Penaklukan Baitul Maqdis dan Implementasi Nyata Toleransi Beragama

 
Penaklukan Baitul Maqdis dan Implementasi Nyata Toleransi Beragama
Sumber Gambar: Unsplash.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID,  Jakarta - Perang Salib merupakan salah satu perang terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah dunia, terjadi pada pertengahan abad pertengahan antara kekuatan muslim dengan kekuatan Eropa pada waktu itu. Tujuan dari Perang Salib ini adalah untuk merebutkan Yerusalem dan kota suci.

Dalam rangkain Perang Salib ada pertempuran yang dinamakan dengan pertempuran Hittin terjadi pada 3-4 Juli 1187 di dekat Hittin, tepatnya Horns of Hattin, Israel sekarang, antara pasukan Salahuddin Al Ayyubi pendiri Dinasti Ayyubiyah dengan pasukan tentara Yerusalem.

Dari dahsyatnya pertempuran ini dimenangkan oleh umat  muslim yang dipimpin oleh Salahuddin Al Ayyubi, dari kekalahan ini menyebabkan kerugian sangat besar dari kubu lawan dan menyerahkan Baitul Makdis dengan syarat jaminan keamanan untuk rakyatnya.

Setelah melakukan perundingan dengan para penasehatnya Shalahuddin al-Ayyubi menerima permintaan mereka dengan beberapa syarat. Pertama, mereka dipersilahkan untuk meninggalkan Baitul Maqdis dalam jangka waktu 40 hari; Kedua, mereka harus membayar tebusan, yaitu 10 dinar untuk laki-laki, 5 dinar untuk perempuan, dan 2 dinar untuk anak-anak; Ketiga, bagi yang tidak mampu untuk menebus dirinya, maka ia akan menjadi budak.

Kota Baitul Maqdis akhirnya diserahkan kepada Shalahuddin al-Ayyubi pada hari Jumat 27 Rajab, tahun 583 H. Setelah penyerahan kota disepakati, orang-orang Kristiani segera mengosongkan rumah, menjual perabotan dan simpanan bahan makanan dengan harga yang sangat murah untuk membayar tebusan yang ditetapkan (Al-Shalabi, 2007).

Sejarah mencatat bahwa penaklukan daerah ini menjadi yang paling toleran. Kala itu Shalahuddin al-Ayyubi menepati perjanjiannya dan menunjuk para wakilnya untuk menyambut orang-orang yang hendak keluar dari kota Baitul Maqdis setelah membayar tebusannya. Meskipun Al-Ayyubi menetapkan nilai tebusan yang rendah sebagai ganti bagi mereka yang pergi dari Baitul Maqdis dengan aman, akan tetapi masih banyak dari mereka yang tidak mampu untuk membayar tebusan tersebut. Sehingga banyak tokoh-tokoh kristiani kala itu yang memohon kepada Al Ayyubi untuk membebaskan kaumnya secara cuma-cuma dan ikhlas. Akhirnya Shalahuddin Al Ayyubi mengiyakan, ada ribuan umat agama lain yang dibebaskan dengan cuma-cuma.

Selain itu, ketika Shalahuddin al-Ayyubi melihat banyak sekali orang-orang Kristiani menggendong kedua orang tua mereka yang lemah atau kerabat yang sakit untuk meninggalkan Baitul Maqdis. Shalahuddin Al-Ayyubi tidak tahan melihatnya, dan memerintahkan prajuritnya mengeluarkan harta dan tunggangan untuk diberikan kepada mereka. Tidak hanya itu, para wanita dan anak-anak para kesatria yang tertawan dan terbunuh dalam pertempuran berkumpul dihadapan Shalahuddin dengan menangis.

Shalahuddin kemudian menanyakan kondisi mereka dan apa yang diinginkan, mereka meminta belas kasihannya. Shalahuddin mengasihi mereka dan mempersilahkan mencari suaminya yang masih hidup, kemudian mengizinkan serta membebaskan mereka untuk pergi.

Sedangkan bagi para wanita yang suami dan orang tuanya telah meninggal, mereka semua atas perintah Shalahuddin diberi harta simpanan sesuai dengan tempat tinggal dan kehidupan mereka.

Dengan perlakuan Shalahuddin al-Ayyubi ini, para wanita tersebut terus memuji Tuhan atas kebaikan dan kehormatan yang telah ditunjukan Shalahuddin kepadanya (Man, 2017). Sebagian orang-orang Kristiani bahkan memohon kepada Shalahuddin al-Ayyubi untuk tetap tinggal di Baitul Maqdis setelah membayar tebusan yang ditentukan. Mereka lantas, berjanji untuk tidak mengganggu siapa pun dan ikut membangun serta memakmurkan kota. Shalahuddin kemudian menyetujuinya dengan syarat membayar upeti, yaitu sebagai ahlu dzimmah, sehingga hak-hak dan kewajiban mereka sama dengan hak-hak dan kewajiban kaum Muslimin (Al-Shalabi, 2007). Semua ini menunjukkan betapa tolerannya umat Islam secara umum dan Shalahuddin secara khusus dalam memuliakan serta memanusiakan manusia.

Shalahuddin al-Ayyubi tidak hanya menghormati dan memperhatikan kaum Kristiani, akan tetapi beliau juga sangat menghormati simbol-simbol Kristiani. Sehingga, beliau tidak menghancurkan gereja dan peninggalan-peninggalan Kristiani lainya, sebagaimana dahulu Umar bin Khattab melakukan hal itu ketika menaklukkan Baitul Maqdis pertama kali (Al-Shalabi, 2007).

Shalahuddin Al Ayyubi juga mengembalikan bangunan-bangunan seperti dahulu, yaitu mengembalikan fungsi masjid dan membersihkan masjid dari kotoran. Dari sini terlihat bahwa Shalahuddin al-Ayyubi mengajarkan sikap teguh pendirian, akhlak mulia, berperikemanusiaan dan sikap toleransi. Sehingga, tidak mengherankan jika Shalabi menukil pendapat sejarawan Eropa, Steven Resman, yang pernah berkata “Faktanya kaum Muslimin yang menang, terkenal dengan teguh pendirian dan berperikemanusiaan.


Penulis: Athallah

Editor: Rozi