Fenomena Wali Nanggrou Aceh

 
Fenomena Wali Nanggrou Aceh

LADUNI. ID, KOLOM- Pada dasarnya, saya sepakat Lembaga Wali Nanggroe Aceh ini harus ada. Walaupun secara terpisah kurang sependapat Wali di lembagakan (Wali-isasi). Pasca damai, Lembaga ini menjadi penting untuk menjaga kekhususan Aceh, khususnya dalam hal budaya dan adat. Setidaknya, kita punya bergainning untuk melawan tindakan Pusat yang memperlakukan Sejarah, adat, dan budaya tidak pada tempatnya. 

Kehadiran Lembaga ini menjadi frasa bagaimana seharusnya kebudayaan dan Adat kita diakui dan diakomodir dalam sistem negara. Duduk Sama Rendah Tegak Sama Tinggi dengan term yang disebut "Budaya Nasional" oleh mereka.

Sebagai seorang sepuh dalam Aceh Merdeka, saya sangat menaruh hormat kepada Yang Mulia Tengku Malik Mahmud al Haytar. Selama setahun lebih saya bersama beliau di lembaga tersebut, saya kenal pribadi beliau yang visioner, menaruh minat pada isu sejarah, adat dan lingkungan serta sangat supel dalam berkomunikasi. 

Tapi, Lembaga Wali Nanggroe adalah sebuah sistem birokrasi yang komplit. Tanggung Jawab tidak semata-mata berada dipundak beliau. Tapi juga pada orang-orang yang berada di sekeliling beliau. Secara pribadi, saya tidak punya masalah dengan beliau, bahkan dari dulu saya sangat tertarik untuk menulis tentang beliau dan perannya dalam GAM serta Perdamaian Aceh. 

Publik perlu disadarkan dan kita juga harus memastikan, bahwa roda demokrasi bekerja sebagaimana mestinya. Persoalan siapa yang akan menggantikan siapa itu wewenang Majelis yang sudah diamanahkan oleh Undang-Undang. Akan tetapi, kami mencatat selama lahirnya Lembaga ini ada beberapa hal yang tidak tuntas diselesaikan bahkan Lembaga ini tidak berperan sama sekali. 

Diantaranya; Kasus Lamuri, Uang Kertas Cut Meutia, IPAL Banda Aceh, Ekplorasi Beutong Ateuh yang didalamnya terdapat berbagai Makam Sejarah, Tanah Wakaf Blang Padang, Baitul Asyi, serta beberapa persoalan lain yang ada dalam catatan kami. Sebagai Lembaga yang bersifat Advokatif, Kolegial, dan Konsultatif, justru lembaga ini tidak hadir dalam setiap masalah sebagaimana saya sebutkan. Belum lagi masalah dalam isu Perdamaian dan Politik.  

Bahkan, (sebagai contoh) saat kami dari beberapa lembaga sejarah dan kebudayaan ingin mengadakan Seminar Numesmatik (Mata Uang Aceh), untuk meminjam ruangan di salah satu gedung megah tersebut saja sangat sulit padahal itu penting untuk branding Lembaga besar ini. Belum lagi beberapa kawan-kawan yang ingin beraudiensi dengan beliau seringkali tidak diberikan jadwal dan kepastian. 

Ini bukan salah Beliau (Tengku Malik Mahmud al Haytar) selaku Wali Nanggroe Aceh. Tapi oknum-oknum yang berada disekeliling beliau sering kali membuat beliau eksklusif dan tersekat dengan grassroot. Dulu, kami menyebutnya oknum 'Peunyakét' yang bisa meruntuhkan kewibawaan Wali dan Lembaga Wali Nanggroe Aceh. 

Dulu, banyak kegiatan tidak bisa dilaksanakan dengan alasan beberapa Majelis belum terbentuk. Tapi, sekarang Majelis tersebut sebagai perangkat kerja sudah mulai ada. Apa alasannya roda Lembaga ini tidak berjalan?!

Bahkan, Kalender Aceh yang kami susun dan sudah diterbitkan oleh Lembaga ini terkesan hanya sebatas penanggalan. Padahal, kita sudah mengadvokasi agar Lembaga ini memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Aceh supaya setiap proses administrasi pemerintah bisa mencantumkan bulan dan tanggal Aceh di surat-suratnya. Tapi, ini juga tidak dilakukan sampai hari ini. 

Maka, sudah sampai waktunya kita memastikan sistem demokrasi sebagaimana diamahankan oleh Qanun No. 8 tahun 2012 itu berjalan pada jalurnya. Lembaga ini butuh dukungan kita, Wali Nanggroe butuh orang-orang yang paham substansi dari tupoksi yang akan dijalankan. Bukan oknum-oknum 'Peunyakét' yang hanya menggiring sang Wali kesana-kemari dengan ragam acara seremonial megah. 

Jika tidak mampu dilakukan, maka Wali Nanggroe hanya selalu menjadi sebatas simbol dan Wali Karôeng akan terus bersuara! 

Salam Peradaban 
Haekal Afifa | Institut Peradaban Aceh