Masuki Era Revolusi Industri 4.0, Literasi Baru Diharapkan Jadi Solusi

 
Masuki Era Revolusi Industri 4.0, Literasi Baru Diharapkan Jadi Solusi

LADUNI.ID, Temanggung - Keprihatinan akademisi kian menjadi ketika terjadi kerusakan bangsa di berbagai hal. Salah satu kerusakan itu adalah kerusakan bahasa dan minimnya orang berbahasa halus serta melek sastra. Untuk itu, selain menguasai literasi lama, pelajar dan mahasiswa, juga guru dan dosen didorong menguasai literasi baru sebagai solusi untuk menghadapai bahkan menundukkan era Revolusi Industri 4.0.

Pernyataan ini disampaikan oleh Ketua Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) STAINU Temanggung Hamidulloh Ibda saat menjadi pemateri tunggal dalam Seminar Literasi, Pengumuman Pemenang Lomba Cipta Puisi dan Peluncuran Antologi Puisi Patriot Is Me di aula lantai 3 STAINU Temanggung, Jawa Tengah, pada Sabtu (10/11) kemarin.

Hamidulloh Ibda juga mengatakan literasi era Revolusi Industri 4.0 tidak cukup literasi lama, namun harus diperkuat dengan literasi baru. "Pemerintah telah merumuskan tiga solusi kemajuan bangsa. Mulai dari kompetensi, karakter dan literasi," beber dia dalam seminar tersebut.

Dia juga melanjutkan bahwa untuk literasi lama hanya pada literasi membaca, menulis dan berhitung. "Tapi literasi baru menuntut kita untuk menguasai literasi data, teknologi dan literasi manusia," papar penulis buku Media Literasi Sekolah tersebut.

Lebih daripada itu, Ibda juga menegaskan bahwa riset Thomas Lickona tahun 1990-an masih relevan bahwa kerusakan bahasa menjadi indikator kerusakan bangsa. "Sebab, dari bahasa kasar melahirkan tindakan dan budaya kasar pula. Jika dibiarkan, maka bangsa kita ini peradabannya kasar. Maka sastra dalam hal ini urgen untuk dihidupkan kembali," ungkapnya.

Saat ini, lanjutnya, posisi pelajar, mahasiswa, guru dan dosen dalam menjalankan Bahasa Indonesia. Selain di dunia jurnalistik, karya tulis ilmiah, bahasa harus dikuatkan melalui karya sastra. "Jika dulu sastrawan itu harus menulis dan dimuat dikirim ke media massa, penerbit, maka sekarang banyak potensi untuk menjadi sastrawan," terangnya.

Hal yang pertama adalah cybersastra. "Ini adalah komunitas yang menggerakkan sastra di dunia siber. Anda bisa menirunya sesuai karya sastra yang dipilih. Mau puisi, cerpen, gurindam, fabel, seloka, hikayat, dongeng dan lainnya," papar penulis buku Senandung Keluarga Sastra itu.

Kemudian yang kedua adalah sastrawan virtual. "Jadi ini model sastrawan instan. Nulis puisi sebanyaknya, terus di-upload di media sosial, terus ngaku sastrawan. Ini yang banyak dipilih anak-anak muda era 21 ini. Tapi saya tidak menyarankan untuk seperti ini," jelas penulis buku Stop Pacaran Ayo Nikah tersebut.

Ketiga, sastrawan momentum. "Ini model sastrawan dadakan. Misal presiden, gubernur, bupati yang membaca puisi di momen tertentu. Tapi ya ini bukan jenis sastrawan beneran," ujar dia.

Sementara yang keempat adalah sastrawan lomba. "Nah, ia menjadi sastrawan ketika ada lomba. Baik itu jenis karya sastra lisan atau tulisan," beber peraih Juara I Lomba Artikel tingkat Nasional Kemdikbud tahun 2018 tersebut.

Ke-empat hal itu itu, kata dia, silakan mau pilih mana. "Tapi saya menganjurkan ya tetap menulis karya sastra lalu dikirim ke media massa atau penerbit. Atau Anda bisa jadi kritikus, apresiator atau peneliti sastra," papar Ibda yang didampingi moderator M Ulfi Fadli tersebut.

Adapun yang hadir dalam seminar itu antara lain adalah H Muh Baehaqi (Ketua STAINU Temanggung), Effi Wahyuningsih Kepala Lembaga Bahasa STAINU Temanggung, Andrian Gandi Wijanarko Ketua Panitia Lomba Cipta Puisi. Acara ini dihadiri pula ratusan pelajar SMA/SMK/MA dan guru se eks Karesidenan Kedu. Usai seminar, kegiatan dilanjutkan baca puisi, dan pemberian hadiah serta peluncuran antologi puisi. (Sumber: NU Online)