Biografi KH. Aminullah (Penerus Perjuangan Sayyid Sulaiman)

 
Biografi KH. Aminullah (Penerus Perjuangan Sayyid Sulaiman)

Daftar Isi Biografi KH. Aminullah (Penerus Perjuangan Sayyid Sulaiman)

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Nasab
1.4  Wafat
2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Guru-guru
3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Awal Perjalanan KH. Aminullah
3.2  Asal Usul Nama Sidogiri
3.3  KH. Aminullah Sosok Ahli Ibadah, Sakti Mandraguna dan Mencintai Kaligrafi
3.4  Peninggalan-peninggalan Kyai Aminullah
4.    Referensi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
KH. Aminullah lahir di Hadramaut sebuah daerah di negara Yaman yang terletak di bagian selatan Jazirah Arab. Alamnya terdiri dari pantari berpasir dengan pegunungan batu yang gersang. KH. Aminullah berasal dari keluarga yang taat beribadah. Ayahnya, yang konon bernama Mas’ud (Dalam biografi KH Mahalli, ayah KH Aminullah disebutkan bernama Maulana Umar Mas’ud, yang dikenal juga dengan sebutan Pangeran Perigi) adalah keturunan marga Al-Haddar, salah satu marga besar yang memiliki peranan penting dalam penyebaran agama Islam ke Nusantara. Salah satu tokoh yang terkenal dari keluarga ini adalah Habib Ahmad bin Muhsin Al-Haddar, yang menetap dan dimakamkan di Bangil, Pasuruan. Ada pula yang mengatakan bahwa Kyai Aminullah adalah keturunan Sunan Bonang.

Riwayat lain menyebutkan, beliau datang dari Hadramaut bersama Sayyid Sulaiman. Keduanya sempat singgah di Banten. Setelah cukup lama tinggal di sana, akhirnya keduanya berkelana mencari lahan baru untuk berdakwah. Dan pilihan mereka tertuju pada daerah jawa bagian timur yang kala itu masih kental dengan budaya Hindu-Budha.

1.2 Riwayat Keluarga
Dari Pernikahannya, Kyai Aminullah dikaruniai dua orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan, yaitu:

  1. Kyai Urip.
  2. Kyai Qadli
  3. Nyai Hafshah
  4. Kyai Barmawi

Keturunan Kyai Aminullah, baik yang laki-laki maupun perempuan, banyak yang menjadi ulama dan pengasuh pondok pesantren, baik di Sidogiri maupun di daerah-daerah lain, bahkan di luar Pasuruan. Di Pasuruan, misalnya di Sukunsari, Kramat, Kebonsari Kota Pasuruan, Rembang, Beji Bangil, Bendungan, Keboncandi, Sladi. Di luar Pasuruan, misalnya di Probolinggo, Jember, Kediri, Malang, Bangkalan, Sampang, Bondowoso, Situbondo. Mereka juga banyak melahirkan ulama-ulama lain yang mendapatkan pendidikan di pesantrennya, terutama di Pondok Pesantren Sidogiri.

1.3 Wafat
KH. Aminullah diperkirakan wafat pada awal abad 1800 an dan beliau dimakamkan di sekitaran Pondok Pesantren Sidogiri

2.  Sanad Ilmu dan Pendidikan

Pada abad ke-17, Kyai Aminullah sebagai pengelana sederhana yang datang ke Sidogiri. Beliau berkeinginan menimba ilmu dari seorang ulama tersohor ketika itu yang akrab dengan sebutan Sayyid Sulaiman. Kehadiran beiau untuk berguru kepada Sayyid Sulaiman diterima dengan baik. Beliau belajar dengan baik serta melaksanakan perintah Mbah Sayyid dengan penuh kepatuhan. Tanpa kenal lelah, Kyai Aminullah membantu pembabatan rimbunan pohon di hutan Sidogiri. Semangat belajar Kyai Aminullah yang besar membuatnya cepat menguasai berbagai bidang disiplin ilmu, mulai dari ilmu Syariah sampai ilmu kesaktian. Tak heran kalau akhirnya beliau mengungguli teman-temannya dan kemudian beliau diambil menantu oleh Sayyid Sulaiman.

Riwayat lain menyebutkan, Kyai Aminullah adalah seorang ulama yang alim dan sakti, yang dikirim oleh Sunan Giri (penguasa Giri) untuk membantu Sayyid Sulaiman membabat tanah Sidogiri dan memerangi jin-jin penghuni tanah tersebut. Kemudian beliau diambil menantu Sayyid Sulaiman. Setelah Sayyid Sulaiman wafat, Kyai Aminullah terus melanjutkan pembabatan tanah Sidogiri dan bertempat tinggal di sana sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.

Menurut suatu riwayat, ketika tinggal di Kanigoro, Kyai Aminullah berguru kepada Syekh Rofi'i bin Umi Kultsum binti Hazam bin Sayyid Sulaiman. Sedangkan dari jalur laki-laki, Syekh Rofi'i adalah putra Syekh Ahmad. Syekh Rofi'i adalah seorang ulama yang alim ‘allâmah. Karena kealimannya itulah beliau dipanggil dengan gelar Syekh di depan namanya. Secara etimologis, Syekh adalah sebutan bagi ulama yang alim dalam ilmu agama. Syekh juga biasa menjadi sebutan bagi orang-orang Arab, terutama keturunan Nabi Muhammad SAW.

Kyai Aminullah adalah sosok yang haus ilmu. Beliau tidak pernah merasa cukup dengan ilmu yang beliau dapatkan. Karena ketekunan dan kecerdasannya, Kyai Aminullah menjadi murid yang alim, tangkas dan terampil, sehingga Kyai Aminullah kemudian diambil menantu oleh Syekh Rofi'i, yakni dinikahkan dengan putri beliau yang bernama Masturoh.

Dalam versi ini terdapat sebuah perbedaan yang cukup mencolok dengan versi lain yang mengatakan bahwa Kyai Aminullah adalah menantu dari Sayyid Sulaiman di Sidogiri. Sebab dalam versi ini, Kyai Aminullah adalah menantu dari Syekh Rofi'i Kanigoro, sedang Syekh Rofi'i adalah cicit dari Sayyid Sulaiman.

2.1 Guru-guru Beliau
Guru-guru beliau selama hidupnya adalah sebagai berikut:

  1. Sunan Giri
  2. Sayyid Sulaiman Mojoagung.
  3. Syekh Rofi’i

3.  Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1 Awal Perjalanan KH. Aminullah
Hadramaut dikenal dengan daerah asal orang-orang Arab yang menetap di Indonesia. Kedatangan mereka ke Indonesia diperkirakan sejak abad ke-13. Saat itu memang sudah terjalin hubungan perdagangan antara Indonesia dan negara-negara Arab. Karena letak Indonesia sangat strategis, maka mereka banyak memilih Indonesia sebagai tempat tujuan niaga. Selain karena Indonesia masyhur dengan keindahan dan kekayaan alamnya yang melimpah, juga banyak di antara mereka yang memang bertujuan menyebarkan agama Islam sebagai tuntutan kewajiban dakwah. Hadramaut memang di kenal sebagai tempat yang banyak mencetak dai-dai ke berbagai wilayah yang kering dari nilai-nilai Islam.

Setelah berlayar berbulan-bulan dari Hadramaut, akhirnya Kyai Aminullah dan kelompok pedagang tiba di wilayah perairan Indonesia. Rombongan saudagar itu langsung merapat di dermaga pulau Bawean, sebuah pulau dari gugusan pulau yang terletak di kawasan Laut Jawa. Luas pulau ini sekitar 199 kilometer persegi, dengan garis tengah 15 kilometer dan keliling sekitar 60 kilometer. Bagian tengah pulau itu merupakan perbukitan. Bukit tinggi itu dinamakan Gunung Besar (695 m). Dataran rendahnya berposisi melingkari pesisir pulau. Di dataran rendah dan sempit ini terdapat banyak penduduk. Daerah pedalaman hingga kini belum dijamah manusia, dibiarkan sebagai hutan yang luasnya sekitar 4557 hektare. Sebagian lagi di fungsikan sebagai hutan jati.

Menurut Hoogerwerf, seorang geolog yang pernah melakukan penelitian di pulau itu, Bawean terbentuk dari gunung api tua dengan titik tertinggi sekitar 665 meter di atas permukaan laut. Di Bawean hanya ada sungai-sungai kecil yang berair banyak hanya pada musim hujan. Satu-satunya sumber air bagi masyarakat pulau ini adalah Danau Kastoba yang terletak di Gunung Besar. Dari danau ini masyarakat menggantungkan kebutuhan pengairan untuk lahan pertanian.

Hampir seluruh penduduk Bawean beragama Islam, kendati masih ada kepercayaan terhadap hal-hal gaib, seperti kepercayaan terhadap roh yang melindungi rusa hutan dari pemburu, atau roh lain yang menjaga babi-babi liar. Ada juga roh-roh yang dipercaya bersemayam di puncak Gunung Bringin.

Semua itu tampak dari acara sesembahan yang dilakukan di tempat-tempat tertentu, sehingga tak heran jika Kyai Aminullah memilih pulau ini sebagai lahan dakwah. Kepercayaan masyarakat yang banyak menyimpang itu menarik perhatian Kyai Aminullah untuk meluruskannya.Tapi sayang, penulusuran yang dilakukan redaksi terhadap jejak Kyai Aminullah di pulau Bawean tidak banyak membuahkan hasil. Tak ditemukan lagi benda-benda Arkeologis yang menunjukkan keberadaan Kyai Aminullah di pulau itu. Beberapa tokoh masyarakat yang dihubungi juga tidak bisa memberikan keterangan yang cukup memuaskan. Padahal menurut cerita yang berkembang serta penuturan dari sekian banyak narasumber, sebelum menetap di Sidogiri Kyai Aminullah tinggal di Bawean. Bahkan ada yang mengatakan jika beliau memang berasal dari Bawean, bukan dari Hadramaut.

Setelah sampai di Sidogiri, Kyai Aminullah berguru kepada Sayyid Sulaiman. Beliau termasuk santri yang taat, cerdas, dan bertanggung-jawab. Berbeda dengan santri-santri lainnya, beliau banyak berperan membantu perjuangan Sayyid Sulaiman. Karena kecakapannya itulah, selang beberapa lama beliau dinikahkan dengan putrinya, Nyai Indah, yang juga dikenal dengan nama Nyai Hindun. Jadi Kyai Aminullah adalah menantu Sayyid Sulaiman.

Akan tetapi berbeda dengan versi di atas, menurut penuturan beberapa narasumber, pengasuh pertama Pondok Pesantren Sidogiri adalah Kyai Aminullah, bukan Sayyid Sulaiman. Kepemimpinan Sayyid Sulaiman di Sidogiri tidak dihitung sebagai pengasuh pertama, karena keberadaan Sayyid Sulaiman hanya mematok, peletak fondasi awal yang saat itu masih belum berupa pesantren pada umumnya. Lagi pula Sayyid Sulaiman adalah seorang ulama yang suka berpindah-pindah menyebarkan agama Islam, tidak sepenuhnya menetap di Pondok Pesantren Sidogiri.

Pada masa Kyai Aminullah menjadi Pengasuh, lokasi Pesantren yang asalnya berada di selatan sungai di pindah ke utara sungai, dengan alasan di selatan sungai dinilai kurang strategis dan terpencil. Lokasi itu juga sangat rawan. Sayyid Sulaiman sudah membangun tiga kotakan (bilik) santri di sana. Akan tetapi semuanya ambruk akibat ulah bangsa jin. Dikatakan bahwa bilangan hari jadi PONDOK PESANTREN SIDOGIRI mengacu pada tahun 1745 yang diyakini sebagai tahun pembabatan Kyai Aminullah dibantu Nyai Indah dan dua santrinya asal Bawean,


3.2 Asal Usul Nama Sidogiri
Dahulu, Sidogiri adalah hutan belantara yang banyak dihuni beragam tumbuhan, mulai dari tumbuhan-tumbuhan kecil hingga pohon-pohon besar. Tumbuh pula pohon-pohon yang buahnya memberikan banyak manfaat, seperti pohon Mangga, Kelapa, Nangka, dan sebagainya. Sungai-sungai besar maupun kecil cukup banyak, menunjukkan betapa subur tanah Sidogiri ini. Bermacam-macam hewan juga hidup di situ. Selain subur, tanah Sidogiri juga diyakini sebagai tanah yang penuh berkah. Karena asumsi itulah banyak orang dan Ulama berdatangan ke sana dengan beraneka ragam latar belakang dan tujuan.

Banyak versi yang menyebutkan asal-usul nama Sidogiri. Menurut sebagian riwayat, nama Sidogiri berawal dari ketika Sayyid Sulaiman mendapat titah dari penguasa Giri untuk membabat tanah di daerah Pasuruan untuk dibangun sebuah pesantren. Tanah itu dikenal mengandung sejuta misteri. Beberapa ulama mencoba merintis pembangunan pesantren di tanah itu. Namun semuanya berakhir tanpa hasil. Karena mereka tidak mampu meredam gangguan makhluk halus penghuni tanah itu. Kehadiran Sayyid Sulaiman ternyata mampu mengatasi makhluk-makhluk tak kasat mata itu. Karena kesuksesannya, Sayyid Sulaiman disebutsebut sebagai “Kang sido saking utusan Sunan Giri” (Utusan penguasa Giri yang sukses), yang belakangan menjadi nama Sidogiri. Pesantren yang beliau rintis di tempat itu kini sudah menjelma menjadi salah satu pesantren besar di Jawa dan tetap survive hingga kini.

Versi lain menyebutkan, bahwa nama itu diambil dari peristiwa kedatangan Sunan Giri (Penguasa Giri) atau utusannya ke tanah Kanjengan Sidogiri. Dalam kunjungannya itu, beliau tidak membawa masuk tongkat yang dibawanya. Tongkat itu ditancapkan di suatu tempat di luar kawasan Sidogiri. Ternyata sepulang beliau dari menemui Kyai Sidogiri, tongkat tadi tertinggal, sehingga penduduk setempat mengatakan, “Sido kari tongkate Sunan Giri”, yang berarti “Tertinggal sudah tongkat Sunan Giri”. Maka lama-kelamaan tempat itu terkenal dengan sebutan singkat “Sidogiri”.

Setelah Sunan Giri ingat pada tongkatnya yang tertinggal, beliau kembali untuk mengambilnya. Tapi terjadi peristiwa aneh ketika tongkat itu dicabut. Bekas cabutannya memancarkan air bersih dan segar. Kemudian sumber air itu oleh masyarakat dijadikan sumur. Kini di lokasi sumber air itu dibangun Balai Pengobatan Santri (BPS) sebelah timur.

Ada pula versi lain mengatakan bahwa kata “Sidogiri” itu berasa dari kata “Sayyidul-Qurâ”, yang berarti “tuan beberapa desa”. Karena Sidogiri adalah tempat ulama-ulama besar, yang didatangi santri-santri dari segala penjuru untuk belajar dan mendalami ilmu-ilmu agama. Bahkan kemudian di masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, Sidogiri menjadi markas para pejuang dari daerah-daerah lain, dan di masa sekarang Sidogiri berkembang pesat menjadi sebuah desa yang sangat maju dibanding desa-desa yang lain.

Sidogiri juga dikenal dengan nama Sidogiri Kanjengan, yang berarti Sidogiri tempatnya para kanjeng dan para Kyai. Sebenarnya nama itu sudah pernah disematkan oleh Sayyid Sulaiman ketika mematok sebidang tanah di Sidogiri, ketika itu beliau berharap semoga di tanah patokan itu kelak dibangun sebuah kanjengan.Menurut penuturan beberapa sumber, sejak dahulu tanah Sidogiri banyak didatangi para Kyai untuk uji nyali mencoba membabat tanah Sidogiri yang dikenal berbarakah. Tapi syaratnya mereka harus berjuang melawan makhluk-makhluk halus dan menundukkannya. Sehingga banyak di antara mereka yang menetap hingga meninggal dan dimakamkan di Sidogiri. Bahkan konon sebagian Walisongo juga pernah singgah di Sidogiri Kanjengan tersebut dalam rangka berdakwah ke wilayah Surabaya, Pasuruan, dan sekitarnya.

Sebagaimana disebutkan dalam buku Pondok Pesantren Sidogiri: Suatu Penelusuran Hari Jadi Kabupaten Pasuruan terbitan Pemerintah Kabupaten Pasuruan, ada beberapa hal yang melatarbelakangi berdirinya Pondok Pesantren Sidogiri, antara lain sebagai berikut:

Pertama, sebagaimana halnya latar belakang berdirinya pondok pesantren lain, yakni sebagai tempat mendidik santri dengan cara diasramakan, sehingga mereka dapat belajar dan bertempat tinggal di tempat tersebut. Biasanya pondok pesantren dipimpin pemangku pesantren, yaitu ulama senior di lingkungan pondok pesantren tersebut. Sistem yang digunakan dalam mendidik masih tradisional dan salaf.

Kedua, sentral untuk pendidikan (khususnya) keagamaan tersebut dimaksudkan juga sebagai pusat syiar agama Islam. Tentunya pada saat didirikan Pondok Pesantren Sidogiri, latar belakang sebagai agama yang relatif baru perlu memperkuat diri agar dapat lebih mengakar pada masyarakat, mangingat pengaruh agama sebelumnya masih kental terasa dalam kehidupan seharihari di masyarakat, khususnya masyarakat Jawa.

Ketiga, mengingat bahwa pendirian Pondok Pesantren Sidogiri pada saat itu adalah atas perintah penguasa Giri kepada Sayyid Sulaiman, di mana penguasa Giri sejak penobatan Sunan Giri menjadi Prabu Sasmata tahun 1487 adalah sebagai ulama juga pemimpin pemerintahan. Oleh sebab itu latar belakang didirikannya Pondok Pesantren Sidogiri adalah untuk membentuk sentral kekuatan sebagai antisipasi terhadap tantangan syiar agama Islam, yang dibangun dengan model perwilayahan seperti dalam Pemerintahan Daerah. Memberi nama lokasi di lingkungan Pondok Pesantren Sidogiri dengan menggunakan istilah Dati II A, Dati II B, dan seterusnya.

Latar belakang itulah yang kemudian menjiwai para Kyai sepuh Sidogiri, mulai dari pendiri, Sayyid Sulaiman dan Kyai Aminullah, hingga pemangku selanjutnya, untuk membina pesantren serta menggembleng santri-santrinya dengan berbagai ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama, sebagai bekal dakwah dalam menyebarkan Islam di Pasuruan dan daerah-daerah lainnya. Berdasarkan catatan buku di atas, Pondok Pesantren Sidogiri didirikan oleh Sayyid Sulaiman pada hari Selasa Wage, 20 September 1712. Ini terhitung dari awal pembabatan tanah Sidogiri. Beliau berjuang menyebarkan syiar Islam di Sidogiri dan sekitarnya, hingga akhirnya beliau wafat pada 26 September 1766.

Sedangkan menurut catatan yang ditandatangani oleh al-Maghfûr lahum KH Noerhasan Nawawie, KH Cholil Nawawie, dan KA Sa’doellah Nawawie di dalam naskah tertanggal 29 Oktober 1963, bahwa Pondok Pesantren Sidogiri dibina atau didirikan pada tahun 1718 M. Tatapi dalam catatan lain berisi hari ulang tahun (HUT) Pondok Pesantren Sidogiri pada tahun 1971, pada saat itu adalah yang ke226.

Berarti tahun berdirinya adalah pada tahun 1745 M. Akan tetapi pada kenyataannya yang dipakai sebagai HUT Pondok Pesantren Sidogirisampai saat ini adalah dengan menggunakan tahun berdiri 1745 M. Tahun berdiri 1745 ini pula yang dicantumkan dalam AD/ART Pondok Pesantren Sidgiri sebagai tahun pendiriannya, tepatnya Jumat Wage, 20 Sya’ban 1158 H/17 September 1745 M.

Pondok Pesantren Sidogiri merupakan salah satu pesantren tertua di Jawa Timur, bahkan di Indonesia. Di dalam Serat Cebolek dan Serat Centini disebutkan bahwa sejak abad ke-16 di Indonesia telah banyak dijumpai pesantren besar yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik di bidang fikih, tahuhid, tafsir, dan tasawuf.

Berdasarkan data Departemen Agama tahun 1984/1985 jumlah pesantren di Indonesia pada abad ke-16 sebanyak 613 pesantren, akan tetapi tidak diketahui pada tahun berapakah pesantren-pesantren itu berdiri, yang waktu itu masih berupa pondokan-pondokan kecil dan santri-santrinya masih relatif sedikit. Sementara itu Pondok Pesantren Sidogiri diperkirakan telah berdiri sejak abad 17, tepat pada hari Selasa Wage, 20 September 1712 M. Versi lain tahun 1718 M, atau 1745 M.

Namun dalam wawancara dengan KH Abdul Alim Abdul Djalil setahun sebelum beliau wafat, disebutkan bahwa hitungan hari jadi PONDOK PESANTREN SIDOGIRI ke-267 tahun itu terhitung sejak pesantren ini pindah ke sebelah utara sungai. Jika umur Pondok Pesantren Sidogiri ini dihitung dari era pengasuh Sayyid Sulaiman, diperkirakan Pondok Pesantren Sidogiri sudah berumur lebih dari 400 tahun. Hingga kini masih ditemukan sisa bangunan pada masa Sayyid Sulaiman di selatan sungai, walaupun sebagian besar telah menghilang ditelan zaman.

Kemudian Kyai Aminullah melanjutkan perjuangan Sayyid Sulaiman mengembangkan pendidikan di Sidogiri dengan menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri kedua.

Keberadaan pesantren-pesantren itu semakin berkembang pesat pada abad-abad selanjutnya. Pada tahun 1899 berdiri Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang yang didirikan KH Hasyim Asy’ari; tahun 1911 berdiri Pondok Pesantren Al-Munawwir di Krapyak Yogyakarta, yang didirikan oleh KH Munawwir; 9 Oktober 1926 M berdiri Pondok Pesantren Modern Gontor di Ponorogo. Dan masih banyak lagi pesantren yang diidentifikasi sebagai pesantren kuno, seperti Pondok Pesantren Wonokoyo di Proboliggo, Pondok Pesantren Siwalan di Panji Sidoarjo, Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri, Pondok Pesantren Tegalsari, Pondok Pesantren Lasem, Pondok Pesantren Al-Khoiriyah di Banten, Pondok Pesantren Suryalaya di Tasikmalaya, dll.

Secara keseluruhan pesantren-pesantren tesebut selalu dijadikan contoh dan anutan oleh masyarakat, sehingga dengan demikian keberadaan pesantren-pesantren itu berperan sebagai potensi yang sangat besar dalam perkembangan masyarakat, terutama masyarakat Muslim lapisan menengah ke bawah.

3.3 KH. Aminullah Sosok Ahli Ibadah, Sakti Mandraguna dan Mencintai Kaligrafi
Kyai Aminullah adalah sosok Waliyullâh yang tidak mencintai dunia. Bagi beliau, ilmu adalah segala-galanya. Kyai Aminullah adalah figur ‘Abid (ahli ibadah) yang senang berkhidmah. Beliau tergolong ahli puasa. Bertahun-tahun beliau berpuasa, menahan lapar dan dahaga, mengendalikan nafsu dan mengekangnya. Beliau berpuasa hingga 40 tahun lamanya. Beliau juga istiqomah mengaji Al-Qur’an selama 40 tahun. Selain itu, kebiasaan Kyai Aminullah sehabis shalat Tahajud adalah mengisi air di jeding (Kamar mandi) masjid sampai penuh, kemudian pindah pada jeding-jeding yang lain. Hal itu beliau lakukan selama 40 tahun.

Ada kejadian menarik seputar pengisian air jeding itu. Karena jeding-jeding selalu penuh airnya pada pagi hari, orang-orang dan santri sama-sama heran. Sebab pada sore hari sebelumnya, biasanya airnya hampir habis. Mereka tidak tahu dan penasaran, siapakah gerangan yang baik hati mengisi jeding-jeding itu. Lalu ada santri yang berusaha untuk mengetahuinya. Beliau tidak tidur dan menunggu untuk mengintip orang yang mengisi jeding-jeding itu. Kira-kira jam tiga malam, beliau mendengar kriek-kriek bunyi kerekan sumur. Tanpa pikir panjang, beliau langsung menyergap si penimba. “Hayo, siapa ini?!” teriaknya. Setelah tahu bahwa orang itu adalah Kyai Aminullah, santri itu meminta maaf dan menangis menyesali perbuatannya. Konon, karena peristiwa tersebut, akhirnya santri itu menjadi wali.

Kyai Aminullah diyakini oleh keturunannya mendapatkan umur yang panjang. Kesimpulan ini dengan melihat pada perjalanan hidup dan perjuangan Kyai Aminullah sebagai penerus Sayyid Sulaiman dalam membabat Sidogiri dan menyebarkan Islam di Pasuruan dan sekitarnya. Selain itu, keturunan beliau dari istri keempatnya masih lebih muda dibanding keturunan beliau dari istri-istri yang lain. Lagi pula usia orang-orang zaman dulu biasanya memang panjang.

Sejak zaman dahulu daerah Banten dikenal sebagai pusat ilmu kesaktian (kanuragan), sedangkan Pasuruan lebih dikenal sebagai kota santri. Namun tidak berarti di Sidogiri kala itu tidak diajarkan ilmu kanuragan. Hanya saja ilmu agama lebih menonjol. Ilmu kesaktian juga perlu diajari sebagai sarana pendukung dakwah dan bekal menegakkan kebenaran serta melawan ketidakadilan.

Kyai Aminullah dikenal rendah hati dan tidak suka menonjolkan kehebatan ilmunya. Ini sesuai dengan ajaran ilmu tasawuf yang disebut dengan istilah khumul (low profile). Awalnya beliau dikenal sebagai sosok yang sederhana, tapi lambat laun kedigdayaan beliau tampak. Beliau ternyata ahli dalam ilmu kesaktian atau ilmu kanuragan. Cerita tentang kehebatannya menaklukkan jin-jin jahat sudah tidak asing lagi di telinga.

Pernah pada suatu ketika ada seorang santri beliau yang juga punya ilmu kanuragan mencoba ilmunya untuk merontokkan buah kelapa, di depan Kyai Aminullah. Dengan sekali hentak, jatuhlah semua buah kelapa yang ada di pohon itu. Melihat hal itu, Kyai Aminullah mengingatkan agar tidak menggunakan ilmu kanuragan dengan cara seperti itu. Karena buah kelapa yang masih muda juga ikut rontok. Lantas beliau menunjukkan penggunaan ilmu kanuragan yang labih baik. Dengan cepat kilat, beberapa buah kelapa tua sudah ada di tangan beliau.

Pada masa itu ilmu kanuragan memang merupakan ilmu yang paling banyak dipelajari. Hal ini tidaklah mengherankan. Karena tuntutan situasi dan kondisi saat itu, yaitu seringnya terjadi peperangan, perampokan dan lain sebagainya. Peperangan sering terjadi akibat perebutan kekuasaan oleh beberapa kerajaan. Di antaranya perseteruan heroik antara kerajaan Islam Demak dengan kerajaan Hindu Blambangan, perlawanan kerajaan Mataram terhadap VOC (penjajah Belanda), juga perebutan kekuasaan antara kerajaan Demak dan kerajaan Mataram, yang saat itu wilayah kekuasaan kedua kerajaan ini meliputi seluruh pulau Jawa, termasuk Pasuruan.

Bagi Kyai Aminullah ilmu kesaktian bukanlah ilmu yang pantas dibangga-banggakan, apalagi menjadikan pemiliknya sombong. Beliau lebih suka mengedepankan kesederhanaan dalam berperilaku, tidak menampakkan kehebatan ilmu, serta bertindak santun dalam menghadapi siapa saja.

Semasa Kyai Aminullah menuntut ilmu di Sidogiri, selain dikenal sebagai santri yang cerdas, tekun dan Istiqomah, beliau juga dikenal memiliki kesaktian yang luar biasa. Hal ini beliau buktikan ketika meneruskan tugas Sayyid Sulaiman membabat hutan di tanah Sidogiri. Sidogiri tempo dulu adalah hutan rimba. Perjuangan Kyai Aminullah tidak serta-merta lancar tanpa halangan. Ketika menebangi pohon yang sudah berusia puluhan hingga ratusan tahun itu, banyak aral rintangan yang harus beliau hadapi. Beliau harus berhadapan dengan makhluk halus penghuni hutan itu. Beliau berperang dengan para dedemit selama tiga hari tiga malam. Bahkan ada yang mengatakan pertarungan dua makhluk beda alam ini berlangsung selam 40 hari 40 malam tanpa henti. Saat itulah kedigdayaan beliau tampak. Konon, ketika duel dengan jin di udara, beliau mampu melayang di udara tanpa berpijak pada apapun. Satu keahlian yang tak dikuasai oleh bangsa jin. Karena mereka masih hinggap di pepohonan. Berkat kesaktian itulah beliau mampu membuat lawan bertekuk lutut.

Setelah dapat menaklukkan para jin tersebut, Kyai Aminullah meminta tolong kepada salah satu jin untuk diantarkan ke Mekah guna menunaikan ibadah. Sebagai santrinya, jin itu mengiyakan permintaan Kyai Aminullah. “Mari Kyai, kalau memang Anda berkehendak,” katanya. Ketika tiba di suatu tempat di India, jin itu meminta izin berhenti sejenak dengan alasan masih ada keperluan. Kyai Aminullah didudukkan di atas batu. “Kalau kau masih punya keperluan, boleh saja kau pergi. Tapi jangan lama-lama, aku akan menunggu di sini,” kata Kyai Aminullah kepada jin itu.

Setelah ditunggu lama, ternyata jin itu tidak kunjung kembali. Maka dihentakkanlah kaki beliau ke bumi sebanyak tiga kali, tiba-tiba jin itu sudah ada di depan Kyai. Kyai pun berkata, “Aku kan sudah berpesan agar kau tidak pergi lama-lama! Sudah, sekarang antarkan aku ke Sidogiri lagi!,” kata Kyai pada jin itu. Kemudian Kyai kembali menghentakkan kekinya ke tanah tiga kali seraya berkata, “Mudah-mudahan anak-anakku sampai tujuh turunan tidak kenal dengan jin”. Dari kisah ini tampak betapa buruknya perangai jin, walaupun sudah menyatakan setia tetap masih berkhianat pula.

Dari sekian banyak ilmu yang dikuasai Kyai Aminullah, salah satu di antaranya adalah seni menulis kaligrafi Arab. Kecakapan yang beliau miliki ini dimaksudkan sebagai sarana dalam mengajar santri-santrinya. Dengan keahliannya itu, beliau banyak menulis al-Qur’an dan kitab-kitab kuning, seperti kitab Al-Ajurumiyah, dll. Dikarenakan khawatir dirampas pasukan Belanda, maka manuskrip kitab-kitab itu disimpan di loteng masjid kuno Kanigoro. Tapi sayang, peninggalan berharga itu kini hilang tiada tersisa, karena dibawa satu persatu oleh para pejuang yang berniat menyelamatkannya.

Model khat kaligrafi yang paling beliau sukai adalah khat Riq‘î. Salah satu hasil karyanya yang masih ada hingga kini adalah sebuah prasasti yang beliau ukir di atas papan kayu. Satu-satunya artefak peninggalan Kyai Aminullah itu saat ini terpampang di dalam masjid kuno Kanigoro. Prasasti itu ditulis dengan bahasa Arab. Di dalamnya disebutkan bahwa pemugaran masjid kuno itu dilaksanakan pada hari Ahad waktu Dhuha, Rabiul Akhir tahun 1227 H, oleh Syekh Rofii bin Syekh Ahmad Kanigoro.

3.4 Peninggalan-peninggalan Kyai Aminullah

Masjid Sidogiri
Salah satu peninggalan Kyai Aminullah yang masih bisa disaksikan di Sidogiri adalah Masjid Jamik Sidogiri yang dibangun oleh beliau. Sebagaimana telah diuraikan di muka, sebenarnya masjid yang dibangun Kyai Aminullah tidak begitu luas. Lokasi masjid itu bisa kita saksikan pada bagian dalam dekat mihrab imam. Dengan luas sekitar 66 m2 dan hanya mampu menampung 120 jamaah saja. Selanjutnya Masjid Jamik Sidogiri mengalami beberapa kali pemugaran dan perluasan. Di antaranya adalah pada tahun 1955 (?) ketika KH Cholil Nawawie manjadi pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, dan paruh pertama tahun 2000-an ketika KH. Abdul Alim Abdul Djalil menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Sampai saat ini, dalam kepengasuhan Kyai Nawawi Abd Djalil, kini masjid yang menjadi pusat ubudiah santri itu belasan kali lipat lebih luas dari sebelumnya, terdiri dari tiga tingkat berlantai marmer dan kramik, sehingga mampu menampung lebih dari 4500 jamaah.

Narasumber lain menyebutkan kalau masjid besar yang ada di lokasi pondok itu asalnya dibangun oleh Wedana pembantu Bupati yang membawahi beberapa Camat). Setelah Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942, nama Wedana dihapus dan diganti dengan Camat. Beberapa tahun kemudian, Camat dihapus dan diganti Mantri Polisi, yang akhirnya berubah menjadi Desa. Saat itulah status masjid itu terkatung-katung. Tidak ada pihak yang mau mengurusi. Masyarakat Sidogiri menganggap perlu untuk mengusulkan agar segera membentuk nazhîr (pengelola) masjid. Karena hingga saat itu masjid Sidogiri tidak ada nazhîr-nya. Akhirnya disepakati bahwa masjid itu dinazhîr-i oleh masyarakat sekitar dan kemudian pengelolaan masjid itu dipasrahkan kepada KH Abdul Alim Abdul Djalil, Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri saat itu. Sangat mungkin masjid ini merupakan pengembangan dari masjid yang sudah dirintis dengan susah payah oleh Kyai Aminullah.

Lokasi Pesantren di Utara Sungai

Sayyid Sulaiman membabat tanah Sidogiri di selatan sungai, dan membangun tiga bilik santri di sana. Akan tetapi semuanya ambruk akibat ulah bangsa jin. Kemudian pada masa Kyai Aminullah menjadi pengasuh, lokasi pesantren yang asalnya berada di selatan sungai, dipindah ke utara sungai, karena di selatan sungai dinilai kurang strategis dan terpencil. Lokasi itu juga sangat rawan. Akhirnya lokasi di selatan sungai tersebut difungsikan sebagai area pemakaman Desa Sidogiri, di samping pemakaman Kyai-Kyai yang di utara sungai di sebelah barat masjid.

Ratusan tahun kemudian, pada paruh kedua tahun 90-an, tanah pemakaman di selatan sungai dibeli Pondok Pesantren Sidogiri, dan pemakaman-pemakaman di sana dipindah. Hal ini terpaksa dilakukan karena sempitnya lokasi pesantren di utara sungai, sedangkan santri-santri semakin membludak dan membutuhkan pembangunan gedung-gedung baru yang representatif. Kemudian di lokasi selatan sungai tersebut dibangun berbagai gedung yang dibutuhkan, seperti gedung madrasah baru, dapur umum, balai tamu, unit koperasi pondok pesantren (Kopontren), Kantor Pusat Kopontren, lapangan olahraga, gudang, dll. Sedangkan gedung-gedung madrasah di utara sungai dialih-fungsikan menjadi tempat pemukiman tambahan bagi santri.

Prasasti Masjid Kanigoro
Sayyid Sulaiman mendapatkan titah untuk membabat tiga daerah, yaitu Sidogiri, Kanigoro, dan Keboncandi. Kanigoro adalah sebuah dusun di desa Gambirkuning, kecamatan Kraton, kabupaten Pasuruan. Konon pada masa itu, Kanigoro menjadi pusat penyebaran agama Islam untuk daerah-daerah sekitarnya. Dari sanalah syiar Islam meluas sedikit demi sedikit. Kemudian menyebar lebih luas lagi ke wilayah Malang, seperti daerah Tumpang, Pakis, Kepanjen, dan sekitarnya.

Di Kanigoro itulah dibangun masjid kuno peninggalan Sayyid Sulaiman. Awalnya masjid yang dibangun Sayyid Sulaiman itu berada di sebelah selatan masjid yang ada sekarang. Karena mengalami kerusakan berat akibat diobrak-abrik pasukan Belanda, pada Rabiul Akhir tahun 1227 H, Syekh Rofii, salah satu cicit Sayyid Sulaiman dari jalur Sayyid Hazam, memindah dan memugar masjid ke lokasi yang lebih strategis.

Di Kanigoro itu terdapat salah satu hasil karya Kyai Aminullah yang masih dapat disaksikah hingga kini. Yakni sebuah prasasti yang beliau ukir di atas papan kayu. Satu-satunya artefak peninggalan Kyai Aminullah itu saat ini terpampang di dalam masjid kuno Kanigoro. Prasasti itu ditulis dengan bahasa Arab. Di dalamnya disebutkan bahwa pemugaran masjid kuno itu dilaksanakan pada hari Ahad waktu Dhuha, Rabiul Akhir tahun 1227 H, oleh Syekh Rofii bin Syekh Ahmad Kanigoro. Tertulis dalam prasasti itu bahwa penulisnya adalah Muhammad Amin As-Sidogiri.

Tidak jauh dari masjid Kanigoro, terdapat makam Sayyid Hazam yang ditindihi sebatang pohon Kamboja. Diceritakan bahwa dulu pernah ada orang yang memberanikan diri memotong pohon-pohon kering, termasuk pohon yang tepat berada di atas makam Sayyid Hazam. Tapi tiba-tiba dari potongan pohon itu muncul seekor harimau. Kontan orang itu lari ketakutan, hingga kejadian itu menjadikannya gila. Sejak peristiwa itu, tak ada yang berani memotong kayu di lokasi makam Sayyid Hazam.

Sayyid Hazam adalah putra Sayyid Sulaiman dari pernikahan beliau dengan istri ketiga asal Malang. Sayyid Hazam dikenal sebagai orang yang memiliki kekuatan mistik luar biasa. Beliau adalah ahli riyadhah (tirakat). Beliau setiap pagi pergi ke tepi laut guna menemui Nabi Khidir AS. dan berguru kepadanya. Jika mendapat undangan dari masyarakat sekitar, Sayyid Hazam tak mau berkumpul dengan undangan khusus lainnya. Beliau lebih suka menyendiri. Bila menerima pemberian seseorang yang dianggap terlalu banyak, beliau tidak segan mengembalikannya. Beliau juga sering berdakwah keliling dan membagi-bagikan sedekah pada orang yang membutuhkan. Selain dikenal dermawan, beliau juga dikenal qanâ‘ah. Tidak jauh beda dengan Kyai Aminullah, sosok yang tidak mencintai dunia. Ilmu bagi beliau lebih berharga dari segala-galanya.

Makam yang Sempat Hilang
Zaman berganti dan masa terus berputar, nama Kyai Aminullah pernah tinggal sebutannya saja, sementara makamnya di Sidogiri hilang tidak diketahui. Selain makam Kyai Aminullah, beberapa makam lain juga bernasib sama. Bahkan konon makam di Sidogiri kini sudah tertumpangi oleh makam-makam yang baru sampai empat lapis. Banyak makam yang hilang karena tertumpangi oleh makam baru. Selain karena perputaran zaman, hal itu juga disebabkan pada waktu pemugaran masjid Sidogiri, menara masjid dan yang lain dirobohkan ke arah makam oleh orang Cina pemegang proyek pemugaran saat itu.

Keadaan makam Sidogiri pada saat itu tidak terawat dengan baik, suasananya terasa sangat angker dan menyeramkan. Jarang sekali ada orang yang berani ke sana, lebih-lebih pada malam hari. Hingga pada suatu ketika, kirakira tahun 50 atau 60-an, ada seorang santri bernama Busyro dari Lumajang (kakak KH Kholil Abd Karim, PP az-Zahidin) yang mempunyai rutinitas membaca al-Qur’an di sebuah makam kuno, yang beliau yakini sebagai makam orang mulia. Beliau terus membaca al-Qur’an di sana tanpa mengenal waktu dan cuaca. Bahkan di bawah terik matahari dan guyuran hujan deras pun beliau tetap melakukan rutinitasnya itu dengan menggunakan payung. Jika waktu malam menjelang, beliau membawa lampu teplok sebagai penerang. Setelah menyelesaikan 41 kali khataman, pada suatu malam, beliau melihat sosok lelaki sepuh bersurban kuning yang agak lusuh dengan postur tubuh tidak begitu tinggi. Dengan tenang lelaki itu menyapanya;

“Ulaopo koen ngaji thok onok kene?” (Kenapa kamu sering membaca al-Qur’an di sini?). Busyro balik bertanya, “Peserah panjenengan?” (Siapa Anda?). “Ye engkok riah se ekocak oreng Mbah Amin, Mbah Amin jiah!” (Ya saya ini yang namanya Mbah Aminullah!).

Setelah menyadari bahwa lelaki sepuh di hadapannya adalah Kyai Aminullah yang terkenal sakti, Busyro segera minta wiridan yang sedikit bacaannya tapi berkhasiat untuk segala kebutuhan. Kyai Aminullah pun memberinya wirid dua kalimat dari ayat al-Qur’an. Tapi Busyro tidak menulisnya, malah setelah itu beliau tidur. Setelah terjaga dari tidurnya, beliau pun lupa akan wirid pemberian Kyai Aminullah itu. Kemudian Busyro melaporkan peristiwa itu kepada KH Cholil Nawawie. Tampaknya Kyai Cholil menyesalkan hal itu. beliau mengatakan, “Je’ anuah, deddih kiaeh rajeh be’en!” (Seandainya kamu tidak lupa bacaan itu, kamu pasti jadi Kyai besar!).

Diceritakan juga bila ada burung terbang di atas makam Kyai Aminullah, pasti burung itu akan jatuh atau tersangkut di pohon. Kejadian itu berulang-ulang disaksikan oleh banyak orang, termasuk salah satu Keluarga Pondok Pesantren Sidogiri. Pernah juga ada seorang santri meminta izin kepada KH Abdul Alim Abdul Djalil melalui putra beliau, Mas Muhammad, untuk mengaji Al-Qur’an di makam Kyai Aminullah. Permohonannya pun direstui, namun Kyai Lim berpesan, “Iyo oleh, tapi ojok lungguh lurus endase, weddhi nggak kuat”. Boleh saja membaca Al-Qur’an di Pesarean Kyai Aminullah. Tapi duduknya jangan sejajar dengan letak kepala Kyai Aminullah. Karena dikhawatirkan nanti akalnya tidak kuat, sehingga menyebabkan terjadi perubahan akal (gila).

4.  Referensi

  1. Redaksi Majalah Ijtihad, Jejak Langkah 9 Masayikh Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.
  2. https://sidogiri.net/sejarah/
 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya