Konservatisme Islam di Indonesia

 
Konservatisme Islam di Indonesia

LADUNI,ID, KOLOM- Islam konservatif ini sudah muncul sejak lama dan hidup guyub di bawah asuhan pemerintahan otoriter Orde Baru yang netral agama. Islam konservatif juga dibedakan dari Islam fundamentalis, yakni gerakan atau aliran yang mengajak kembali kepada sumber ajaran Islam yang mendasar, yakni Alquran dan hadis.

 Gerakan konservatif juga berbeda dari gerakan “Islamis” yang didefinisikan sebagai gerakan yang mendukung gagasan Islam sebagai sebuah sistem politik dan berjuang untuk mendirikannegara Islam (Bruinessen, 2013: 16-17).

Negara Islam bukanlah negara agama (teokrasi) sebagaimana dituduhkan oleh Amin Mudzakkir. Negara Islam adalah negara republik modern yang berdasarkan syariat yang memproteksi kehidupan rakyatnya yang berbeda agama, ras, suku, bahasa, ideologi dan budaya. Para pelaku tindak intoleransi mayoritas terdiri dari kalangan Sunni yang berideologi Wahabi yang sebenarnya jauh dari cita-cita untuk mendirikan republik Islam yang modern dan inklusif yang sudah ada di Indonesia sejak lama.

Bruinessen menyebut beberapa penjelasan mengapa konservatisme muncul kembali di Indonesia. Pertama, hubungan antara demokratisasi dan memudarnya pengaruh pandangan-pandangan keislaman yang akedmis, liberal dan progressif. Argumen ini menegaskan bahwa mayoritas umat Islam Indonesia pada dasarnya konservatif atau cenderung mempunyai corak fundamentalis.

Kedua, menguatnya pengaruh ideologi Wahabi dari Timur Tengah yang sangat konservatif dan cenderung literal, tektual, skriptural dan berpandangan sempit yang bahkan tidak sedikit dari mereka percaya bahwa bumi ini datar.

Alumni perguruan tinggi di Timur Tengah, terutama Saudi Arabia, menyebarkan corak pemahaman keislaman yang harfiah dan skripturalis kepada masyarakat Indonesia dengan mendakwahkan logika-logika aneh yang sesungguhnya berasal dari kepercayaan dan tradisi Yahudi dan Kristen Ortodoks.
Gerakan transnasional Wahabi Salafi itu, menurut Bruinessen, dalam kadar tertentu, mengurangi otoritas keagamaan ormas-ormas Islam di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Namun, gerakan Salafi Wahabi ini juga tak memberi peluang kepada FPI atau gerakan-gerakan mainstream ketiga lainnya (Al Chaidar, 2015: 245). Sebagai contoh, para pegiat dakwah Salafi tidak pernah merujuk kepada fatwa yang diberikan oleh ormas-ormas Islam tersebut di atas untuk masalah-masalah keagamaan yang terjadi di Indonesia. Sebagai gantinya, mereka meminta fatwa langsung kepada guru-guru mereka di Timur Tengah. Kaum Wahabi Salafi ini juga tidak suka kepada Ustadz Abdus Somad dan tak mau mendukung GNPF-Ulama (Gerakan Nasional Pengawalan Fatwa MUI).

Konservatisme itu sendiri tidak tumbuh subur sebagaimana dikhawatirkan oleh Amin Mudzakkir yang seakan-akan sedang menggerogoti rumah laba-laba negara Republik Indonesi ini. Justru kelompok Wahabi konservatif ini menganggap Jokowi adalah khalifah fil ardlh (penguasa sah di muka bumi, yang harus dipatuhi dan dihormati serta disayangi) dan tidak boleh mengkritiknya, apalagi bughot (memberontak) terhadap pemerintahan Jokowi.

***Al Chaidar Antropologi, Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Aceh