Cahaya di Masjidil Haram, Kisah Karomah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan

 
Cahaya di Masjidil Haram, Kisah Karomah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan

LADUNI.ID, Jakarta - Nama Syekh Abdul Muhyi tak asing lagi bagi para warga di Pamijahan, Tasikmalaya karena sosoknya diyakini sebagai salah seorang wali Allah yang memiliki segudang karomah. Ayahnya, Sembah Lebe Warta Kusumah, adalah keturunan raja Galuh (Pajajaran). Abdul Muhyi lahir di Mataram sekitar 1650 Masehi atau 1071 Hijriah dan dibesarkan oleh orangtuanya di Kota Gresik.

Dia selalu mendapat pendidikan agama baik dari orang tua maupun dari ulama-ulama sekitar Gresik. Saat berusia 19 tahun dia pergi ke Aceh untuk berguru kepada Syekh Abdul Rauf Singkil bin Abdul Jabar selama 8 tahun.

Pada usia 27 tahun dia beserta teman sepondok dibawa oleh gurunya ke Baghdad untuk berziarah ke makam Syekh Abdul Qodir Al-Jailani dan bermukim di sana selama dua tahun. Setelah itu diajak oleh Syekh Abdul Rauf ke Makkah untuk menunaikan Ibadah Haji.

Ketika sampai di Baitullah, Syekh Abdul Rauf mendapat ilham kalau di antara santrinya akan ada yang mendapat pangkat kewalian. Dalam ilham itu dinyatakan, apabila sudah tampak tanda-tanda maka Syekh Abdul Rauf harus menyuruh santrinya pulang dan mencari gua di Jawa bagian barat untuk bermukim di sana.

Suatu saat sekitar waktu ashar di Masjidil Haram tiba-tiba ada cahaya yang langsung menuju Abdul Muhyi dan hal itu diketahui oleh gurunya Syekh Abdul Rauf sebagai tanda-tanda tersebut. Setelah itu, Syekh Abdul Rauf menyuruh pulang Abdul Muhyi ke Gresik untuk minta restu dari kedua orangtua karena telah diberi tugas oleh gurunya untuk mencari gua dan harus menetap di salah satu daerah di Jawa Barat.

Sebelum berangkat mencari gua, Abdul Muhyi dinikahkan oleh orangtuanya dengan Ayu Bakta putri dari Sembah Dalem Sacaparana putra Dalem Sawidak atau Raden Tumenggung Wiradadaha III. Tak lama setelah pernikahan, dia bersama istrinya berangkat ke arah barat dan sampailah di daerah yang bernama Darma Kuningan.

Atas permintaan penduduk setempat Abdul Muhyi menetap di Darmo Kuningan selama 7 tahun. Kabar tentang menetapnya Abdul Muhyi di Darmo Kuningan terdengar oleh orang tuanya, maka mereka menyusul dan ikut menetap di sana.

Di samping untuk membina penduduk, dia juga berusaha untuk mencari gua yang diperintahkan oleh gurunya, dengan mercoba beberapa kali menanam padi, ternyata gagal karena hasilnya melimpah.

Sedang harapan dia sesuai isyarat tentang keberadaan gua yang diberikan oleh Syekh Abdul Rauf adalah apabila di tempat itu ditanam padi maka hasilnya tetap sebenih artinya tidak menambah penghasilan maka di sanalah gua itu berada.

Karena tidak menemukan gua yang dicari, akhirnya Syekh Abdul Muhyi bersama keluarga berpamitan kepada penduduk desa untuk melanjutkan perjalanan mencari gua.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, sampailah di daerah Pamengpeuk (Garut Selatan).

Di sini dia bermukim selama 1 tahun untuk menyebarkan agama Islam secara hati-hati mengingat penduduk setempat waktu itu masih beragama Hindu.

Setahun kemudian, ayahanda (Sembah Lebe Warta Kusumah) meninggal dan dimakamkan di kampung Dukuh di tepi Kali Cikaengan. Beberapa hari seusai pemakaman ayahandanya, dia melanjutkan perjalan mencari gua dan sempat bermukim di Batu Wangi.

Perjalanan dilanjutkan dari Batu Wangi hingga sampai di Lebaksiu dan bermukim di sana selama 4 tahun (1686-1690 M). Walaupun di Lebaksiu tidak menemukan gua yang dicari, dia tidak putus asa dan melangkahkan kakinya ke sebelah timur dari Lebaksiu yaitu di atas Gunung Kampung Cilumbu.

Akhirnya dia turun ke lembah sambil bertafakur melihat indahnya pemandangan sambil mencoba menanam padi. Bila senja tiba, dia kembali ke Lebaksiu menjumpai keluarganya, karena jarak dari tempat ini tidak begitu jauh, sekitar 6 km. Suasana di pegunungan tersebut sering membawa perasaan tenang, maka gunung tersebut diberi nama Gunung Mujarod yang berarti gunung untuk menenangkan hati.

Pada suatu hari, Abdul Muhyi melihat padi yang ditanam telah menguning dan waktunya untuk dipetik. Saat dipetik terpancarlah sinar cahaya kewalian dan terlihatlah kekuasaan Allah. Padi yang telah dipanen tadi ternyata hasilnya tidak lebih dan tidak kurang, hanya mendapat sebanyak benih yang ditanam. Ini sebagai tanda bahwa perjuangan mencari gua sudah dekat.

Untuk meyakinkan adanya gua di dalamnya maka di tempat itu ditanam padi lagi, sambil berdoa kepada Allah, semoga gua yang dicari segera ditemukan.

Maka dengan kekuasan Allah, padi yang ditanam tadi segera tumbuh dan waktu itu juga berbuah dan menguning, lalu dipetik dan hasilnya ternyata sama, sebagaimana hasil panen yang pertama. Disanalah dia yakin bahwa di dalam gunung itu adanya gua.

Sewaktu Abdul Muhyi berjalan ke arah timur, terdengarlah suara air terjun dan kicauan burung yang keluar dari dalam lubang. Dilihatnya lubang besar itu, di mana keadaannya sama dengan gua yang digambarkan oleh gurunya.

Seketika kedua tangannya diangkat, memuji kebesaran Allah. Telah ditemukan gua bersejarah, dimana ditempat ini dahulu Syekh Abdul Qodir Al Jailani menerima ijazah ilmu agama dari gurunya yang bernama Imam Sanusi.

Gua yang sekarang dikenal dengan nama Gua Pamijahan diyakini adalah warisan dari Syeikh Abdul Qodir Al Jailani yang hidup kurang lebih 200 tahun sebelum Abdul Muhyi. Gua ini terletak di antara kaki Gunung Mujarod.

Sejak gua ditemukan Abdul Muhyi bersama keluarga beserta santri-santrinya bermukim disana. Disamping mendidik santrinya dengan ilmu agama, dia juga menempuh jalan tarekat.

Di dalam Gua Pamijahan ada 'Kopiah Haji', yaitu lekukan-lekukan bulat atap gua yang menyerupai peci. Konon jika ada yang pas saat berdiri, Insya Allah akan bisa naik haji. ada juga lubang-lubang seperti mulut gua yang dikisahkan menjadi 'jalan tembus menuju Banten, Cirebon, sampai Makkah'. Wallahu a'lam bishawab.

Sekian lama mendidik santrinya di dalam gua, kemudian Syekh Abdul Muhyi mulailah menyebarkan agama Islam di perkampungan penduduk.

Di dalam perjalanan, sampailah di salah satu perkampungan yang terletak di kaki gunung, bernama Kampung Bojong. Selama bermukim di Bojong dianugerahi beberapa putra dari istrinya, Ayu Bakta. Diantara putra dia adalah Dalem Bojong, Dalem Abdullah, Media Kusumah, Pakih Ibrahim.

Beberapa lama setelah menetap di Bojong, atas petunjuk dari Allah, Syekh Abdul Muhyi beserta santri-santrinya pindah ke daerah Safarwadi. Di sini dia membangun masjid dan rumah sebagai tempat tinggal sampai akhir hayatnya.

Dalam menyebarkan agama Islam Syekh Abdul Muhyi mengunakan metode Tharekat Nabawiah yaitu dengan akhlak yang luhur disertai tauladan yang baik. Salah satu contoh metode dalam mengislamkan seseorang adalah sewaktu dia melihat seseorang yang sedang memancing ikan.

Namun orang itu kelihatan sedih karena tidak mendapat seekor ikanpun. Lalu dihampirinya dan disapa, "Bolehkah saya meminjam kailnya?" Orang itu memperbolehkannya. Syekh Abdul Muhyi mulai memancing sambil berdoa, "Bismillaah hirrohmaa nir roohiim, Asyhadu Allaa Ilaaha Illallaah, Wa Asy Hadu Anna Muhammaddur Rasulullah,".

Setiap kail dilemparkan ke dalam air, ikan selalu menangkapnya. Tidak lama kemudian ikan yang didapat sangat banyak sekali sampai membuat orang tersebut keheranan dan bertanya, "Apa doa yang dibaca untuk memancing?. Dia menjawab, "Basmalah dan Syahadat". Akhirnya orang tersebut tertarik dengan doa itu dan masuk Islam.

Dalam kitab Istigal Tareqat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah diceritakan beberapa kisah karomah Syekh Abdul Muhyi. Diantaranya adalah sebagai berikut :

Pertama, suatu hari ada orang yang dikejar-kejar sekawanan lebah, lari meminta pertolongan Syekh Abdul Muhyi. Kemudian Syekh Abdul Muhyi berseru kepada kelompok lebah itu, “Kenapa kalian lebah bersikap begitu kepada manusia. Apakah kalian tak mengerti di dalam tubuh manusia lahir dan batin ada lathoif laa ilaha illa Allah !” Lebah-lebah itu langsung mati. Lalu tubuh orang itu seperti keluar asap. Dia selamat tanpa bekas luka apapun.

Kedua, saat seseorang membawa istrinya yang buta setelah melahirkan menemui Syekh Abdul Muhyi untuk minta kesembuhan. Oleh Syekh Abdul Muhyi mereka diajak dzikir, membaca kalimat tahlil (laa ilaha illa Alloh) sebanyak 165 kali di masjid. Tak berapa lama wanita yang buta itu pun sembuh.

Ketiga, di waktu yang lain seseorang membawa anak yang terkena stroke, tubuhnya mati separuh untuk menemui Syekh Abdul Muhyi. Kemudian diajak oleh Syekh Abdul Muhyi berzikir kalimat tahlil sebanyak 165 kali. Akhirnya setelah itu anak yang stroke tadi sembuh total.

Keempat, ketika ada orang yang tidak bisa tidur selama 11 hari dan minta tolong kepada Syekh Abdul Muhyi. Orang itu juga diajak berzikir sebanyak 165 kali dan lagi-lagi orang tadi akhirnya bisa tidur.

Kelima, Syekh Abdul Muhyi juga menolong orang lewat karomahnya untuk memperbanyak hasil panen dan ternak kerbau.

Keenam, Syekh Abdul Muhyi juga dikenal kesaktiannya. Beliau mengalahkan dua tukang sihir sakti, dan kemudian dua penyihir itu menjadi murid-muridnya. Di samping ahli dalam llmu agama Syekh Abdul Muhyi juga ahli dalam ilmu kedokteran, ilmu hisab, ilmu pertanian dan juga ahli seni baca Alquran.

Maka pada saat itu banyak para wali yang datang ke Pamijahan untuk berdialog masalah agama seperti waliyullah dari Banten Syekh Maulana Mansyur, putra Sultan Abdul Patah Ageng Tirtayasa keturunan Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunungjati juga Syekh Ja’far Shodiq yang makamnya di Cibiuk, Limbangan- Garut.

Makam Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan, Tasikmalaya saat ini banyak diziarahi oleh kaum muslimin karena dikeramatkan.