Ijtihad Maulid

 
Ijtihad Maulid

LADUNI.ID - Melaksanakan maulid Nabi adalah hasil ijtihad sebagian ulama. Ijtihad bukan bid'ah. Sebab jika ijtihad ulama dikatakan bid'ah maka konsekuensinya semua ijtihad lainnya juga dihukumi bid'ah.

Bentuk amalan yang dilakukan hanya meliputi membaca shalawat, menyampaikan sejarah Nabi dan sedekah. Mensyukuri kelahiran Nabi menurut sebagian ulama ahli hadis disamakan dengan mensyukuri hari dimana Allah memberi keselamatan kepada Nabi Musa:

قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى الهُم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ نَحْنُ نَصُوْمُهُ تَعْظِيْمًا لَهُ

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya :”Apa ini?” Mereka menjawab: ”Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur. Maka beliau Rasulullah menjawab :”Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu.”

As-Suyuthi rahimahullah mengatakan: “Syaikhul Islam Hafiz Al-Asri Abul Fadli Ibnu Hajar tentang perbuatan maulid. Maka beliau menjawab teksnya berikut ini:

“Asal amalan maulid itu bid’ah. Tidak dinukil salah seorang pun dari ulama salaf soleh di tiga masa (utama). Akan tetapi meskipun begitu, maulid mengandung suatu kebaikan dan sebaliknya. Siapa yang dapatkan sisi kebaikannya dan menjauhi sebaliknya, maka itu termasuk bid’ah hasanah. Kalau tidak (seperti itu), maka tidak (diperbolehkan).

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Telah nampak pada diriku (adanya) ketetapan dalil (tentang bolehnya maulid), yaitu adanya riwayat shahih dalam Ash-Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) bahwa Nabi sallalahu alihi wa sallam ketika datang di Madinah mendapati orang Yahudi berpuasa di hari Asyura (10 Muharam). Maka beliau menanyakan hal itu kepada mereka, lalu mereka menjawab, “Ini adalah hari Allah tenggelamkan Fir’aun dan selamatkan Nabi Musa, maka kita berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah ta’ala.”

Dari (hadits) ini dapat diambil manfaat yaitu bolehnya melakukan sesuatu sebagai rasa syukur kepada Allah dalam hari tertentu terkait dengan pemberian nikmat atau terhindar dari bencana. Hal itu dapat diulangi pada hari yang sama untuk setiap tahun.

Bersyukur kepada Allah dapat diwujudkan dengan berbagai macam ibadah seperti sujud, puasa, bersodaqah dan tilawah. Kenikmatan apalagi yang paling agung dibanding dengan hari lahirnya Nabi ini, nabi rahmah pada hari itu.

Dengan demikian, selayaknya dicari dengan teliti hari yang tepat agar sesuai dengan kisah Nabi Musa di hari Asyuro. Siapa yang tidak memperhatikan hal itu, maka dia tidak memperdulikan amalan maulid hari apa saja dalam sebulan, bahkan ada yang lebih luas di satu hari apa saja dalam setahun, maka terjadilah apa yang terjadi. 
Ini terkait dengan landasan amalnya.

Adapun terkait perbuatan yang dilakukan di dalamnya, selayaknya mencukupkan diri dengan apa yang dipahami sebagai wujud syukur kepada Allah Ta’ala, sebagaimana yang telah saya sebutkan, seperti dari tilawah, memberi makan, shadaqah, melantunkan sanjungan kenabian dan sikap zuhudnya yang dapat menggerakkan hati untuk melakukan kebaikan dan amal akhirat."

(Al-Hafidz As-Suyuthi, Al-Hawi Lil Fatawi, 1/229)

 

 

Tags