mereka telah sengaja membuat diri larut dalam ilusi yang mereka inginkan sendiri sehingga semakin menjauh dari fakta. Pemimpin yang demikian tentu bisa merepotkan masa depan diri dan bangsanya. Ya bagi saya mereka terlalu asik dengan khayalan “kebenaran” yang mereka inginkan. Ilusi itu bisa menjadi senjata untuk membenarkan pendapatnya tentang dunia yang “tidak adil”.

Tentu ada beragam interpretasi meaning dari kata “tidak adil”. Tetapi pada akhirnya seseorang bisa merasa tidak adil karena “kalah.” Apakah itu berasal dari ambisi yang tak terdamaikan, lawan yang jauh lebih unggul, atau sebuah peristiwa traumatik yang menuntut semacam kompensasi. Entahlah

 

Sumber: https://www.liputan6.com