Isi Perjanjian Hudaibiyah (Shulhu Hudaibiyah) yang Disetujui oleh Rasulullah SAW meski "Merugikan" Islam di Bulan Dzul Qo’dah

 
Isi Perjanjian Hudaibiyah (Shulhu Hudaibiyah) yang Disetujui oleh Rasulullah SAW meski
Sumber Gambar: Freepik, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Perjanjian Hudaibiyah atau disebut Shulhu Hudaibiyah terjadi pada bulan Dzul Qo’dah. Perjanjian ini dilatarbelakangi adanya kesepatakan untuk tidak melakukan peperangan dalam bulan yang dimuliakan, bulan haram, yang diantaranya adalah bulan Dzul Qo’dah. Bulan ini merupakan bulan yang digunakan untuk persiapan melakukan ibadah haji dan umroh.

Sebagaimana keterangan di dalam kitab Ar-Rahiq Al-Makhtum (Mesir: Darul Wafa’, 2010), h. 298, Syaikh Shofiyyurrahman Al-Mubarakfuri menerangkan bahwa sebelumnya kaum musyrik Quraisy mengutus delegasi Mukriz bin Hafs dan menemui jalan buntu dalam melarang Nabi Muhammad dan pengikutnya memasuki kota Makkah. Lalu akhirnya kaum musyrik Quraisy mengutus Suhail bin Amr dengan mandat penuh, tetapi dengan syarat yang tidak boleh diabaikan oleh Suhail bahwa untuk tahun ini Muhammad dan rombongan tidak diperbolehkan masuk kota Makkah, apapun alasannya.

Ketika Rasulullah SAW melihat kedatangan Suhail bin Amr Nabi optimis akan mendapatkan jalan keluar yang terbaik, optimisme ini muncul dari nama utusan Musyrikin Quraisy itu. Namanya Suhail yang seakar dengan kata sahl yang berarti mudah, beliau bersabda;

لَقَدْ سَهَّلَ لَكُمْ مِنْ أُمُوْرِكُمْ

“Telah dipermudah untuk kalian urusan kalian.” (HR. Imam Ahmad)

Dalam catatan sejarah, utusan terakhir yang datang menemui Rasulullah SAW dan Sahabatnya di Hudaibiyah adalah Suhail bin Amir sebagaimana terdapat juga dalam riwayat Imam Bukhari. Suhail diberi tugas yang sangat kaku dan tidak boleh diubah, orang-orang Musyrik Makkah menghendaki agar Muhammad dan para pengikutnya harus pergi dan tidak boleh masuk Makkah tahun ini.

Lalu terjadilah perundingan melalui beberapa utusan atau delegasi yang berjalan alot. Meski demikian, akhirnya ditemuilah kesepakatan dengan adanya perjanjian.

Ketika disusun konsep teks perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah memerintahkan Ali bin Abi Thalib yang bertindak sebagai juru tulis. Dalam perjanjian ini utusan kaum musyrik, Suhail bin Amir merasa keberatan dan tidak setuju kalau diawali dengan tulisan Bismillahirrahmanirrahim, akhirnya Rasulullah menyuruh Ali untuk menghapusnya dan mengganti dengan kalimat Bismika Allahumma (dengan nama-Mu ya Allah). Meskipun Sahabat Ali dan Sahabat yang lainnya berkeberatan, Rasulullah tetap bersikeras untuk menghapusnya.

Lalu ketika dilanjutkan dengan tulisan Hadza Ma Qadla ‘alaihi Muhammad Rasulullah (inilah yang menjadi keputusan Muhammad Rasulullah). Suhail menyela dan menyatakan masih tidak setuju jika dilanjutkan dengan Muhammad Rasulullah, lalu Rasulullah menyuruh Sahabat yang menjadi juru tulis beliau untuk menggantinya dengan kalimat Muhammad Ibnu Abdillah. Lalu Nabi bersabda bahwa; Demi Allah, aku adalah Rasulullah walau kalian mengingkariku, tulislah Muhammad bin Abdillah selama kalian membiarkan kami bertawaf di Ka’bah.

Akhirnya perjanjian ini disetujui meskipun tidak langsung dijalankan pada tahun di mana perjanjian ini disepakati. Isi perjanjian yang telah disepakati secara sekilas memang sangat merugikan umat Islam, sehingga tidak sedikit Sahabat yang menyayangkan kesepakatan itu. Tapi apalah daya, jika Rasulullah SAW sudah menyetujuinya, tentu akan ada hal tebaik yang terjadi.

Dalam buku Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-Hadis Shahih, Prof. Quraish Shihab mencatat bahwa Perjanjian Hudaibiyah disepakati dengan lima butir, sebagaimana informasi yang terdapat juga dalam kitab Sunan Al-Kubra yang ditulis oleh Al-Imam Abi Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali Al-Baihaqi, (Beirut: Juz 10, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1424), h. 532.  Berikut ini butir-butir Perjanjian Hudaibiyah:

1. Gencatan senjata selama sepuluh tahun, Tidak ada permusuhan dan tindakan yang buruk terhadap masing-masing dari kedua pihak selama masa tersebut.

2. Siapa yang datang dari kaum Musyrik Quraisy kepada Nabi tanpa izin keluarganya, harus dikembalikan ke Makkah, tetapi bila ada di antara kaum Muslim yang berbalik dan mendatangi kaum Musyrik Quraisy, maka ia tidak akan dikembalikan.

3. Diperkenankan bagi siapa saja di antara suku-suku Arab untuk mengikat perjanjian damai dan menggabungkan diri kepada salah satu pihak.

4. Tahun ini umat Islam belum diperkenankan masuk kota Makkah, tetapi tahun depan dan dengan syarat hanya bermukim tiga hari tanpa membawa senjata kecuali pedang yang tidak dihunus.

5. Perjaanjian ini diikat atas dasar ketulusan dan kesediaan penuh untuk melaksanakan, tanpa penipuan atau penyelewengan.

Kesepakatan perjanjian ini mungkin secara nalar sangat merugikan umat Islam, tetapi dengan adanya perjanjian ini, maka banyak orang musyrik yang justru tertarik kepada Islam. Karena adanya kesepakatan untuk bebas berdialog dan berdiskusi mengenai Islam, orang musyrik Makkah yang awalnya belum beriman kepada Allah SWT, akhirnya terdorong untuk membandingkan Tuhan yang mereka sembah dengan Tuhan yang disembah Nabi Muhammad SAW. Lalu, karena konsep Ketuhanan yang ditawarkan Islam lebih bisa diterima akal, maka banyak yang tertarik masuk Islam.

Demikian itu menjadi bukti kepiawaian dan kejeniusan Rasulullah SAW yang dituntun langsung oleh Allah SWT. Tindakan dan ucapan Nabi tidak pernah salah. Hanya saja terkadang nalar selain Nabi belum bisa menangkapnya.

Dalam catatan sejarah perjanjian Hudaibiyah tak berlangsung lama, karena banyak kesepakatan yang dilanggar oleh orang musyrik Makkah.

Akhirnya Rasulullah bersama para pengikutnya memasuki kota Makkah bersama 10.000 pasukan pada tanggal 20 Ramadan 8 H atau 11 Januari 630 M. Kedatangan Rasulullah ini untuk menagih komitmen perjanjian Hudaibiyah yang sebelumnya telah disepakati. Dan peristiwa ini kemudian terkenal dengan istilah Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah).

Pada peristiwa ini, ada seorang Sahabat bernama Sa’ad bin Ubadah yang berteriak lantang akan melakukan pembalasan atas apa yang telah diperbuat oleh kaum musyrik Makkah terhadap mereka dan keluarganya; “Hari ini adalah hari pembalasan dan penghabisan mereka (Al-Yaum Yaumul Malhamah).” Namun, ketika itu justru dengan tegas Rasulullah berkata bahwa hari itu adalah hari kasih sayang; “Hari ini adalah hari kasih sayang (Al-Yaum Yaumul Marhamah),” tegas Rasulullah kepada para Sahabat. []


Penulis: Abd. Hakim Abidin

Editor: Attha