Menerawang Kota Santri dalam Lensa Kuta Glee Batee Iliek

 
Menerawang Kota Santri dalam Lensa Kuta Glee Batee Iliek

LADUNI.ID, SEJARAH-SEJARAH mencatat bahwa diantara daerah dan pertahanan yang sangat kokoh dan sukar ditaklukkan Batee Iliek yang berada dalam kawasan yang kini terkenal dengan sebutan "Kota Santri" Samalanga. Keberadaan Samalanga merupakan sebuah Kerajaan kecil. Rajanya bernama Teuku Chi’ Muhammad Ali Basyah. Luas wilayah Kerajaan 80.000 KM Persegi.

Wilayah Kerajaan dilingkari Bukit Barisan dan laut. Di sela-sela Bukit Barisan mengalir sungai-sungai dengan nama Krueng Qiran, Krueng Samalanga, Krueng Tambue dan Krueng BatéeIlié. Selain itu terdapat beberapa bukit dengan nama Gle Nangroe, Gle Gisa Punggung, dan Gle Asan Kumbang. Wilayah Kerajaan Samalanga sangat subur, dan kawasan ini dijumpai persawahan yang dialiri oleh irigasi secara tradisional yang berasal dari sungai-sungai tersebut. 

Kehidupan rakyatnya makmur dan sejahtera. Pertanian merupakan mata pencaharian pokok. Padi, lada, cengkeh, pinang, dan tembakau merupakan produk andalannya. Sehingga memberikan Samalanga suatu keadaan ekonomi yang surplus setiap tahunnya pada waktu itu.

Kota Samalanga menjadi jalan terpenting bagi perdagangan. Kota itu letaknya dekat dengan pantai Samalanga. Pelabuhannya bagus dan baik, sehingga membuat Samalanga menjadi salah satu pusat perdagangan internasional pada waktu itu. 

Perdagangan yang ramai dengan luar negeri menyebabkan beberapa bangsa lain sangat tertarik untuk menguasainya, antara lain Portugis, Ingris, Belanda, terutama Arab, sehingga memberikan pengaruh agama islam yang sangat kental di Samalanga.

Perjalanan perkembangan agama islam dalam sejarah besar sekali. Agama islam dibawa oleh saudagar-saudagar arab dan mubaligh-mubaligh islam dari Arab. Penyebarannya dilakukan secara berangsur-angsur dengan damai. Mereka mendapat izin untuk menetap dalam Kerajaan Samalanga.

Demikianlah keadaan Kerajaan Samalanga yang pada abad XIX didiami oleh 30.000 jiwa. Penduduknya orang-orang sederhana dan baik hati. Kebenaran dan hidup baik sangat dihargai.

Sistem kelompok masyarakat pada umumnya menganut sistem kekeluargaan. Kedua orang tua sangat berperan dalam mendidik anak-anaknya, terutama dalam hal agama. .

 Bidang usaha lain bagi masyarakat Samalanga pesisir adalah ke laut. Nelayan yang pergi ke laut sangat memahami keadaan cuaca yang diketahuinya dengan mengamati keadaan peredaran bintang-bintang di langit. Ini penting mengingat pelayaran mereka yang jauh ke tengah laut, mengandung resiko yang besar. Hukum adat laot mengatur masalah penangkapan ikan, nelayan, upah tenaga kerja, dan sebagainya.

 Dalam memelihara binatang sebagian besar merupakan mata pencaharian tambahan. Seperti memelihara ayam, sapi, kerbau, kambing, dan itik.

Sebagaimana masyarakat Aceh lainnya, masyarakat Samalanga dalam melengkapi kebutuhan hidupnya selalu menjaga keseimbangan antara alam dan benda di sekitarnya. Berbagai usaha dan kegiatan dilakukan untuk memanfaatkan alam sekitarnya. Diantaranya membuat alat rumah tangga, seperti : Kanot (Periuk Nasi), Beulangong (Beulanga), Beulangong Beuso (Kuali), Batee-Seumeupeeh (Batu Giling), Guci (Tempayan), dan lain-lain. Disamping itu juga mereka membuat sendiri alat-alat pertanian, seperti : Bajak, Sabit, Cangkul, dan lain-lain. Dalam kesatuan hidup bermasyarakat mempunyai aktivitas  gotong royong, turun ke sawah, dan dalam ujud balas berbalas., dan lain-lain.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya dalam bergaul satu sama lain mempunyai norma-norma tertentu atau etika dalam pergaulan. Masing-masing pihak memelihara norma-norma tersebut, sehingga adanya suatu kelestarian dalam kehidupan diantara sesamanya. Misalnya, jika hendak memasuki rumah orang lain, diharuskan memberikan salam terlebih dahulu. Jika tiga kali tidak diterima jawabannya, maka orang tersebut harus meninggalkan rumah yang dituju.

Geuchik dan Teungku Meunasah adalah ayah dan ibu bagi kampung yang bersangkutan. Oleh sebab itu suatu urusan penting di dalam kampung tidak boleh ditinggalkan mereka. Geuchik, Teungku Meunasah dan pemuda-pemuda bertanggung jawab atas keselamatan kampungnya.

Mengupas sejarah Samalanga tidak terlepas tentang kisah Kuta Gle, Batee Iliek. Bukit itu bekas benten pertahanan pejuang Aceh, dan selama 30 tahun mampu bertahan melawan Belanda. Benteng itu adalah bukit yang terletak bagian hulu sungai Batee Iliek Samalanga, perbatasan Pidie Jaya-Bireuen. Cerita tentang seorang pahlawan pimpinan perang Kuta Gle Tgk. Cut Sa’id. Juga digambarkan bagaimana serdadu Belanda kalah telak menghadapi ketangguhan pejuang Aceh di Samalanga.
 

Samalanga ketika itu termasuk wilayah otonom yang diberi kuasa penuh oleh Sulthan Aceh kepada raja Teuku Chik Bugis, tapi dalam menjalankan pemerentahan Teuku Chik Bugis mempercayakan pada seorang tokoh wanita bernama Pocut Meuligoe. Mendengar nama kedua tokoh ini saja, Belanda keder karena keberanian mereka. Belanda sendiri ingin menguasai Samalanga karena wilayah ini sangat strategis dan maju dalam bidang perdagangan.

Kehidupan masyarakat Samalanga termasuk Batee Iliek menempatkan Meunasah terdapat dalam tiap-tiap gampong dan ini juga berlaku secara umum dalam masyarakat Aceh. Fungsi meunasah selain sebagai tempat mengaji, juga berfungsi sebagai sekolah (madrasah). Di meunasah, murid diajar menulis/membaca huruf arab, ilmu agama dalam bahasa melayu. Selain itu ada Pasantren yang berfungsi sebagai sekolah untuk anak-anak yang sudah dewasa. Pasantren terdapat hampir di setiap daerah uléebalang. Di Pasantren semua pelajaran diajar dalam bahasa arab. Ilmu-ilmu yang diajar, antara lain fiqih, bahas arab, tauhid, akhlak, sejarah.

Bukanlah suatu hal yang aneh, kalau di kerajaan Samalanga sangat mementingkan pendidikan dan ilmu pengetahuan, terutama tentang ilmu pengetahuan agama islam. Sejak agama islam masuk ke Samalanga, pendidikan agama islam mulai tumbuh dan berkembang dengan pesatnya di Samalanga, dan menurut sejarah pada zaman Iskandar Muda pasantren menjadi termasyhur sampai ke seluruh dunia.[]