Baghdad: Simbol Cahaya Kebangkitan dari Timur

 
Baghdad: Simbol Cahaya Kebangkitan dari Timur
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Baghdad, ibu kota Irak yang kaya akan sejarah dan kebudayaan, telah menjadi simbol kebangkitan dari Timur sejak zaman kuno. Dibangun pada tahun 762 Masehi oleh Khalifah Al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah, kota ini telah menjadi pusat perdagangan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan di dunia Islam. Dengan perpaduan antara kekayaan sejarahnya dan semangat inovasi, Baghdad terus menjadi pusat kegiatan intelektual yang berpengaruh di wilayah Timur.

Selama Zaman Keemasan Islam, Baghdad menjadi kiblat bagi ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mamun, rumah perpustakaan Baitul Hikmah didirikan, menjadi pusat pembelajaran terkemuka di dunia. Para cendekiawan dari berbagai bidang ilmu seperti matematika, astronomi, kedokteran, dan filsafat berkumpul di sini untuk bertukar gagasan dan menyebarkan pengetahuan.

Namun, sejarah Baghdad juga dipenuhi dengan tantangan dan cobaan. Selama Abad Pertengahan, kota ini sering kali menjadi sasaran penyerangan oleh bangsa asing, seperti Mongol dan Persia. Penaklukan oleh Mongol pada abad ke-13 mengakibatkan kehancuran besar-besaran, termasuk kehancuran perpustakaan Baitul Hikmah yang legendaris. Meskipun demikian, Baghdad terus bangkit dari puing-puingnya dan mempertahankan warisan budaya dan intelektualnya.

Dalam beberapa dekade terakhir, Baghdad telah menjadi saksi perubahan yang signifikan di Irak. Meskipun terkena dampak oleh konflik dan ketegangan politik, penduduk Baghdad terus menunjukkan ketahanan dan semangat untuk membangun kembali kota mereka. Pemerintah Irak dan masyarakat sipil bekerja sama untuk merevitalisasi warisan kota ini, memperbaiki infrastruktur, dan mempromosikan pariwisata budaya. Dengan upaya ini, Baghdad terus memancarkan cahaya kebangkitan dari Timur, menegaskan peran pentingnya dalam sejarah dan masa depan bangsa Irak serta dunia Islam secara keseluruhan.

Ada hal penting yang perlu diketahui bahwa, era keemasan Islam di Baghdad ditandai dengan berkembangnya ilmu agama, filsafat dan ilmu pengetahuan. Khalifah mendorong para ulama dan sarjana untuk berlomba-lomba mengkaji ilmu. Dengan tawaran gaji, fasilitas, dan hadiah yang besar, para sarjana Islam menerjemahkan sederet karya-karya ilmiah dari Yunani, Persia, Syria, dan Koptik ke dalam bahasa Arab.

Gerakan penerjemahan itu berlangsung selama 100 tahun. Awalnya, pendidikan dilaksanakan di masjid atau di rumah-rumah. Para ulama mengajar dengan sistem halaqah (pertemuan). Waktu itu beberapa masjid sudah dilengkapi dengan perpustakaan. Lembaga pendidkan dasar-menengah disebut kuttab.

Kekuatan penuh kebangkitan Timur mulai tampak setelah Baitulhikmah yang didirikan Khalifah Harus Ar-Rasyid sebagai lembaga penerjemah berkembang menjadi perguruan tinggi, perpustakaan dan lembaga penelitian pada era Khalifah Al-Ma'mun.

Baitulhikmah memiliki koleksi ribuan judul ilmu pengetahuan. Perpustakaan besar itu didesain khusus. Di dalamnya terdapat sebuah ruang baca yang sangat nyaman. Tak hanya itu, Baitulhikmah juga menjadi tempat-tempat tinggal bagi para penerjemah. Secara rutin, para ilmuwan menggelar diskusi-diskusi ilmiah. Baitulhikmah juga digunakan sebagai tempat pengamatan bintang.

Kehadiran Baitulhikmah mendorong Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan, filsafat, ilmu kesusasteraan dan syariat Islam di seluruh kerajaan Islam - termasuk dunia. Al-Ma'mun mempercayakan tugas penerjemahan di Baitulhikmah kepada Yahya bin Abi Mansur serta Qusta bin Luqa, Hunain bin Ishaq dan Sabian Sabit bin Qurra.

Ketika Al-Ma'mun mendirikan Baitul Hikmah, ia sempat mengirimkan utusan kepada Raja Roma, Leo Armenia, untuk mendapatkan karya-karya ilmiah Yunani kuno untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pada tahap awal, para ilmuwan di Baitulhikmah menerjemahkan karya-karya bidang kedokteran dan filsafat.

Setelah itu, karya-karya dalam bidang matematika, astrologi, dan ilmu bumi mendapat perhatian. Prestasi yang menonjol yang dihasilkan para sarjana di lembaga itu adalah penemuan susunan peta bumi. Pada masa itu juga diketahui cara menentukan arah kiblat bagi umat Islam untuk melaksanakan shalat. Ghirah ilmu pengetahuan dan agama di era keemasan Dinasti Abbasiyah itu telah melahirkan sederet sarjana dan ilmuwan besar yang berpengaruh, seperti Al-Kindi.

Pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam di Baghdad turut mewarnai dan berpengaruh terhadap kota-kota lain seperti Kairo, Basra, Kufah, Damaskus, Sarkand, Bukhara, dan Khurasan. Para pelajar yang datang dari berbagai wilayah ke Baghdad, kemudian mengembangkan pengetahuan di tanah kelahiran mereka masing-masing. Wallahu A'lam. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 7 April 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar