Keuntungan Usaha Mudharabah

 
Keuntungan Usaha Mudharabah

LADUNI.ID, HUKUM- Praktek mudharabah secara lebih sederhana adalah akad yang dilakukan oleh pemilik modal dengan pengelola, dimana keuntungannya disepakati di awal untuk dibagi dua dan kerugian ditanggung oleh pemodal.

Mudharabah adalah aqad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak zaman Nabi, bahkan telah dipraktekkan oleh bangsa Arab sebelum turunnya Islam. Ketika Nabi Muhammad Saw berprofesi sebagai pedagang, beliau melakukan aqad mudharabah dengan Khadijah.

Dalam praktik mudharabah antara Khadijah dengan Nabi Muhammad Saw keluar negeri. Dalam hal ini Khadijah berperan sebagai pemilik modal (shahib al-maal) sedangkan Nabi Muhammad Saw berperan sebagai pelaksana usaha (mudharib). [1]

Para ahli hukum Islam secara sepakat mengakui keabsahan mudharabah karena ditinjau dari segi kebutuhan dan manfaat pada satu segi dan karena sesuatu dengan ajaran dan tujuan syari’ah dan segi lainnya.[2]

Dasar hukum dari sistem mudharabah adalah ijma’ ulama yang membolehkannya. Adapun dalil dari ijma’, pada zaman sahabat sendiri banyak para sahabat yang melakukan akad mudharabah dengan cara memberikan harta anak yatim sebagai modal kepada pihak lain, seperti Umar, Utsman, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amir, dan Siti Aisyah. Dan tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa para sahabat yang lain mengingkarinya. Oleh karena itu, hal ini dapat disebut ijma’.[3]

Secara teknis Al-Mudharabah adalah aqad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.

Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi dalam kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, apabila terdapat kerugian dalam usaha di tanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola.

***Helmi Abu Bakar El-Langkawi Penggiat Literasi Asal MUDI Masjid Raya Samalanga, Aceh

 

[1]Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 204.[2] Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Pedoman Hidup Muslim, (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2008), h. 616.

 

[3] az-Zarkasyi, Syarh az-Zarkasyi ‘ala Mukhtashar al-Khurafi, Jilid IV, (Beirut: Daar al-Fikr, tth) jilid 4, h.126.