Biografi Kyai Nur Iman Mlangi, Yogyakarta

 
Biografi Kyai Nur Iman Mlangi, Yogyakarta

Daftar Isi Biografi Kyai Nur Iman Mlangi, Yogyakarta    

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Nasab
1.4  Wafat
2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Guru-guru
3.    Penerus Beliau
3.1   Murid-murid Beliau
4.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
5.    Karya-karya
6.    Tradisi Peninggalan
7.    Referensi

 

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir

Kyai Nur Iman Mlangi lahir sekitar awal abad 18 atau diperkirakan tahun 1708. Beliau adalah putra Prabu Amangkurat IV atau RM. Suryo Putro dari istri yang bernama Bendara Raden Ayu Ratna Susilawati. Beliau terlahir dengan nama RM. Sandeyo yang kemudian bergelar KGP Anggabehi Kertosuro.

1.2 Riwayat Keluarga
Dari pernikahannya Kyai Nur Mlangi dikaruniai putra dan putri sebanyak tujuh belas orang , yaitu:

  1. RM. Mursodo
  2. RM. Nawawi
  3. RM Syafangatun
  4. RM. Taptojani - Kyai Kedu
  5. RA. Cholifah  istri dari Kyai Mansyur
  6. RM. Muhammad
  7. RA. Nurfakih atau Murfakiyyah
  8. RA. Muso - Kyai Sragen
  9. RM Chasan Bisri atau Muhsin Besari
  10. RA. Mursilah Ngabdul Karim
  11. RM Muhammad Soleh
  12. RM Salim atau Kyai Sahid
  13. RM. Jaelani
  14. RM. Abutohir
  15. RA. Mas Tumenggung
  16. RA. Nurjamin
  17. RM. Masyur Muchyidinirofingi ( Kyai Guru Loning )

1.3 Nasab
Kyai Nur Iman Mlangi masih keturunan dari Prabu Brawijaya V dengan urutan silsilah sebagai berikut :

  1. Prabu Brawijaya V
  2. Bondan Kejawan atau Ki Ageng Tarub III
  3. Ki Ageng Getas Pandawa
  4. Ki Ageng Sela
  5. Ki Ageng Henis
  6. Kyai Ageng Pemanahan
  7. Panembahan Senopati
  8. Prabu Hanyokrowati
  9. Prabu Sultan Agung Hanyokrokusumo
  10. Prabu Amangkurat I
  11. Prabu Amangkurat II atau Pangeran Puger
  12. Prabu Amangkurat IV ( Amangkurat Jawa ) RM. Suryo Putro
  13. Kyai Nur Iman Mlangi atau RM. Sandeyo atau KGP Angabehi Kertosuro

1.4 Wafat
Kyai Nur Iman Mlangi wafat pada 4 Juni 1744, beliau dimakamkan di Komplek Masjid Pathok Negara An-Nur Mlangi, Yogyakarta

2.  Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1 Guru Beliau
   
Guru beliau selama hidupnya adalah sebagai berikut:

  1. Kyai Abdullah Muhsin

3. Penerus Beliau
3.1 Murid-murid Beliau

  1. Sanusi
  2. Tanmisani
  3. Hadiwongso
  4. Kyai Abdul Karim ( salahsatu dari tiga orang pendiri pondok pesantren Lirboyo Kediri )

4.  Perjalanan Hidup dan Dakwah
Salah satu putera Pangeran Puger adalah RM. Suryo Putro. Dikisahkan beliau meninggalkan kraton Mataram menuju ke arah timur / brang wetan, tepatnya sampai di Pondok Pesantren Gedangan Surabaya yang pada saat itu diasuh oleh Kyai Abdullah Muhsin. Hal ini dikarenakan adanya perebutan tahta dan perselisihan antar saudara di kalangan istana yang merupakan ulah adu domba Belanda. RM. Suryo Putro kemudian menjadi santri disana dengan berganti nama M. Ihsan.

Pada suatu saat tepatnya dalam kegiatan rutin selapanan ( 35 hari sekali ) yang diadakan di ponpes tersebut, diadakan pengajian yang tanpa disangka dihadiri oleh Adipati Wironegoro ( ini adalah gelar anugrah yang diberikan Amangkurat II kepada Untung Suropati yang ikut membantuh dalam pembunuhan Pimpinan Kompeni yang bernama Kapten Tack), M. Ihsan menjadi ketua santri dan ikut menghidangkan hidangan untuk para tamu yang hadir. Saat mondar mandir di depan Adipati tersebut, beliau diamati oleh sang Adipati.

Karena merasa bahwa Adipati pernah bertemu sebelumnya dan yakin bahwa santri tersebut adalah seorang bangsawan, maka setelah pengajian selesai, sang Adipati tidak langsung pulang tetapi malah menyuruh Kyai Abdullah Muhsinuntuk memanggil Santri M. Ihsan tersebut. Setelah bertemu dan bercakap- cakap akhirnya diketahuilah bahwa M. Ihsan memang seorang bangsawan. M. Ihsan dan Adipati akhirnya berpesan agar Kyai merahasiakan keberadaan M. Ihsan dan menganggap beliau sebagai santri biasa agar tidak sampai ketahuan oleh keluarga kerajaan. Sebelum pulang, Adipati Wironegoro berpesan agar M. Ihsan sudi berkunjung ke kadipaten dengan menyamar.

Akhirnya pada waktu yang telah ditentukan M Ihsan bersama Kyai Adullah Muhsin datang ke kadipaten dengan alasan akan menyampaikan pesan kepada Adipati tersebut agar tetap merahasiakan keberadaannya kepada kelurga Kraton. Setelah beberapa waktu berjalan dan melalui pertimbangan yang matang, akhirnya diambillah kesepakatan antara Adipati, Kyai Abdullah Muhsindan M. Ihsan untuk menikahkan M Ihsan dengan Putri Adipati tersebut yang bernama RA. Retno Susilowati. Setelah menikah, putri tersebut diboyonglah ke ponpes Gedangan.

Sementara itu, sepeninggal RM. Suryo Putro ternyata keadaan kerajaan semakin kacau hingga akhirnya terciumlah keberadaan M. Ihsan oleh keluarga Kraton. Sang Raja kemudian mengirim utusan untuk menjemput pulang M. Ihsan ke Mataram. Karena itu merupakan perintah Raja, maka M. Ihsan tidak berani menolak. Sebelum beliau pulang ke kraton, menitipkan istrinya yang sedang hamil ke kyai Abdullah Muhsindan berpesan "Kelak jika anaknya lahir laki laki harap diberi nama RM. Sandeyo, tetapi jika perempuan, pemberian nama terserah Kyai". Kyai juga diminta mengasuhnya dan mendidiknya hingga mumpuni, karena kelak beliau kan dijemput pulang ke kraton Mataram. Ternyata bayi yang lahir itu benar laki - laki dan kemudian oleh kyai diberi nama RM. Sandeyo, selain itu oleh Kyai Abdullah Muhsin bayi itu juga diberi nama Muhammad Nur Iman.

Setibanya di kraton Mataram, RM. Suryo Putro langsung dinobatkan sebagai raja bergelar Amangkurat JAWA atau Amangkurat IV. Beliau memerintah pada tahun 1719 - 1726. Sebelum Beliau meninggal, Beliau teringat pernah menitipkan istri pertamanya yang sedang hamil di Pondok Pesantren Gedangan yang diasuh oleh Kyai Abdullah Muhsin, dan mungkin anak dalam kandungan itu telah lahir dan telah dewasa. Akhirnya Beliau mengutus utusan untuk menjemput pulang anak tersebut.

Seiring waktu berlalu Nur Iman atau RM Sandeyo telah tumbuh dewasa dan telah menjadi pemuda yang mumpuni dalam ilmu agama dan lainnya, hingga pada suatu saat datang lah utusan tersebut dan meminta RM Sandeyo untuk pulang ke Mataram. Akhirnya Muhammad Nur Iman mau untuk pulang, akan tetapi Beliau tidak mau pulang bersama dengan utusan tersebut. setelah pamit pada Kyai Abdullah Muhsin dan mendengarkan semua pesan nasihat dari sang Kyai, maka RM. Sandeyo berangkat ke Mataram dengan ditemani dua sahabat dekatnya yang bernama Sanusi dan Tanmisani. Sesuai dengan nasihat Kyai, maka sepanjang perjalanannya mereka tanpa henti berdakwah menyebarkan ilmu agama dan mendirikan Ponpes, hingga perjalan sampai ke Mataram memakan waktu agak lama. Ponpes yang didirikan M. Nur Iman antara lain ponpes yang ada di sepanjang Ponorogo dan Pacitan. Kyai Abdullah Muhsin juga mempunyai keyakinan kuat bahwa kelak M. Nur Iman akan menjadi Ulama besar dan termasyhur.

Sesampainya di Kraton, M. Nur Iman langsung sungkem kepada Ayahhandanya Amangkurat Jawa / IV  dan kemudian dikenalkan kepada semua kerabat kraton , juga adik - adiknya. Selain itu beliau juga dianugerahi gelar KGHP. Kertosuro dan mendapat rumah kediaman di Sukowati.

Pada saat terjadinya perang saudara antara adik - adiknya yakni Pangeran Sambernyowo atau RM. Said dan Pangeran Mangkubumi atau RM. Sujono, juga dengan terjadinya huru - hara antara bangsa Tionghoa dengan kompeni Belanda yang terkenal dengan peristiwa Geger Pecinan. Kyai M. Nur Iman bersama sahabatnya memilih meninggalkan istana ke arah barat untuk mencari tempat yang akan mereka dirikan pesantren. Selain berdakwah, mereka juga menanamkan jiwa patriotisme melawan kompeni kepada para rakyat yang mereka temui.

Perjalanan ke barat itu sampai pada daerah hutan. Disana kemudian beliau bersama kedua abdinya bertapa untuk meminta petunjuk yang akhirnya pada waktu duha beliau mendapat petunjuk tempat yang bercahaya dan berbau wangi. Setelah itu beliau kemudian menghentikan tapanya dan membuat selamatan berupa Ingkung (Ayam Bakar) yang dicampur dengan nasi jagung.

Setelah selamatan selesai, beliau kemudian mulai membabad hutan tersebut untuk dijadikan lahan yang akhirnya menjadi desa mlangi. Berasal dari kata Melang - melang ( bercahaya ) dan wangi ( harum ) serta tempat untuk mengajar ( mulangi ) agama Islam. tempat bertapa beliau kini berada di antara 4 saka masjid mlangi. Kyai Nur Iman kemudian mulai berdakwah di sana.

Suatu ketika beliau pergi ke daerah yang bernama Kulon Progo. kedatangannya diterima dengan senang hati oleh demang yang bernama Hadiwongso ( penguasa daerah Gegulu ), yang kemudian demang beserta keluarganya tersebut memeluk islam. Dengan sangat hormat demang tersebut memohon agar M. Nur Iman sudi menikah dengan putrinya. Akhirnya Kyai M. Nur Iman dinikahkan dengan putri nya yang bernama Mursalah, sedangkan kedua sahabatnya juga dinikahkan dengan putrinya yang lain yang bernama Maemunah ( menikah dengan Sanusi ) dan Romlah ( menikah dengan Tanmisani).

Perselisihan antar kedua saudara M.Nur Iman tersebut akhirnya berakhir dengan perjanjian di desa Giyanti pada tahun 1755, kemudian dikenal dengan perjanjian Giyanti yang isinya antara lain :

1. Kerajaan Mataram Kertosuro dibagi menjadi 2 bagian,

1. Dari Prambanan ke timur menjadi milik Susuhunan Pakubuwono III, beribukota di Surokarto

2. Dari Prambanan ke barat menjadi milik Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwana I, beribukota di Yogyakarta.

2. Pangeran Sambernyowo atau RM. Said diberi kedudukan sebagai Adipati dengan gelar Adipati Mangkunegara I dan diperbolehkan mendirikan sebuah Puro yang kemudian diberi nama Puro Mangkunegara.

Zaman Pemerintahan Hamengku Buwana I merupakan zaman keemasan Yogyakarta Hadiningrat. Setelah Hamengku Buwana I wafat, pemerintahan digantikan oleh putranya yan g bernama RM. Sundoro yang bergelar Hamengku Buwana II. Beliau sangat nasionalis dan rela berkorban untuk rakyatnya. Terlebih dalam pengembangan agama. hal ini terlihat dengan baiknya hubungan antara ulama dan umaro pada saat itu.

Pada masa pemerintahaan Hamengku Buwana II inilah Kyai Nur Iman Mlangi mengarahkan agar Raja membangun Empat Masjid besar untuk melengkapi dan mendampingi masjid yang sudah berdiri terlebih dahulu yaitu masjid yang berada di kampung Kauman , di samping kraton. Masjid yang akan dibangun tersebut disaranklan oleh Kyai Nur iman dibangun di empat arah dan diberi nama Masjid Patok Nagari. Keempat masjid tersebut adalah :

  1. Di sebelah Barat terletak di dusun Mlangi
  2. Di sebelah Timur terletak di desa Babadan
  3. Di sebelah Utara terletak di desa Ploso Kuning
  4. Di sebelah Selatan terletak di desa Dongkelan.

Adapun pengurus masjid tersebut adalah putra - putra Kyai Nur Iman Mlangi yakni :

  1. Masjid Ploso Kuning di urus oleh Kyai Mursodo
  2. Masjid babadan diurus oleh kyai Ageng Karang Besari
  3. Masjid Dongklelan diurus oleh Kyai Hasan Besari
  4. Masjid Mlangi diurus oleh Kyai Nur Iman Mlangi sendiri

Masjid - masjid tersebut kemudian terkenal dengan Masjid Kagungan Dalem atau Masjid Kasultanan, dan pengurus takmir pada saat itu termasuk abdi dalem kraton.

Di dalam perjalanannya, Masjid Pathok Negoro ini diserahkan kepada Kyai Nur Iman. Pada perkembangannya, Kyai Nur Iman menjadikan masjid ini sebagai tempat penyebaran ilmu-ilmu keagamaan seperti pesantren Mlangi yang beraliran al-sunnah wa al-jama’ah dan penguatan kebudayaan kraton. Maka tidak heran jika kita pergi ke sana, secara langsung akan melihat adanya perpaduan antara Islam dan budaya Jawa, seperti yang terlihat pada bentuk gapura yang khas Keraton Yogyakarta.

Latar belakangnya yang lahir dari keluarga bangsawan di satu sisi, dan tumbuh dari pendidikan pondok pesantren tradisional di sisi lain telah membentuk pribadi Kyai Nur Iman sebagai orang yang mampu menjaga harmoni perpaduan antara Islam dan Jawa. Sikap akomodatifnya terhadap budaya Jawa pun terlihat dari masih dilantunkannya salawat-salawat khas Jawa di dusun Mlangi.

Peran beliau sebagai kyai di dalam membangun harmoni antara Islam dan Jawa ini pun persis seperti yang Clifford Geertz gambarkan dalam karyanya,The Javanese Kijaji, yang menyatakan bahwa, “kyai sebagai makelar budaya berperan menghubungkan sekup sistem tradisi lokal dengan sekup sistem tradisi yang lebih luas. Kandidat cultural broker dalam konteks Jawa adalah kyai. Hal ini karena sosok kyai memiliki dua wajah sekaligus, yakni ia sebagai pendidik masyarakat dan ia sebagai pemimpin masyarakat. Posisi ini memungkinkan kyai menjadi perantara budaya antara masyarakat tani Jawa dengan sekup budaya masyarakat luar”.

Pada Tahun 1953 Masjid Mlangi diserahkan kepada rakyat dan diberi nama Masjid Jami' Mlangi. Serah terima dari Hamengku Buwana IX kepada masyarakat diwakili oleh alim ulama dan tokoh masyarakat, antara lain :

  1.  Kyai Sirudin
  2. Kyai Masduki
  3. M. Ngasim

Sesuai dengan Amanah Hamengku Buwana II, maka Hamengku Buwana III juga melakukan perlawanan kepada penjajah. Sikap patroitisme dan nasionalisme tersebut beliau wariskan kepada putranya yang bernama Kanjeng Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro dengan semangat tinggi dan keyakinan Jihad Fi sabillillah memerangi Belanda. Hal ini tercermin dari pakaian yang beliau kenakan. Perang Diponegoro berlangsung pada tahun 1825 - 1830. Perang Diponegoro ini pun melibatkan anak cucu dari Mbah Kyai Nur Iman Mlangi. salahsatu putr a Kyai Nur Iman Mlangi yang gugur dalam perang ini bernama Kyai Salim. Beliau wafat di desa Ndimoyo. Selanjutnya beliau terkenal dengan sebutan Kyai Sahid.

Tipu daya licik Belanda akhirnya dapat mengakhiri perang Diponegoro. Pangeran Diponegoro tertangkap di Magelang dalam sabuah perundingan. Pengawal Pribadi Pangeran Diponegoro juga iku ditangkap saat itu. Beliau bernama Kyai Hasan Besari yang merupakan putra dari Kyai Nur Iman Mlangi. Mereka kemudian diasingkan ke Menado.

Setelah Perang Diponegoro berakhir, kompeni berani menghadap Hamengku Buwana III. Kompeni membujuk dan memutar balikkan fakta kepada Sultan dengan mengatakan bahwa Pangeran Diponegoro dan pengikutnya adalah pemberontak. hal ini membuat pengikut Pangeran Diponegoro yang masih tersisa termasuk para putra wayah Mbah Kyai Nur Iman Mlangi tidak berani kembali ke desanya karena takut ditangkap kompeni.

Di mana tempat yang dianggap aman, disanalah mereka tinggal. Sehingga secara tidak langsung terjadilah penyebaran penduduk dan keturunan dari Kyai Nur Iman Mlangi yang tidak hanya tersebar di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah saja , tetapi juga menyebar hingga ke Jawa Barat dan Jawa Timur, bahkan ada yang di luar Jawa. Sementara itu Mbah Kyai Nur Iman memilih tinggal di desa Mlangi sampai akhir hayatnya. Kyai Nur Iman Mlangi dimakamkan di belakang masjid. Makam tersebut kemudian terkenal dengan sebutan Makam Pangeran Bei atau Pesareyan Kagungan Dalem Kasultanan, sehingga gapura masuk Kompeks tersebut bercirikan Kraton.

Seperti makam para Auliya' dan Ulama besar yang lain, makam Mbah Kyai Nur Iman juga banyak dikunjungi peziarah baik rombongan maupun perorangan yang berasal dari luar daerah, bahkan ada yang berasal dari luar pulau Jawa.

Putra mbah Kyai Nur Iman Mlangi ada yang diangkat sebagai Bupati Kedu, Beliau bernama Kyai Taptojani. Ada juga yang diangkat sebagai penghulu Kraton Yogyakarta. Beliau bernama Kyai Nawawi.

Sampai saat ini di desa Mlangi berdiri beberapa Ponpes yaitu :

  1. PP. Al Miftah yang diasuh oleh Kyai Sirrudin dan diteruskan oleh KH. Munahar
  2. PP As Salafiyyah yang diasuh oleh Kyai Masduqi dan diteruskan oleh KH. Suja'i Masduqi
  3. P. Al Falahiyyah yang diasuh oleh KH. Zamrudin dan diteruskan oleh Nyai hj. Zamrudin
  4. PP. Al Huda yang diasuh oleh KH. Muchtar Dawam
  5. PP. Mlangi Timur yang diasuh oleh KH. Wafirudin dan diteruskan oleh Nyai Hj. Wafirudin
  6. PP. Hujjatul Islam yang diasuh oleh KH. Qothrul Aziz
  7. PP. As Salimiyyah yang diasuh oleh KH. Salimi
  8. PP. An Nasyath yang diasuh oleh KH. Sami'an
  9. PP. Ar Risalah yang diasuh oleh KH. Abdullah
  10. PP. Hidayatul Mubtadin yang diasuh oleh KH. Nur Iman Muqim

Adapun Ponpes yang ada diluar Yogyakarta dan masih keturunan Mbah Kyai Nur Iman Mlangi adalah :

  1. PP. Watu Congol Muntilan yang diasuh oleh KH. Ahmad Abdul Haq
  2. PP. Tegalrejo Magelang yang diasuh oleh KH. Abdurrahman Khudlori
  3. PP. Al Asy'ariyyah Kalibeber Wonosobo yang diasuh oleh KH. Muntaha
  4. PP. Bambu runcing Parakan Temanggung yang diasuh oleh KH. Muhaiminan
  5. PP. Secang Sempu Magelang yang diasuh oleh KH. Ismail Ali
  6. PP. Nurul Iman Jambi yang diasuh oleh KH. Sohib dan Nyai Hj, Bahriyah

5 Karya-karya Mbah Kyai Nur Iman Mlangi
Karya-karya beliau antara lain :

  1. Kitab Taqwim ( Ringkasan Ilmu Nahwu )
  2. Kitab Ilmu Sorof ( Ringkasan Ilmu Sorof )

Di museum Diponegoro Magelang juga terdapat peninggalan dari Pangeran Diponegoro berupa kitab yang selalu Beliau baca. Kitab tersebut adalah kitab karya Mbah Kyai Nur Iman Mlangi

6 Tradisi peninggalan Mbah Kyai Nur Iman Mlangi
Tradisi peninggalan Mbah Kyai Nur Iman Mlangi yang masih dilestarikan sampai saat ini antara lain :

  1. Ziaroh / mengirim doa kepada ahli kubur dengan membaca tahlil dan Al Quran, surat Al Ikhlas dan lain lain.
  2. Membaca sholawat Tunjina ( untuk memohon keselamatan di dalam setiap hajatan )
  3. Membaca sholawat Nariyah ( untuk memohon keselamatan pada hajatan seperti orang hamil dan lain lain )
  4. Membaca kalimat Thoyyibah, Tahlil Pitung Leksa ( Khususnya jika diperlukan untuk obat / tombo sapu jagad )
  5. Manakib Abdulqodiran
  6. Barjanji / Rodadan
  7. Sholawatan / Kojan dan lain- lain.

Untuk mengenang dan menghormati jasa Mbah Kyai Nur Iman Mlangi, para Alim Ulama dan tokoh masyarakat sepakat mengadakan Haul yang diselenggarakan setiap tahun pada bulan Suro / Muharram malam tanggal 15.

7.  Referensi

  1. https://www.nu.or.id/pesantren/kiai-nur-iman-mlangi-pejuang-revolusi-pendiri-banyak-pesantren-AjlDm
 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya