Tanpa Nasi Kebuli, Maulid Nabi Terasa Hambar

 
Tanpa Nasi Kebuli, Maulid Nabi Terasa Hambar

 

LADUNI.ID, SEJARAH- Bagi warga Betawi, hari lahir (maulid) Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bukan hanya dirayakan pada Rabiul Awwal, bulan kelahiran Kanjeng Nabi. Di masjid-masjid tradisional, orang merayakannya sampai dua atau tiga bulan sesudahnya. Bahkan saat khitanan dan pernikahan, kitab maulid selalu dibacakan.

Nasi kebuli merupakan menu yang selalu dihidangkan pada peringatan maulid Nabi, terutama di kalangan keturunan Arab. Hidangan nasi kebuli dianggap kurang afdal tanpa daging kambing. Entah berapa puluh ribu ekor kambing dipotong untuk hidangan nasi kebuli. Daging kambing dijadikan kari, gulai, semur dan masakan lainnya.

Habib Umar bin Hud Alatas, saat peringatan maulid Nabi di kediamannya, Cipayung, Bogor, telah memotong 1.500 ekor kambing dan menanak tidak kurang dari 10 ton beras. Jumlah sebanyak itu mungkin bisa masuk Rekor Museum Indonesia (Muri). Tidak heran, saat Habib Umar masih hidup, acara maulidnya bisa menyedot puluhan ribu jamaah, termasuk para tamu yang datang dari Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.

Pada awal 1960-an, ketika Habib Umar dan keluarganya kembali dari tanah suci, terjadi konfrontasi antara RI dan Malaysia. Kala itu mereka tengah berada di Singapura, yang masih bergabung dengan Malaysia. Selama lima tahun di Singapura dan Malaysia, Habib Umar dengan ajaran-ajarannya dapat memikat umat Islam di sana.

Setelah konfrontasi berakhir (akhir 1965), Habib Umar kembali ke Jakarta. Ratusan muridnya selalu datang ketika ia menyelenggarakan acara peringatan maulid Nabi. PM Tun Razak dan PM Mahathir Muhammad bila ke Jakarta selalu mampir ke kediaman Habib Umar, saat tinggal di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Acara maulid Nabi yang juga dihadiri puluhan ribu jamaah juga terjadi di Majelis Taklim Habib Ali, Kwitang, Jakarta Pusat.

Sumber; Republika.co.id