Perbedaan Shalat 4 Mazhab Lengkap

 
Perbedaan Shalat 4 Mazhab Lengkap
Sumber Gambar: ilustrasi.Png

LADUNI.ID, Jakarta - Shalat dikatakan sah apabila rukun-rukun shalat itu sendiri terpenuhi. Yaitu pelaksanaan rukun rukun shalat itu sendiri dari 4 mazhab beberapa pendapat dari masing-masing pelaksanaannya.

Dalam Al-Qur'an terdapat perintah untuk mengerjakan sholat , antara lain berbunyi;

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ ۗ وَمَا تُقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ (١١٠)

Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.(QS.Al Baqarah 2:110)

اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ (٤٥)

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ankabut 29:45)

Masih banyak lagi ayat lainnya yang menjelaskan tentang kewajiban melaksanakan sholat ini

Perbedaan 4 mazhab dalam perkara shalat

1. Niat
Apakah perlu melafalkan niat (nawaitu) saat hendak melaksanakan shalat?

Jawabannya adalah 4 Mazhab kebiasaan bahwa niat itu adalah wajib sedangkan mengungkapkannya dengan kata-kata adalah hal yang tidak diminta (lafas niat tidak perlu).

Ibnu Qayim berpendapat bahwa, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam saat hendak shalat, beliau langsung mengucapkan “Allahu Akbar”, tanpa memikirkan kalimat apa pun sebelumnya, dan tidak melaksanakan niat sama sekali.

2. Takbiratul Ihram
Takbiratul ihram yang akan dibahasa adalah perbedaan mengartikan “Allahu Akbar” posisi saat mengangkat tangan dan juga dimana tangan diletakkan setelah Takbiratul ihram dilakukan.

2.1 Pengucapan Takbiratul ihram
Mazhab Syafi'i berpendapat BOLEH mengganti “Allahu Akbar” dengan “Allahu Al-Akbar” ditambah dengan alif dan lam sebelum kata “Akbar”

Mazhab Maliki dan Hambali berpendapat bahwa TIDAK BOLEH menggunakan bahasa lain selain “Allahu Akbar”

Lantas bagaimana dengan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa BOLEH dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-A'dzam” dan “Allahu Al-Ajall” (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia ).

Mazhab Syafi'i, Maliki dan Hambali mengemukakan bahwa mengutarakannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam (bukan orang Arab).

Hanafi : Sah mengartikannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa Arab.

Diantara perbedaan di atas persamaan yang dapat diambil bahwa semua mazhab berpendapat bahwa Takbiratul Ihram adalah WAJIB hukumnya dan dengan mengartikan kata “Allahu Akbar” yang didengarkan olehnya sendiri ataupun orang lain.

2.2 Posisi Tangan Saat Takbiratul Ihram
Ada beberapa posisi tangan saat mengira “Allahu Akbar” ada yang mengangkat tangannya sejajar dengan bahu, sejajar dengan telinga dan ada juga yang mengangkat tangan berada di depan dada, dimana di antara posisi tangan ini yang sesuai dengan yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. 

Madzhab Maliki dan Syafi'i berpendapat bahwa cara mengangkat tangan saat takbiratul ihram dan saat hendak ruku serta bangkit dari ruku adalah mengangkat kedua tangan sampai mengangkat bahu atau bahu, yaitu berdasarkan hadis berikut:
Dari Salim bin 'Abdullah dari Bapaknya, “bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam mengangkat tangan sejajar dengan pundaknya ketika memulai shalat, ketika takbir untuk rukuk dan ketika bangkit dari rukuk” (HR Bukhari )

Bagi pria kedua tangan membentang ke samping dengan lebar.
Hal ini berdasarkan hadits berikut ini : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Az Zubair, Beliau berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi`b dari Muhammad bin 'Amru bin Atho` dari Muhammad bin Tsauban dari Abu Hurairah, beliau berkata;
“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam jika berdiri untuk shalat beliau mengangkat tangannya dengan membentang.” (HR Ahmad No.10086)

Berbeda dengan Mazhab Maliki dan Syafi'i

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa bagi lelaki mengangkat tangan dan meluruskan ibu jari saat takbiratul ihram dan saat hendak ruku serta bangkit dari ruku adalah mengangkat kedua tangan dan meluruskan ibu jari sampai ketinggian telinga yaitu berdasarkan hadits berikut :

dari Nashr bin 'Ashim dari Malik bin Al Huwairits katanya; Nabi melihat mengangkat tangannya ketika memulai shalat, ruku' dan saat mengangkat kepala (`I'tidal) dari ruku', hingga kedua telinganya.” (HR Ahmad No.19626)

Hadis lain.
Telah menceritakan kepada kami Waki' Telah menceritakan kepada kami Fithr dari Abdul Jabbar bin Wa`il dari bapaknya ia berkata : “Saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam melihat mengangkat kedua tangannya saat memulai shalat hingga kedua ibu jarinya menyentuh kedua daun telinganya.” (HR Ahmad No.18094)

Madzhab Hambali (Imam Ahmad bin Hambal) berpendapat bagi laki-laki boleh memilih mengangkat tangan setinggi bahu /pundak atau sampai ke telinga karena Imam Ahmad meriwayatkan hadis baik yang menyebutkan ketinggian telinga maupun pundak (Nailul Authar Jilid 2 Hal. 179-183)

Kesimpulan dari perbedaan tinggi mengangkat tangan saat takbiratul ihram adalah dapat dilakukan sejajar atau lebih tinggi dari daun telinga dengan ibu jari rapat dengan jari-jari lainnya juga dapat diregangkan sedangkan wanita hanya mengangkat tangan setinggi bahu saja. Tapi tak menutup diri dari sahnya shalat ketika laki laki mengangkat tangan hanya setinggi bahu karena dari ke semua cara tersebut terdapat hadis yang menyertainya.

2.3 Letak Tangan setelah Takbiratul Ihram
Dimana letak tangan setelah Takbiratul Ihram?
Mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa tangan diletakkan di bawah pusar

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib R.A

“Termasuk sunnah adalah meletakkan kedua tangan di bawah pusat”.(HR. Ahmad dan Abu Daud).

Mazhab Asy-Syafi'iyah menyebutkan bahwa tangan diletakkan pada posisi antara dada dan pusar. Dan bahwa posisi agak miring ke kiri, karena disitulah posisi hati, sehingga posisi tangan ada pada anggota tubuh yang paling mulia.

Al-Muzani (w. 264 H) menyebutkan dalam kitab Mukhtasharnya :

Dan mengangkat kedua tangan ketika takbir sampai sebatas pundak, lalu bersedekap dengan telapak tangan kanan memegang pergelangan tangan kiri. Lalu letakkan di bawah dada.

Bagaimana dengan meletakkan tangan di dada?

Di antara 4 Mazhab tidak ada banyak yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam.   shalat dengan mendekap tangan di dada setelah takbiratul ihram kecuali untuk wanita.

Kesimpulannya ialah pada saat shalat setelah takbiratul ihram tangan dapat diletakkan di bawah pusat dan di antara pusat dan dada, namun tidak ada satu mazhab pun yang meletakkan tangan di dada kecuali bagi wanita.

3. Berdiri bagi yang mampu
Semua mazhab sependapat bahwa berdiri adalah hal yang wajib, bila tidak mampu berdiri, maka ia duduk, dan jika ia tidak mampu duduk maka ia dapat melakukannya dengan cara berbaring dengan menghadapkan badan ke arah kiblat.

Semua ulama mazhab selain Hanafi berpendapat bahwa jika tidak dapat duduk, maka shalat dilaksanakan dengan tidur terlentang dengan kaki menghadap kiblat.

4. Bacaan Al-Fatihah
Bacaan Al-Fatihah terdapat perbedaan yang cukup signifikan di antara 4 mazhab

Mazhab Hanafih berpendapat bahwa membaca Al- Fatihah dalam shalat Fardhu itu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Al-Qur’an itu boleh.
Hal ini berdasarkan pada Al-Qur’an surat Muzammil ayat 20 :

۞ اِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ اَنَّكَ تَقُوْمُ اَدْنٰى مِنْ ثُلُثَيِ الَّيْلِ وَنِصْفَهٗ وَثُلُثَهٗ وَطَاۤىِٕفَةٌ مِّنَ الَّذِيْنَ مَعَكَۗ وَاللّٰهُ يُقَدِّرُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَۗ عَلِمَ اَنْ لَّنْ تُحْصُوْهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْاٰنِۗ عَلِمَ اَنْ سَيَكُوْنُ مِنْكُمْ مَّرْضٰىۙ وَاٰخَرُوْنَ يَضْرِبُوْنَ فِى الْاَرْضِ يَبْتَغُوْنَ مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ ۙوَاٰخَرُوْنَ يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۖفَاقْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُۙ وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَاَقْرِضُوا اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًاۗ وَمَا تُقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللّٰهِ ۙهُوَ خَيْرًا وَّاَعْظَمَ اَجْرًاۗ وَاسْتَغْفِرُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ࣖ (٢٠)

“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
( QS. AL-MUZZAMMIL 73:20)

Mazhab Hanafih juga berpendapat bahwa tidak perlu membaca Basmallah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan boleh dijual secara keras atau pun pelan. Boleh didengarkan sendiri maupun mendengarkan orang lain.

Mazhab Syafi'i sendiri berbeda pendapat dengan Mazhab Hanafih Mazhab Syafi'i memuat bacaan Al-Fatihah setiap rakaat baik dalam shalat wajib maupun shalat sunnah dan basmallah merupakan bagian dari surat.

Al-Fatihah dijaharkan pada 2 rakaat pertama pada shalat Shubuh, Maghrib dan juga Isya, rakaat selebihnya dengan suara pelan.

Sedangkan Mazhab Maliki hampir sama dengan mazhab Syafi'i, yang memuat semua bacaan Al-Fatihah disetipa rakaat baik itu shalat wajib maupun shalat sunnah, perbedaannya ialah dalam hal membaca basmallah, Maliki berpendapat bahwa basmalah tidak termasuk bagian dari surat dan disunnahkan untuk ditinggalkan.

Lantas bagaimana dengan Mazhab Hambali, wajib membaca surat Al-Fatihah namun basmalah merupakan bagian dari surat tetapi harus dibaca dengan pelan.

Perkara “Aamiin”

Empat mazhab menyatakan bahwa membaca Aamiin adalah sunnah, berdasarkan hadis Abu Hurairah, bahwa  Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam pernah bersabda,
“kalau ingin memikirkan Ghairil maghdzubi 'alaihim waladzdzaallin, maka kalian harus memikirkan Aamiin.”

5. Ruku'
Semua ulama mazhab menunjukkan bahwa ruku' adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thuma'ninah di dalam ruku', yakni ketika ruku' semua anggota badan harus diam, tidak bergerak dan juga perbedaan dalam mengucap Subahaana rabbiyal 'adziim.

Maszhab Hanafih adalah satu-satunya yang berpendapat bahwa thuma'ninah tidak diwajibkan hanya melakukan peregangan badan dengan lurus. Sementara mazhab yang lain wajib thuma'ninah dengan menjepit sampai dua telapak tangan orang yang shalat itu berada pada dua lututnya.

Syafi'i, Hanafi, dan Maliki : Tidak wajib berzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja memikirkan :
Subhaana rabbiyal 'adziim

“Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”

Hambali : membaca tasbih ketika ruku' adalah wajib.Kalimatnya menurut Hambali :

Subhaana rabbiyal 'adziim
“Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”

Hanafi : tidak wajib mengangkat kepala dari ruku' yakni i'tidal (dalam keadaan berdiri). Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu dianggap makruh bagi mazhab-mazhab yang lain : wajib mengangkat kepalanya dan ber-i'tidal, serta disunnahkan membaca tasmi ', yaitu mengartikan :

Sami'allahuliman hamidah
”Allah mendengar orang yang memuji-Nya”

6. Sujud
Semua ulama mazhab menunjukkan bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setiap rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya.

Maliki, Syafi'i, dan Hanafi : yang wajib (menempel) hanya dahi, sedangkan yang lain-lainnya adalah sunnah.

Hambali : yang mewajibkan itu semua anggota yang tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan ibu jari dua kaki) secara sempurna. Bahkan Hambali menambahi hidung, sehingga menjadi delapan.

Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma'ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku'.
Maka mazhab yang wajibnya di dalam ruku' juga wajibnya di dalam sujud.
Hanafi : tidak diharuskan duduk di antara dua sujud itu.
Mazhab-mazhab yang lain : wajib duduk di antara dua sujud.

7. Perkara Tahiyat
Tahiyat itu sendiri terbagi menjadi dua yaitu tahiyat awal yang dilakukan pada rakaat kedua dan tahiyat akhir yang dilakukan di rakaat ketiga atau ke empat dalam shalat.

Hambali : tahiyyat pertama itu wajib sedangkan mazhab-mazhab lain berpendapat hanya sunnah.

Syafi'i, dan Hambali : tahiyyat terakhir adalah wajib. Maliki dan Hanafi : hanya sunnah, bukan wajib.

8. Mengucapkan salam.
Syafi'i, Maliki, dan Hambali : mengartikan salam adalah wajib. Hanafi : tidak wajib.
Menurut empat mazhab, kalimatnya sama yaitu :

Assalaamu'alaikum warahmatullaah
“Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah kepada kalian”

Hambali : wajib mengucapkan salam dua kali, sedangakan yang lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib.

catatan: Dalam perkara jangan mencampurkan campurkan mazhab, di Indonesia Mazhab yang umum dilakukan adalah Mazhab Hambali dan Syafi'i, namun jika kita shalat berjamaah dan dipimpin oleh imam yang menggunakan mazhab Hanafi, maka kita harus menyesuaikan.

Demikianlah perbedaan dalam melaksanakan shalat menurut 4 mazhab semoga bisa menjadi pelajaran tambahan dan hikmah sehingga mendapatkan ke Ridho’an Allah SWT.

 

_________
Sumber : Al-Qur’an dan Hadis