Piagam Madinah: Implementasi Toleransi Pertama di Dunia

 
Piagam Madinah: Implementasi Toleransi Pertama di Dunia
Sumber Gambar: Unsplash.com, Ilustrasi: Laduni.id

Laduni.ID, Jakarta - Banyaknya tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama marak kita jumpai saat ini, berbagai arahan dan atau himbauan terkait toleransi sudah digaungkan di mana-mana, dari pejabat, akademisi, kiai bahkan sudah menjadi pembicaraan yang lumrah di warung kopi tetapi gesekan-gesekan masih saja terjadi.

Begitu juga konflik-konflik horizontal yang terjadi di masyarakat, tak jarang berlatar belakang perbedaan agama, sehingga agama seolah-olah sebagai pemicu ketidakharmonisan. Padahal, semua agama mengajarkan kedamaian dan toleransi.

Kata toleransi sebenarnya bukan hal baru untuk didiskusikan, akan tetapi di tengah realitas masyarakat yang multikultural, pada tataran ini toleransi adalah suatu keniscayaan yang menjadikebutuhan dan  diterapkan dalam kehidupan nyata.

Kalau dilihat dari sejarah toleransi ini sudah dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika hijrah ke Madinah tahun 622 M.

Toleransi yang dibangun Rasulullah SAW di Madinah sangat dominan dengan toleransi aktif-positif.  Model toleransi aktif-positif menunjukkan bahwa toleransi yang diterapkan tidak sekadar dalam bentuk menghargai perbedaan saja, namun juga hingga pada kerjasama di bidang sosial, ekonomi, dan politik.

Dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan urusan dunia, hal ini mungkin berbeda dari agama lain yang memisahkan antara konsep ibadah dan urusan dunia. Maka, peristiwa hijrah Nabi ke Yatsrib (Madinah) merupakan peristiwa bersejarah permulaan berdirinya tatanan sosial dan politik dalam sejarah perkembangan Islam.

Dengan pluralitas komposisi masyarakat ternyata tidak luput dari pengamatan nabi. Di salah satu sisi, pluralitas masyarakat dapat menimbulkan konflik yang pada gilirannya akan mengancam integritas persatuan dan kesatuan. Sadar akan halini, Rasulullah segera mengambil inisiatif menetapkan Piagam Politik atau sering kita sebut sebagai Piagam Madinah.

Di mana perjanjian dengan komunitas Yahudi ini, dapat disebut sebagai kontrak sosial pertama di dalam sejarah umat manusia,  untuk membina kesatuan hidup berbagai golongan warga Madinah. Sehingga Nabi SAW di Madinah, tidak hanya dikenal pemimpin agama, tetapi juga pemimpin pemerintahan. Masyarakat Madinah yang multi etnis dengan keyakinan agama yang beragam bisa diatasi dengan ide-ide Nabi SAW.

Menurut Harun Nasution, Piagam Madinah tersebut mengandung aturan pokok tata kehidupan bersama di Madinah, agar terbentuk kesatuan hidup di antara seluruh penghuninya. Kesatuan hidup ini dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW sendiri. Kesepakatan Kontrak Sosial inilah yang menjadi dokumen konstitusi bagi lahirnya negara yang berdaulat. Dengan demikian, di Madinah Nabi Muhammad SAW bukanhanya mengemban tugas-tugas keagamaan sebagai Rasul, melainkan juga sebagai Kepala Negara.

Sistem pemerintahan Madinah secara keseluruhan dengan konstitusinya menganut paham Desentralisasi. Masalah internal kelompok diselesaikan oleh kelompok masing-masing, kecuali menyangkut masalah yang berhubungan dengan kelompok lain, masalah tersebut ditangani oleh Rasulullah.

Munawir Syazali menyimpulkan prinsip dasar Piagam ini sebagai berikut: Pertama, semua pemeluk Islam meskipun berasal dari banyak suku, tetapi merupakan satu komunitas. Kedua,  Hubungan antara anggota komunitas Islam dengan anggota komunitas yang lain didasarkan atas prinsip-prinsip; Bertetangga baik, Saling membantu dalam menghadapi musuhbersama, Membela mereka yang teraniaya, Saling menasehati, dan Menghormati kebebasan beragama.

Melihat keterangan-keterangan dari Munawir Syazali di atas, dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep Piagam Madinah, yang dicetuskan oleh Rasulullah SAW merupakan konsep yang ideal untuk sebuah negara, dan itu merupakan undang-undang yang pertama ditulis di dunia.

Muhammad Thahir Azhari mengemukakan konsep Negara dalam Islam Nomokrasi (negara hukum) bukan teokrasi. Beliau mengemukakan negara hukum (nomokrasi) Islam memiliki prinsip-prinsip umum sebagai berikut:

Pertama, Prinsip kekuasaan sebagai Amanah. Kedua, yaitu prinsip keadilan. Ketiga, yaitu prinsip Persamaan. Keempat, yaitu Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap HAM. Kelima, yaitu Prinsip peradilan bebas. Keenam, yaitu Prinsip Perdamaian. Ketujuh, yaitu Prinsip Kesejahteraan. Kedelapan, yaitu Prinsip ketaatan rakyat.

Merujuk ke Piagam Madinah, secara eksplisit tertulis nama beberapa golongan dan beberapa suku. Nampaknya, Rasulullah sangat mengetahui tentang keadaan dan politik setiap kelompok tersebut. Nabi Muhammad SAW dapat menempatkan diri sebagai pemimpin Madinah di tengah-tengah berbagai suku yang mengamininya sebagai pemimpin masyarakat.

Jika dicermati pasal-pasal dalam Piagam Madinah, maka dapat disimpulkan bahwa piagam ini memiliki tiga pilar utama:

Pertama, keadilan yaitu persamaan derajat dihadapan hukum. Kedua, toleransi beragama, dan ketiga kebersamaan dalam senang maupun susah. Dalam implementasi pilar-pilar tersebut, keterbukaan Nabi saw dan partisipasi masyarakat merupakan kunci keberhasilan baginda Nabi saw dalam memimpin penduduk Madinah yang selama ini terus berkecamuk dalam perang saudara.

Ketetapan pasal demi pasal dalam piagam itu, menjamin hak semua kelompok sosial memperoleh persamaan dalam masalah-masalah umum, sosial dan politik sehingga dapat diterima oleh semua pihak, termasuk kaum Yahudi.

Islam ditanamkan sebagai satu kesatuan Agama dan Politik, Rasulullah berhasil menciptakan satu bangsa di bawah satu naungan kepemimpinan, suatu perwujudan dari gagasan besar berupa prinsip kehidupan nasional Arabia, dan beliau mampu menjadikan Islam sebagai agama yang menghasilkan rekonsiliasi.

Dalam menjalankan fungsi sebagai Rasul utusan Allah SWT dan pemimpin wilayah Madinah, nabi Muhammad SAW telah memberikan suri teladan terbaik dalam hal toleransi beragama. Hal ini dapat dicermati dari kepemimpinan beliau dan segala aspek kehidupannya yang tercantum dalam sabdanya berikut ini:

 “Siapa pun yang memerangi (kafir) Mu’ahad, dia tidak akan mendapatkan wangi surga. Sesungguhnya wangi surga itu dapat dijangkau dari empat puluh tahun perjalanan” (HR. al-Bukhâri).

Mu’ahad adalah orang atau kelompok di luar Islam yang mengadakan perjanjian damai dalam kurun waktu tertentu baik dengan membayar jizyah (retribusi) atau adanya jaminan dari sultan yang berkuasa atau mereka hidup di wilayah kekuasaan umat Islam. Mereka berhak mendapatkan perlindungan sebagaimana kaum muslimin dan tidak boleh disakiti apalagi dibunuh tanpa sebab yang benar. Bahkan jika mereka dibunuh tanpa sebab yang benar, maka diyah (dendanya) sama dengan membunuh seorang muslim.

Dari hadis di atas membuktikan bahwa Rasulullah SAW tidak membeda-bedakan hukum atas penduduk Madinah baik dari kalangan umat Islam maupun non Muslim.

Di sinilah kelebihan Piagam Madinah tersebut di mana Nabi SAW memberdayakan peran aktif dan kekuatan masyarakat dalam menjaga keamanan. Hal ini pula yang menumbuhkan rasa tanggung jawab secara kolektif yang memperkokoh ketahanan masyarakat itu sendiri. Setiap orang bertanggung jawab memelihara keamanan dan mewujudkan keadilan dalam masyarakat Madinah. Namun, ketika terjadi perselisihan di tengah-tengah masyarakat Madinah, maka dikembalikan kepadahukum Allah dan Rasul-Nya.

________________________________________

Penulis: Athallah

Editor: Rozi