Biografi Syaikhah Fathimah Al-Banjari (Ulama Perempuan Banjar Penulis Kitab Parukunan Melayu)

 
Biografi Syaikhah Fathimah Al-Banjari (Ulama Perempuan Banjar Penulis Kitab Parukunan Melayu)

Daftar Isi Biografi Syaikhah Fathimah Al-Banjari (Ulama Perempuan Banjar Penulis Kitab Parukunan Melayu)

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Wafat
2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Guru-guru
3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Karya Beliau
4.    Referensi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
Syaikhah Fatimah Al-Banjari lahir di Martapura. Diperkirakan beliau lahir pada tahun 1775, kedua orang tua beliau adalah Syaikh Abdul Wahab Bugis, seorang Ulama besar dan terhormat di Kalimantan dan ibunda beliau bernama Syarifah, putri dari Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari.

Salah satu hal unik yang terjadi sebelum kelahiran ulama perempuan bernama Syaikhah Fathimah Al-Banjari ini adalah tentang pernikahan kedua orang tuanya. Saat Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari mendapat kabar bahwa putrinya telah dewasa, beliau menikahkan secara mujbir dengan Syaikh Abdul Wahab Bugis, teman belajarnya di Haramain. Namun, ketika sampai di Banjarmasin, ternyata Syarifah sudah dinikahkan oleh sultan sebagai wali hakim dengan seorang bernama Utsman, dan telah melahirkan seorang anak bernama Muhammad As’ad.

Menurut hukum islam yang berlaku, kedua bentuk pernikahan itu sah pada tempatnya masing-masing. Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari kemudian menyelesaikan dengan cara yang cukup menarik, yaitu dengan melakukan pemeriksaan waktu terjadi perkawinan dengan keahliannya di bidang ilmu falak, mengingat perbedaan waktu di Makkah dan Martapura. Hasil pemeriksaannya menunjukan bahwa, pernikahan di Makkah terjadi beberapa saat sebelum pernikahan di Martapura. Karena itu, ikatan pernikahan Syarifah dengan Utsman dibatalkan (di-fasakh) dan ditetapkan sahnya pernikahan Syarifah dengan Syaikh Abdul Wahab Bugis.

1.2  Wafat
Tidak ada keterangan jelas tentang wafat beliau. Namun, ada yang mengatakan bahwa beliau wafat kira-kira pada usia 53 tahun pada tahun 1828 M, dan dimakamkan di kompleks pemakaman Desa Karangtengah.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
Sebagai seorang ulama perempuan, Syaikhah Fathimah Al-Banjari banyak mewarisi ilmu-ilmu keislaman dari ayah dan ibunya yang merupakan ulama besar dan ternama. Selain itu, kealimannya juga tidak lepas dari peran sang kakek, Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang mendidiknya secara langsung. Bahkan, Fathimah adalah cucu sekaligus murid sang kakek yang paling cerdas. Bersama sang ibu dan saudara seibu yang bernama Muhammad As’ad bin Utsman, Fathimah dididik langsung oleh Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Dari kakeknya inilah, beliau belajar bahasa Arab, ilmu tafsir, Ushuluddin, dan fiqh.

2.1 Guru-guru Syaikhah Fathimah al-Banjari

  1. Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (Kakek)
  2. Syaikh Abdul Wahab Bugis (Ayah)
  3. Syarifah binti Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (Ibu)

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
Setelah menguasai berbagai cabang disiplin ilmu, Syaikhah Fathimah Al-Banjari beserta ibunya (Syarifah) diberi izin untuk mengajar bagi kaum perempuan. Oleh sebab itulah, namanya juga dikenal sebagai tokoh perempuan yang dapat dikatakan sebagai pembuka akses pendidikan bagi kaum perempuan Banjarmasin. Kealiman Syaikhah Fathimah al-Banjari tidak lepas dari peran sang kakek yang dalam mendidik tidak pernah membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan. Mereka mendapatkan hak yang sama untuk berpartisipasi aktif dalam dunia pendidikan. Mereka secara khusus diberi pelajaran mengaji Al-Qur’an, baca tulis Arab-Melayu, pelajaran agama, serta bahasa Arab, terutama nahwu dan sharraf untuk dapat membaca dan memahami kitab-kitab berbahasa Arab.

Syaikhah Fathimah Al-Banjari adalah sosok perempuan yang mampu menguasai dengan sangat baik berbagai cabang disiplin ilmu agama. Bahkan, beliau menjadi tonggak kemunculan para ulama di Kalimantan. Beliau adalah perintis emansipasi perempuan di bidang pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Walaupun tidak sepopuler kakek dan ayahnya, namun Syaikhah Fathimah Al-Banjari mempunyai banyak jasa dalam proses mencerdaskan kaum perempuan Banjarmasin dan menjadi pelopor pengajaran bagi kaum perempuan. Salah satu keterlibatannya dalam tradisi keilmuan dan pendidikan Islam adalah melalui karyanya, yaitu kitab Parukunan Melayu.

3.1  Karya Beliau
Kitab Parukunan Melayu sendiri merupakan kitab yang sederhana, dan berisi tentang uraian dasar tentang rukun iman dan rukun Islam. Menurut Martin van Bruinessen, kitab tersebut merupakan salah satu yang paling populer di antara kitab-kitab sejenis. Ditulis dalam bahasa Melayu dan dipelajari hampir diseluruh Indonesia, kitab tersebut merupakan catatan-catatan pelajaran yang diterima oleh Syaikhah Fathimah Al-Banjari dari Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari.

Catatan-catatan tersebut kemudian disalin secara turun temurun, dan belakangan dicetak dengan judul Parukunan. Pendapat lain mengatakan bahwa kitab Parukunan adalah kitab karya Syaikhah Fathimah Al-Banjari pribadi, tanpa menyebutkan sebagai hasil dikte dari Syaikhah Fathimah Al-Banjari. Dalam artian, kitab tersebut merupakan karya asli Syaikhah Fathimah Al-Banjari, bukan merupakan catatan-catatan selama belajar dengan sang kakek.

Namun, yang terjadi, kitab Parukunan Melayu ini justru tertulis sebagai karya Mufti Jamaluddim Al-Banjari dan disebut sebagai kitab yang sangat berpengaruh dalam literatur Melayu. Dalam berbagai versi, karya ini ditulis dengan berbagai judul: Parukunan, Parukunan Besar, dan Parukunan Melayu. Karya ini diterbitkan oleh Mathba’ah Al-Miriyah Al-Kainah, Makkah, pada tahun 1314H/1897 M. Dalam berbagai versi, ada yang menyebutkan bahwa karya ini sesungguhnya milik saudara perempuannya yang bernama Syarifah binti Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari

Martin van Bruinessen berpendapat di antara kitab kuning yang banyak dibaca di Indonesia, terdapat satu yang dikarang oleh seorang ulama perempuan dari Melayu. Namun, tidak banyak pembaca menyadari hal ini, sebab kitab tersebut belakangan diatasnamakan seorang laki-laki, yakni paman Syaikhah Fathimah Al-Banjari, Mufti Jamaluddin Al-Banjari. Sebab, di halaman pertama kitab, tertulis bahwa kitab ini adalah “karangan Al-‘alim Al-‘Allamah Mufti Jamaluddin bin Al-Marhum Al=’Alim Al-Fadhil Asy-Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari.” Mufti Jamaluddin Al-Banjari, memang terkenal sebagai ulama laki-laki yang berpengaruh dan paling terkemuka di Kalimantan Selatan pada zamannya. Tetapi, tradisi setempat mengingatkan bahwa bukan beliau yang mengarang kitab Parukunan, melainkan keponakan perempuannya, yaitu Syaikhah Fathimah Al-Banjari.

Kitab Parukunan sendiri pada dasarnya diperuntukkan bagi orang yang baru belajar agama dan menjadi semacam kitab pelajaran praktis. Hal demikian berbeda dengan kitab Sabil Al-Muhtadin karya Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang pada dasarnya ditujukan kepada kaum terpelajar sehingga materi pembahasaan di dalamnya disertai dengan dalil-dalil yang terperinci dan pendapat para ulama. Adapun kitab Parukunan hanya memuat pengetahuan dasar akidah dan syariah, dan hanya sedikit menyediakan ruang diskusi menyangkut teori-teori yang mendukung praktik-praktik itu.

Kitab Parukunan menjadi buku pegangan dalam pembelajaran ilmu fiqh dan tauhid di lembaga-lembaga pendidikan tradisional, masjid-masjid, dan mushola-mushola, yang tentu saja tidak hanya dipelajari oleh kaum perempuan, tetapi juga kaum laki-laki. Lebih lanjut, kitab tersebut sudah sejak lama ada dihampir setiap rumah tangga di Kalimantan Selatan, dan terus dipergunakan di kampung-kampung, terutama di perkampungan kaum tradisional yang belum terpengaruh oleh paham pembaruan Muhammadiyah.

Dalam komunitas santri Melayu-Banjar, kitab Parukunan termasuk Parukunan Melayu masih terus digunakan di kampung-kampung hingga sekarang. Bahkan, beberapa komunitas santri melayu di kawasan Asia Tenggara, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Pattani (Thailand). Mindanao (Filipina), Vietnam, Kamboja, dan Burma (Laos) juga menggunakan kitab Parukunan sebagai rujukan dalam pelajaran agama. Kitab Parukunan juga menjadi salat satu nomenklatur terbesar yang pernah dihasilkan oleh ulama Melayu-Banjar, selain kitab Sabil Al-Muhtadin karya Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Durr an-Nafis karya Syaikh Muhammad Nafis Al-Banjari.

Pertanyaannya adalah jika kitab Parukunan benar ditulis oleh seorang perempuan yang bernama Syaikhah Fathimah Al-Banjari, lalu kenapa kitab ini diatasnamakan kepada Mufti Jamaluddin Al-Banjari, kultur patriarki begitu mengakar sehingga perempuan tidak berhak untuk menulis tentang persoalan agama? Padahal, sebagaimana disebut sebelumnya, Syaikhah Fathimah Al-Banjari adalah sosok ulama perempuan yang mempunyai andil besar dalam melopori pendidikan bagi kaum perempuan. Bahkan, kakeknya sendiri tidak membeda-bedakan berdasarkan gender dalam memberikan pendidikan. Untuk melihat ini, terdapat beberapa pendapat :

Pendapat pertama, dikemukakan oleh Martin van Bruinessen. Beliau mengatakan bahwasannya kitab Parukunan Melayu memanglah disusun oleh Syaikhah Fathimah Al-Banjari. Pendapat ini memiliki dasar argumentasi yang kuat karena jauh sebelumnya, Syaikh Abdurrahman Shiddiq Al-Banjari (1857-1939 M), beliau ulama besar keturunan Syaikh Muhammad Al-Banjari dan mufti di Kerajaan Indragiri Sapat, telah memberikan informasi yang menyakinkan bahwa kitab Perukunan Melayu merupakan karya Fathimah binti Abdul Wahab Bugis. Namun, dalam penerbitannya, kitab ini diatasnamakan sebagai karya Mufti Jamaluddin Al-Banjari.

Pendapat kedua, menurut Muhammad Shaghir Abdullah yang berdeba pandangan dengan Martin van Bruinessen. Menurutnya, karya tersebut memang benar-benar milik Mufti Jamaluddin Al-Banjari. Dalam tulisannya, Muhammad Shaghir Abdullah juga mengakui bahwa siapa pemilik sesungguhnya karya tersebut memang masih dalam perdebatan.

Pendapat ketiga, Ahmad Juhaidi, sebagaimana dikutip oleh Saifuddin, memberikan penjelasan mengapa karya itu diatasnamakan Mufti Jamaluddin Al-Banjari. Setidaknya, ada dua kemingkinan hal itu terjadi. Kemungkinan pertama, pihak kerajaan hanya mengakui otoritas ilmu agama dimiliki oleh mufti kerajaan yang dijabat Mufti Jamaluddin Al-Banjari. Fatwa yang dikeluarkan oleh mufti kerajaan tidak diakui dalam struktur Kerajaan Banjar.

Boleh jadi, jika kitab itu diklaim sebagai karya Syaikhah Fathimah Al-Banjari, yang bukan mufti kerajaan, beragam hukum fiqh didalamnya tidak diakui kebenarannya. Kemingkinan kedua, Syaikhah Fathimah Al-Banjari melihat kepentingan yang lebih besar dengan tidak ditulis namanya sebagai pengarang kitab tersebut. Sehingga, dengan mencantumkan nama Mufti Jamaluddin Al-Banjari , kitab tersebut akan cepat diakui oleh kerajaan dan masyarakat luas. Syaikhah Fathimah Al-Banjari, sebagai keponakan, barangkali merasa berkewajiban menghormati pamannya yang notabene pemegang otoritas Islam tertinggi di Kerajaan Banjar waktu itu.

4.    Referensi

  1. Nur Hasan, Khazanah Ulama Perempuan Nusantara, editor, Muhammad Ali Fakih. IRCiSoD, Yogyakarta 2023
 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya