Biografi KH. Muhammad Ridwan Blitar

 
Biografi KH. Muhammad Ridwan Blitar

Daftar Isi Profil KH. Muhammad Ridwan Blitar

  1. Kelahiran
  2. Wafat
  3. Pendidikan
  4. Mendirikan Pesantren
  5. Sosok Pendakwah

 

Kelahiran

KH. Muhammad Ridwan atau yang kerap disapa dengan panggilan Kiai Ridwan lahir pada 1908, di Blitar. Beliau merupakan putra dari pasangan KH. Abdul Karim dan Nyai Hj Rokibah.

Wafat

Kiai Ridwan wafat pada pagi, Kamis Legi, 20 Oktober 1988 atau bertepatan 9 Maulid 1409 H sekitar pukul 06.00 WIB.

Pendidikan

Sejak kanak-kanak, Kiai Ridwan dikenal kawan-kawannya sebagai anak yang punya keinginan kuat dalam menuntut ilmu. Kiai yang terkenal dengan keteguhan pendiriannya ini, dididik langsung oleh ayahnya sendiri tentang cara hidup sebagai seorang santri. Kiai Ridwan diajak shalat berjamaah dan sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat tahajud.

Kemudian, sang ayah Kiai Abdul Karim membimbingnya untuk menghafal Al-Qur’an dengan tartil dan fasih. Dan yang paling getol diajarkan Kiai Abdul Karim dalam mendidik Kiai Ridwan adalah mengenal kitab-kitab kuning. Dari kitab paling kecil yang isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari hingga kitab-kitab besar karya ulama Ahlussunah wal Jamaah terkemuka di dunia.

Kemauan keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak sejak masa kecil. Kiai Ridwan tekun dan sangat cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Hingga berusia 12 tahun, Kiai Ridwan diasuh langsung oleh ayahnya.

Setelah bekal ilmunya dianggap cukup, Kiai Ridwan merantau untuk menuntut ilmu. Dia pergi ke satu pesantren, lalu ke pesantren lainnya untuk ”ngalap” barokah. Dan yang paling lama, beliau nyantri di Tremas. Ketika itu Kiai Ridwan diasuh langsung oleh guru yang terkenal telah melahirkan ratusan kiai besar di Indonesia, yakni KH. Dimyathi.

Pada masa di Tremas, Kiai Ridwan termasuk salah satu santri yang paling disayang oleh gurunya tersebut. Di masa inilah kapasitas keilmuan Kiai Ridwan mulai terlihat akan mengantarkannya menjadi kiai besar di kemudian hari.

Beberapa tahun di Tremas tidak membuat Kiai Ridwan cepat berpuas diri. Kiai Ridwan melanjutkan perantauannya ke Makkah untuk menuntut ilmu. Delapan tahun lamanya di Makkah membuat keluarga memaksa Kiai Ridwan untuk pulang ke Indonesia. Akhirnya, sekitar tahun 1932, Kiai Ilyas yang masih keluarga dengan Kiai Ridwan tersebut menjemput paksa beliau untuk pulang ke Indonesia. Sesampainya di Indonesia, Kiai Ridwan langsung dinikahkan dengan wanita pilihan keluarganya, yakni Nyai Hj Hasanah.

Mendirikan Pesantren

Di blitar, tempat beliau dilahirkan inilah, Kiai Ridwan memulai perjuangan sesungguhnya. Ada cerita menarik sebelum beliau merintis Pesantren Maftahul Ulum. Kiai Ridwan pernah mufarroqoh dari salah satu kiai kampung yang ada di sekitar desanya. Pasalnya, di masjid salah satu kiai kampung tersebut hanya keturunan dan keluarganya yang boleh menjadi imam shalat.

Hal inilah yang menjadi titik awal Kiai Ridwan memutuskan untuk membangun Mushala Baiturrahman yang menjadi cikal bakal Pesantren Maftahul Ulum. ”Jarene Abah sopo wae sing taqwa kaliyan Allah, sing alim oleh ngaji lan ngimami (kata ayah, siapa saja yang memiliki ketaqwaan kepada Allah SWT, mengerti tentang agama boleh menjadi imam dan memberikan pengajian),” ujar Nyai Hj Rodiah kepada penulis. Memang, Kiai Ridwan dikenal sebagai seorang ulama yang tidak pernah membedakan seseorang dari status keluarga ataupun status sosial lainnya.

Selain itu, Kiai Ridwan juga dikenal sangat menjaga tradisi–tradisi keilmuan salaf. Meskipun demikian, bukan berarti beliau mengesampingkan pendidikan umum. Beliau sendirilah yang secara langsung ikut merintis pendirian Yayasan Maftahul Ulum dan Yayasan Hasanudin yang sekarang telah menyediakan sekolah formal seperti, SMP, MTS dan MA.

Sosok Pendakwah

Karena keteguhan prinsip dan keilmuan yang mempuni inilah, Kiai Ridwan sering diundang untuk ngaji di mana-mana. Hari-hari beliau hanya digunakan untuk mengurusi umat. Perjuangan tanpa pamrih membuatnya menjadi salah satu ulama yang disegani di Blitar dan sekitarnya. Materi pengajian dari Kiai Ridwan pun membuat pendengarnya merasa puas karena cara penyampaiannya mengikuti tingkat kemampuan jamaah.

Sering ketika beliau mengaji, kalau menjelaskan tafsir Al-Qur’an tentang adab dan neraka, di saat itu pula tiba-tiba Kiai Ridwan meneteskan air mata dan menangis. “Abah itu, kalau ngajar dengan hati. Sehingga bisa membuat jamaah yang mendengar ceramah Abah merasakan betul apa yang beliau sampaikan,” tambah Nyai Hj Rodiah.

Dalam berdakwah, Kiai Ridwan sangat menjunjung tinggi kearifan lokal di daerahnya. Hal ini dibuktikan dengan hasil karya beliau yaitu Nahwu Jawan (Nahwu Jawa) dan beberapa syiir-syiir ketauhidan yang disesuaikan dengan bahasa dan nada yang mudah dipahami masyarakat setempat.


 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya