Mensyukuri Uswah Rasul

 
Mensyukuri Uswah Rasul

Oleh Dr. Sri Suyanta (Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry)

Muhasabah 15 Rabiul Awal 1440

LADUNI. Saudaraku, selama ini seringkali antara akhlak dan karakter disamakan dan saling digantitukarkan pemakaiannya, sehingga pendidikan akhlak sering disebut juga dengan pendidikan karakter. Secara subyektif, pada dasarnya tidak bisa disamakan antara keduanya, tetapi kepentingan praktis bisa dipahami bila ada yang menganggapnya sama.

Secara epistemogis, terdapat perbedaan mendasar antara keduanya. Bila akhlak bersumber dari ajaran Islam yang dapat dirujuk pada al-Qur’an dan Hadits, maka karakter bersumber dan merujuk pada nilai-nilai keadiluhungan suatu komunitas, atau bangsa atau negara tertentu.

Dalam konteks karakter yang selama ini dijunjung tinggi oleh leluhur bangsa kita, yakni bangsa Indonesia, karena bersesuaian dengan (atau juga bersumber dari) Al-Qur’an dan Hadits, maka dapat saja dikatakan bahwa karakter sama dengan akhlak. Misalnya karakter kesantunan, kegotongrorongan, kesederhanaan, kegigihan dalam berjuang, keikhlasan dan lainnya yang mendarah daging diamalkan oleh leluhur bangsa ini. Tetapi tentu siapapun kita tidak bisa menjamin sepenuhnya terhadap sesuatu yang dianggap baik oleh suatu komunitas di tempat lain, semuanya bersesuaian dengan ajaran Islam.

Di samping bersumber dari ajaran Islam, dalam akhlak terdapat figur yang dapat dijadikan uswah dalam segala hal, yakni Rasulullah Nabi Muhammad saw, tetapi relatif sulit mencari figur untuk karakter bangsa. Kalaupun ada figur teladan, biasanya hanya menjadi contoh teladan dalam beberapa hal dan tidak pada hal lainnya.

Oleh sebab aspek keteladanannya, Rasulullah Nabi Muhammad saw menjadi rujukan umat. Allah berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya, Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.(Qs. Al-Ahzab 21)

Berdasarkan normativitas tersebut, kita memahami bila kemudian Nabi Muhammad saw direpresentasikan sebagai prototipe ideal. Di antaranya pribadi yang al-Amin, kepala keluarga yang sukses, suami idaman, ayah yang penyayang, pendidik ideal, panglima perang yang tangguh, pedagang atau saudagar yang sukses, pemimpin yang hebat dan seterusnya.

Oleh karena itu sebagai orang Islam sudah seharusnya mensyukuri uswah Nabi Muhammad saw, baik di hati, lisan maupun praktik nyata.

Pertama, mensyukuri uswahnya Nabi Muhammad saw di hati dengan meyakini bahwa keteladanan Nabi Muhammad saw menjadi rujukan kemanusiaan.

Kedua, mensyukuti keteladanan Rasulullah, Nabi Muhammad saw di lisan dengan memperbanyak mengucapkan alhamdulillahi rabbil ‘alamin, semoga Allah menganugrahkan kekuatan kepada kita untuk berproses meneladani Rasulullah saw.

Ketiga, mensyukuri uswah Rasulullah saw dalam tindakan nyata dengan mengkaji sejarahnya, dan mengambil ibrah dari perjuangannya, dan meneladani perilakunya.