Jangan Abaikan Ibu

 
Jangan Abaikan Ibu

Oleh : Nurjannah Usman

“Ibuku nafas bagiku,” ucap seorang pemuda Cina dalam video berdurasi sekitar lima menit. Dimana seorang pemuda berprofesi sebagai seorang guru di Sekolah Dasar, tiap hari dia membawa ibunya ke sekolah, karena ibunya sudah tua dan pikun jadi dia tidak yakin meninggalkan ibunya seorang diri dirumah. Dia menolak kontrak mengajar yang menolak ibunya diikut sertakan dalam proses belajar mengajar di sekolah.

Kisah yang sangat menggugah jiwa kita, masa Rasulullah selalu dianjurkan berbaktilah pada ibu. “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548).

Begitu besar pengorbanan ibu terhadap anak, sehingga Rasulullah menganjurkan tiga kali berbakti terhadap ibu baru kepada ayah. Bagaimana pengorbanan ibu dari mengandung anak dari nol sampai sembilan bulan dengan berbagai keluh kesah dengan hati selalu was-was akan janin yang dikandungnya. Dengan seuntaian doa dan harapan menemaninya setiap detik melewati masa-masa mengandung sibuah hati.

Dengan segenap perasaan bahagia dan sakit melawan maut melahirkan anak yang dikandungnya dengan deraian air mata yang tiada henti-hentinya, lalu wajarkah ketika anak sudah besar dan sukses ibunya disia-siakan?

“Meunyoe aneuk keu ma kulet pisang meuhareuga, meunyoe ma keu aneuk meuseuk-meuseuk geujak mita” yang artinya, kalau anak kepada ibu kulit pisang berharga, sementara ibu untuk anak bersusah payah dicari segala kebutuhan anaknya.”

Begitu pepatah Aceh masa dahulu menafsirkan hubungan antara anak dan orang tua, itu realita dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua terkadang menjadi pembantu rumah tangga anak-anaknya, menjadi baby sister untuk cucunya. Yang seharusnya ibu di masa tuanya hidup tenang dengan serba berkecukupan diberikan kebutuhan sama anak-anak yang telah dilahirkan dan dididiknya sejak lahir malah kebalikannya.

Bagaimana seharusnya kita memperlakukan ibu seperti anjuran Rasulullah. Bagaimana Kisah bakti Imam Abu Hanifah kepada ibunya, dalam riwayat beliau pernah menggendong ibunya naik keatas keledai dan diwaktu yang lain ibu beliau mencari fatwa pada muridnya Abu Umar bin Dzar beliau tidak malu dan marah dengan senang hati menggandeng ibunya kerumah yang dimaksud ibunya. Lalu ada kisah dari Malaysia, bersusah payah membawa perkara ke pengadilan demi memperebutkan seorang ibu tua, antara kakak dan adik merebut hak asuh ibunya, subhanallah, kisah yang sangat menggetarkan hati.

Lalu kembali kepada berapa besar rasa bakti kita kepada Ibu? Apakah kita memberikan nafkah yang berkecukupan kepada ibunda kita seperti seorang suami menafkahi anak istrinya?

Terkadang sering kita melihat di masyarakat kita anaknya rumah gedung, sementara orang tuanya rumah seadanya dan makan alakadarnya. Ingatkah kita semasa kita kecil, ibu kita tidak makan demi mencukupi makanan dan gizi untuk kita. Kalau kita sakit ibu tidak sekejappun dapat memejamkan matanya, dia bergadang dengan selalu berdoa dan memberikan obat apa yang ada demi kesembuhan kita. Janganlah kita menjadi anak durhaka dengan mengabaikan orang tua kita terutama ibu, ingatlah syurga dibawah telapak kaki ibu.