Menimbang Penyematan Gelar "Habib" Seri 2

 
Menimbang Penyematan Gelar

Baca : Menimbang Penyematan Gelar "Habiib" Seri 1

Nabi Muhammad saw. selain sebagai nabi yang berada di bawah pengawasan dan penugasan Allah swt, beliau juga tidak dapat melepaskan diri  dari sifat-sifat kemanusiaannya, sebagai bukti bahwa beliau jugalah seorang manusia. Nabi Muhammad saw. pada sisi kemanusiaannya butuh asupan makanan untuk mencukupi kebutuhan primer tubuhnya, beliau memiliki keluarga, memiliki istri, anak dan keturunan, sebagai salah satu ciri khas bagian makhluk hidup di dunia ini. Keluarga nabi ini lah yang kelak lebih dikenal dengan istilah Ahl al-bayt.

Term Ahl al-bayt hanya tiga kali disebutkan dalam al-Qur`an, dua kali menggunakan redaksi Makrifat (ahl al-bayt), yaitu pada QS. 11: 73, dan QS. 33: 33, dan satu kali dalam bentuk Nakirah (ahl bayt) yaitu pada QS. 28: 12. Ayat yang pertama (QS.11: 73) membicarakan tentang isteri nabi Ibrahim as, Sarah, yang merasa heran dan kagum setelah mengetahui dia bisa hamil, sedangkan usianya dan usia suaminya, Ibrahim, sudah tua. Ayat yang kedua (QS. 33: 33) lazim disebut dengan ayat Tathir yang berbicara tentang kesucian keluarga (isteri) nabi Muhammad saw, dan ayat ini menjadi pijakan utama dalam tulisan ini. Sedangkan ayat ketiga yang disebut secara Nakirah (QS. 28: 12) berkisah tentang nabi Musa AS sewaktu kecil yang tidak mau disusui oleh siapapun, kecuali ibunya sendiri. Kata Ahl dalam ayat ini dapat berarti keluarga secara umum. Diskusi terkait term dan cakupan ahl al-bayt  ini menjadi menarik dikarnakan adanya khususiyyat dan keistimewaan yang dijanjkan nabi terhadap ahl al-bayt, seperti yang tersirat pada ayat Tathir dan hadits Kisa`.

Untuk merujuk keluarga dekat nabi Muhammad saw, lazim digunakan dua istilah dalam bahasa Arab, yaitu kata Âlu al-Bayt dan Ahl al-Bayt. Al-Khalil Ibn Ahmad (w.170 H.) berpendapat bahwa kata Âlu  memiliki arti yang berbeda dengan kata Ahl. Kata Âlu berasal dari kata Awwal yang bermakna raja`a (kembali). Sedangkan dalam Lisan al-`Arab disebutkan bahwa kata Âlu merupakan perubahan bentuk dari kata Ahl dengan mengganti huruf ha` menjadi hamzah, dan setelah berkumpul dua huruf hamzah berurutan dalam satu kata, maka dilakukan tashil dengan mengganti hamzah kedua menjadi alif, hingga terciptalah kata Âlu. Secara terminologi, kata Âlu dapat berarti keluarga dan kerabat, bahkan ada yang memasukkan para pengikut sebagai cakupan dalam maknanya. Sedangkan kata Ahl berarti isteri, ada juga yang menambahkan keluarga dan kerabat dalam cakupan kata tersebut. Jika dua kata tersebut digabung dengan kata al-bayt menjadi kata Âlu Bayt dan Ahl al-Bayt, maka menurut Al-Khalil Ibn Ahmad para ahli bahasa sepakat pengartian kata Âlu Bayt dan Ahl al-Bayt secara bahasa sama-sama merujuk pada arti orang yang tinggal serumah atau yang mempunyai rumah.   

Perbincangan terkait siapa saja yang masuk dalam cakupan Ahl al-bayt sudah banyak dilakukan oleh para cendikiawan dan ulama-ulama Islam sejak dulu. Mulai dari ulama mutakaddimin sampai mutaakhhirin, dari yang klasik dampai yang kontemporer. Banyak terdapat perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam memberi batasan cakupan ahl al-bayt, baik yang disebabkan ikatan nasab maupun ikatan pernikahan, seperti para isteri nabi.

Ibn Abdil Barr, Ibn al-`Arabi dan al-Zamakhsyari membatasi cakupan ahl al-bayt hanya kepada Isteri-isteri nabi. Mereka mengacu pada rangkaian ayat QS.33: 28-32 yang secara jelas mengarah kepada isteri-isteri nabi. Lebih-lebih pada ayat Tathir (QS.33: 33) yang diawali dengan kata وقرن yang dengan jelas ditujukan bagi isteri nabi, bukan lainnya. Sedangkan al-Shawkānī, al-Alūsī, al-Nabhānī, dan al-Shanqīthī memiliki memberikan cakupan yang lebih luas. Ahl al-bayt menurut mereka adalah Nabi Muhammad saw. para isterinya,  Alī, Fāthimah, Hasan dan Husayn. Pendapat ini mengacu pada hadits Kisa` dimana lima orang itulah yang menjadi pelaku di dalamnya.  Pendapat ini merupakan pendapat pilihan Ibnu Athiyah. al-Nabhānī dalam al-Sharaf al-Muabbad Li  Āl Muhammad bahkan mengklaim pendapat ini sebagai pilihan Jumhur ulama.

Dua pandangan di atas memiliki cakupan yang cukup sempit, dan membatasi cakupan ahl al-bayt hanya kepada lima orang kerabat dekat nabi dan isteri-isteri beliau. Oleh sebab itu, keturunan nabi Muhammad saw. (dzurriyyah) yang ada saat ini, baik dari jalur Hasan dan Husain yang lazim diberi gelar sayyid/ah atau syarif/ah dan habaib, tidak dapat dimasukkan dalam golongan ahl al-bayt, namun sebatas dzurriyyah semata yang memiliki kemuliaan nasab yang terhubungan dengan baginda nabi.

Pendapat berbeda dikemukakan oleh sebagian ulama Shāfi’iyah dan dan Hanābilah, seperti al-Nawawī (w. 676 H.),  Ibnu Qudāmah (w. 620 H.) dan Ibnu ‘Uthaimin. Menurut mereka ahl al-bayt tidak hanya tercakup kepada isteri dan keluarga dari garis nasab saja, melainkan juga para pengikut nabi Muhammad saw. yang setia hingga hari kiamat. Salah satu dalil yang digunakan oleh kelompok ini adalah hadits yang menceritakan tentang pertanyaan Watsilah kepada nabi Muhammad saw. “Ya Rasulallah, apakah aku termasuk keluargamu ? Rasul menjawab, Engkau termasuk keluargaku. Watsilah dalam hadits ini bukanlah dari Bani Hasyim dan Muthallib, akan tetapi dari kalangan Bani Layts, namun ia tetap diakui sebagai bagian keluarga nabi.

Al-Rāghib al-Asfihānī dalam Mufradāt alfaz al-Qur’ān juga berpandangan yang hampir sama dengan pendapat di atas. Menurutnya ahl al-bayt adalah semua umat nabi Muhammad saw. yang bertakwa. Terdapat riwayat dari Imam Ja’far al-Shādiq  yang terdapat dalam kitab al-Kulliyāt karya Ayyub Ibn Musa, ketika ditanya tentang ungkapan banyak orang yang menegaskan bahwa seluruh orang mukmin adalah keluarga Nabi. Ja’far al-Shādiq berkata: “Mereka itu jujur sekaligus bohong. Bohong bila yang dimaksud seluruh umat adalah keluarga Nabi, tapi jujur ketika yang dimaksud adalah umat yang menjalankan syariatnya. Mereka itulah keluarga Nabi.”

Pandangan yang kedua ini memiliki cakupan yang cukup luas, sehingga tidak ada batasan nasab dan pernikahan untuk menjadi bagian ahl al-bayt, namun siapa saja umat Islam yang beriman, bertakwa dan menjadi pengikut setia nabi Muhammad saw, maka hakekatnya ia adalah keluarga nabi. Pandangan di atas juga dikonstruk berdasarkan hadits riwayat Anas berikut:

سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم: من آل محمد ؟ قال: كل تقي

Rasulullah saw pernah ditanya, siapakah keluarga nabi Muhammad saw itu? Dia menjawab: Setiap orang yang bertakwa.

Sedangkan mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyah,  Shāfi’iyah,  Hanābilah,  dan Zāhiriyah berpendapat bahwa Ahl al-bayt adalah orang-orang dari kalangan Bani Hasyim dan Bani Muthallib yang diharamkan menerima sedekah. Pendapat ini juga banyak disokong oleh para mufassir seperti al-Dhahhāk, al-Zujāj, al-Qurthūbī  dan Abū Hayyān. Hanya saja harus diakui bahwa sebagian ulama berbeda pendapat tentang siapa sajakah yang haram menerima sedekah. Ibn Hajar al-Haitami dalam as-Shawaiq al-Muhriqoh dengan mengutip pendapat as-Tsa`labiy menegaskan bahwa ahl al-bayt mencakup seluruh keturunan Bani Hasyim, yang diharamkan menerima zakat. Menurutnya, dzurriyyah nabi juga masuk dalam cakupan Âlu al-Bayt.

Pandangan terakhir ini terlihat lebih luas dari pandangan pertama yang membatasi ahl al-bait pada kerabat dekat nabi saja, namun juga lebih selektif dari pandangan ke dua yang tampak begitu longgar dalam memberikan cakupan ahl al-bayt. Berdasarkan pandangan terakhir ini, predikat ahl al-bayt tidak dapat dimiliki oleh umat Islam secara umum, namun khusus bagi mereka yang memiliki pertalian nasab dari kalangan Bani Hasyim dan Muthallib, seperti yang dimiliki oleh para habaib yang masih memiliki pertalian nasab dengan nabi Muhammad saw.

Terlepas dari perbedaan pandangan di kalangan ulama seperti yang telah dipaparkan di atas, para dzurriyyah nabi Muhammad saw. adalah orang-orang yang telah mewarisi kemuliaan nasab yang tersambung kepada nabi yang layak untuk dicintai dan dihormati. Kemuliaan nasab itu akan semakin tinggi tatkala ditopang dengan kemuliaan ilmu dan amal, serta keluhuran akhlak, seperti yang telah dicontohkan oleh para pendakwah Islam di Nusantara yang banyak berasal dari kalangan Bani `Alawiyyin.

Oleh: Buhori

Dosen IAIN Pontianak

 

 

Tags