Biografi Rabi’ah Al-Adawiyah, Ulama Sufi Perempuan yang Tidak Tertarik pada Duniawi

 
Biografi Rabi’ah Al-Adawiyah, Ulama Sufi Perempuan yang Tidak Tertarik pada Duniawi

Daftar Isi Biografi Rabi’ah Al-Adawiyah

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Wafat
2.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
2.1  Menjadi Hamba Sahaya
2.2  Kehidupan Sebagai Sufi dan Pilihan Untuk Tidak Menikah
2.3  Ajaran Beliau
2.4  Pengaruh Terhadap Perkembangan Sufisme
3.    Syair-Syair Beliau
4.    Referensi

1. Riwayat Hidup dan Keluarga
Rabi'ah Al-Adawiyah  dikenal juga dengan nama Rabi'ah Basri adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena kesucian dan kecintaan beliau terhadap Allah SWT. Beliau dikenal sebagai seorang sufi wanita yang zuhud, yaitu tidak tertarik kepada kehidupan duniawi, sehingga beliau mengabdikan hidup beliau hanya untuk beribadah kepada Allah SWT.

1.1 Lahir
Rabi'ah dilahirkan di kota Basrah, Irak, sekitar abad ke delapan tahun 713-717 Masehi. Beliau dilahirkan dari keluarga yang sangat miskin dan merupakan anak keempat dari empat bersaudara, sehingga beliau dinamakan Rabiah yang berarti anak keempat.

Ayah beliau bernama Ismail, ketika malam menjelang kelahiran Rabi'ah, keadaan ekonomi keluarga Ismail sangatlah buruk sehingga beliau tidak memiliki uang dan penerangan untuk menemani istri beliau yang akan melahirkan.

Beberapa hari setelah kelahiran Rabi'ah, Ismail bermimpi bertemu dengan nabi Muhammad SAW, dalam mimpinya beliau berkata pada Ismail agar jangan bersedih karena anak beliau, Rabi'ah, akan menjadi seorang wanita yang mulia, sehingga banyak orang akan mengharapkan Ilmu beliau.

1.2 Wafat
Sekembalinya Rabi'ah dari Makkah setelah melaksanakan ibadah haji,  kesehatan Rabi'ah mulai menurun. Beliau tinggal bersama sahabat beliau yakni, Abdah binti Abi Shawwal, yang telah menemani beliau dengan baik hingga akhir hidup beliau.

Rabi'ah tak pernah mau menyusahkan orang lain, sehingga beliau meminta kepada Abdah untuk mengkafani jenazah Rabi’ah nanti dengan kain kafan yang telah Rabi’ah sediakan sejak lama. Menjelang wafatnya Rabi’ah, banyak orang-orang saleh ingin mendampingi beliau, namun Rabi'ah menolak. Rabiah diperkirakan meninggal dalam usia 83 tahun pada tahun 801 Masehi / 185 Hijriah dan dimakamkan di Basrah, Irak.

2. Perjalanan Hidup dan Dakwah
Sejak kecil Rabi'ah sudah dikenal sebagai anak yang cerdas dan taat beragama. Beberapa tahun kemudian, ayah beliau, Ismail, meninggal dunia kemudian disusul oleh ibu beliau, sehingga Rabi'ah dan ketiga saudara perempuan beliau menjadi anak yatim piatu.

Ayah dan Ibu beliau hanya meninggalkan harta berupa sebuah perahu yang kemudian digunakan Rabi'ah untuk mencari nafkah. Rabi'ah bekerja sebagai penarik perahu yang menyebrangkan orang dari tepi Sungai Dajlah ke tepi sungai yang lain. Sementara ketiga saudara perempuan beliau bekerja dirumah menenun kain atau memintal benang.

2.1 Menjadi Hamba Sahaya
Ketika kota Basrah dilanda berbagai bencana alam dan kekeringan akibat kemarau panjang, Rabi'ah dan ketiga saudara perempuan beliau memutuskan untuk berkelana ke berbagai daerah untuk bertahan hidup. Dalam pengembaraan beliau, Rabi'ah terpisah dengan ketiga saudara perempuan beliau sehingga Rabi’ah hidup seorang diri.

Pada saat itulah Rabi'ah diculik oleh sekelompok penyamun kemudian dijual sebagai hamba sahaya seharga enam dirham kepada seorang pedagang. Pedagang yang membeli Rabi'ah sebagai hamba sahaya memperlakukan Rabi’ah dengan kejam, sehingga Rabi'ah harus selalu bekerja keras sepanjang hari.

Dalam suatu malam, Rabi'ah bermunajat kepada Allah SWT jika beliau dapat bebas dari perbudakan maka beliau tak akan berhenti sedikit pun beribadah. Ketika Rabi'ah sedang berdoa dan melakukan shalat malam, pedagang yang menjadi majikan Rabi’ah itu dikejutkan oleh sebuah lentera yang bergantung di atas kepala Rabi'ah tanpa ada sehelai tali pun cahaya bagaikan lentera yang menyinari seluruh rumah itu merupakan cahaya sakinah (diambil dari bahasa Ibrani yaitu "Shekina" yang berarti cahaya rahmat Tuhan) dari seorang muslimah suci.

Melihat peristiwa tidak biasa yang terjadi pada Rabi'ah, pedagang itu menjadi ketakutan dan keesokan harinya membebaskan Rabi'ah. Sebelum Rabi'ah pergi, Pedagang itu menawarkan Rabi'ah untuk tinggal di Basrah dan si pedagang akan menanggung segala keperluan dan kebutuhan Rabi'ah, namun karena kezuhudan beliau, Rabi'ah menolak dan sesuai janji Rabi’ah jika bebas, maka Rabi'ah akan mengabdikan hidup beliau hanya untuk beribadah.

2.2 Kehidupan sebagai sufi dan pilihan untuk tidak menikah
Setelah bebas sebagai hamba sahaya, Rabi'ah pergi mengembara di padang pasir. Setelah beberapa saat tinggal di padang pasir, beliau menemukan tempat tinggal. Di tempat itulah beliau menghabiskan seluruh waktu beliau beribadah kepada Allah SWT. Rabiah juga memiliki majelis yang dikunjungi banyak murid.

Majelis beliau itu juga sering dikunjungi oleh zahid-zahid lain untuk bertukar pikiran. Di antara mereka yang pernah mengunjungi majelis Rabi'ah adalah, Malik bin Dinar (wafat 748/130 H), Sufyan As-Sauri (wafat 778 / 161H), dan Syaqiq Al-Balkhi (wafat 810/194H). Rabi'ah hanya tidur sedikit disiang hari dan menghabiskan sepanjang malam untuk bermunajat sehingga beliau dikenal sebagai pujangga dengan syair-syair cinta beliau yang indah kepada Allah SWT.

Rabi'ah telah terkenal karena kecerdasan dan ketaatan beliau ke pelosok negeri sehingga beliau menerima banyak lamaran untuk menikah. Di antara mereka yang melamar Rabi’ah adalah Abdul Wahid bin Zaid, seorang teolog dan ulama, Muhammad bin Sulaiman Al-Hasyimi, seorang amir dari dinasti Abbasiyah yang sangat kaya, juga seorang Gubernur yang meminta rakyat Basrah untuk mencarikannya seorang istri dan penduduk Basrah bersepakat bahwa Rabi'ah adalah orang yang tepat untuk gubernur tersebut.

Riwayat lain juga menyebutkan bahwa Hasan Al-Bashri, seorang sufi besar dan sahabat Rabi'ah, juga meminang Rabi’ah, namun hal itu masih diragukan kebenarannya mengingat Hasan al-Bashri wafat 70 tahun sebelum wafatnya Rabi'ah. Rabi'ah menolak seluruh lamaran itu dan memilih untuk tidak menikah. Meskipun tidak menikah, Rabi'ah sadar bahwa pernikahan termasuk Sunnah Agama, sebab, tidak ada kependetaan (Rahbaniyah) dalam syariat islam.

Rabi'ah memilih untuk tidak menikah karena beliau takut tidak bisa bertindak adil terhadap suami dan anak-anak beliau kelak karena hati dan perhatian Rabi’ah sudah tercurahkan kepada Allah. Tidak ada satupun di dunia ini yang dicintai Rabi'ah kecuali Allah. Sehingga atas dasar itulah, Rabi'ah memuntuskan untuk tidak menikah hingga akhir hidup beliau.

2.3 Ajaran Beliau
Ketika menjadi hamba sahaya, Rabi'ah mengembangkan aliran sufi yang berlandaskan seluruh amal ibadah Rabi’ah atas dasar cinta kepada Ilahi tanpa pamrih atas pahala, surga atau penyelamatan dari azab neraka. Rabi'ah terkenal dengan metode cinta kepada Allah (Al-mahabbah, artinya cinta tanpa pamrih) dan uns (kedekatan dengan Tuhan).

Perkataan mistik Rabi'ah menggambarkan kesalehan diri Rabi’ah, dan banyak di antara mereka yang menjadi kiasan atau kata-kata hikmah yang tersebar luas di wilyah-wilayah negara Islam. Rabi'ah Al-Adawiyah terkenal zahid (tak tertarik pada harta dan kesenangan duniawi) dan tak pernah mau meminta pertolongan pada ornag lain. Ketika beliau ditanya orang mengapa beliau bersikap demikian, Rabi'ah menjawab:

“Saya malu meminta sesuatu pada Allah SWT yang memilikinya, apalagi pada orang-orang yang bukan menjadi pemilik sesuatu itu. Sesungguhnya Allah lah yang memberi rezeki kepadaku dan kepada mereka yang kaya. Apakah Dia yang memeberi rezeki kepada orang yang kaya, tidak memberi rezeki kepada orang-orang miskin? Sekiranya Allah SWT menghendaki begitu, maka kita harus menyadari posisi kita sebagai hamba-Nya dan haruslah kita menerimanya dengan hati ridho (senang)“.

Berbeda dari para zahid atau sufi yang mendahului dan sezaman dengan Rabi’ah, Rabi'ah dalam menjalankan tasawuf itu bukanlah karena dikuasai oleh perasaan takut kepada Allah SWT atau takut kepada nerakanya. Hati Rabi’ah penuh oleh perasaan cinta kepada Allah SWT sebagai kekasihnya.

Para ulama tasawuf memandang Rabi'ah sebagai tonggak penting perkembangan tasawuf dari fase dominasi emosi takut kepada Allah menuju fase dominasi atau mengembangkan emosi cinta yang maksimal kepada Allah SWT. Tingkat kehidupan zuhud yang tadinya direntangkan oleh Hasan Al-Bashri sebagai ketakutan dan pengharapan kepada Allah, telah dinaikkan maknanya oleh Rabi'ah sebagai zuhud karena cinta kepada Allah. Rabi'ah telah membuka jalan ma'rifat Illahi sehingga beliau menjadi teladan bagi para cendikiawan muslim, seperti Sufyan Ath-Thawri, Rabah bin Amr Al-Qaysi, dan Malik bin Dinar.

2.4 Pengaruh Terhadap Perkembangan Sufisme
Ajaran-ajaran Rabi'ah tentang tasawuf dan partisipasi beliau terhadap perkembangan sufisme dapat dikatakan sangat besar. Sebagai seorang guru dan penuntun kehidupan sufistik, Rabi'ah banyak dijadikan panutan oleh para sufi dan secara praktis penulis-penulis besar sufi selalu membicarakan ajaran Rabi’ah dan mengutip syair-syair beliau sebagai seorang ahli tertinggi. Di antara mereka adalah Abu Thalib Al-Makki, As-Suhrawandi, dan teolog muslim, Al-Ghazali yang mengacu pada ajaran-ajaran Rabi'ah sebagai doktrin-doktrin dalam sufisme.

3. Syair-Syair Beliau
Cinta murni kepada Tuhan adalah puncak Tasawuf Rabi’ah. Syair-syair kecintaan Rabi’ah kepada Allah SWT kemudian banyak keluar dari ucapan sufi-sufi besar seperti Fariduddin Al-Athar, Ibnu Fardih, Al-Hallaj, Ibnu Arabi, Jalaludin Rumi telah dimulai lebih dahulu oleh Rabi’ah. Setengah dari syair beliau adalah:

 

“Aku cinta padamu dua macam cinta
Cinta rindu dan cinta karena engkau berhak menerima cintaku

Adapun cinta, karena Engkau
Hanya Engkau yang aku kenang
Tiada yang lain
Adapun cinta karena Engkau berhak menerimanya
Agar Engkau buka kan aku hijab
Supaya aku dapat melihat Engkau
Pujian atas kedua perkara itu bukanlah bagiku
Pujian atas kedua perkara itu adalah bagi Mu sendiri”

 

Al-Ghazali memberikan pendapat beliau tentang Syair Rabi’ah itu. Menurut Al-Ghazali, yang dimaksud dengan cinta kerinduan adalah cinta akan Allah karena nikmat-Nya diatas dirinya karena Allah telah menganugerahi hidup sehingga beliau dapat menyebut nama-Nya. Dan cinta kedua, yaitu cinta karena Allah berhak menerimanya, ialah cinta karena menyaksikan keindahan Allah dan kebesarannya yang kian hari kian terbuka baginya. Maka itulah cinta yang setingi-tingginya. Dalam syair yang lain, Rabi’ah berkata:

 

“Ku jadikan Engkau teman bercakap dalam hidupku
Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk
isimku biar bercengkrama dengan tolanku
Isi hatiku hanyalah teteap engkau sendiri”

 

Tujuan Rabi’ah yaitu kepada Allah karena Allah, bukan kepada Allah karena mengharap. Sehingga beliau menuliskan lagi syair seperti ini:

“ Ya Illahi! Jika sekiranya aku beribadah kepada Engkau karena takut akan siksa neraka, maka bakarlah aku dengan neraka-Mu.
Dan jika aku beribadah kepada Engkau karena harap akan masuk surga, maka haramkanlah aku daripadanya!
Tetapi jika aku beribadah kepada Engkau hanya karena semata-mata karena kecintaanku kepada-Mu,
maka janganlah, Ya Illahi, Engkau haramkan aku melihat keindahanmu yang azali”.

4. Referensi

  1.  (Indonesia) Shadily, Hasan. "Ensiklopedia Indonesia". Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
  2.  (Indonesia) Glasse, Cyril (1989). "Ensiklopedia Islam". Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  3.  (Indonesia) Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah (1992). "Ensiklopedia Islam Indonesia". Jakarta: Djambatan IKAPI.
  4.  (Indonesia) Abu Abdurrahman as-Sulami (2004). "Sufi-Sufi Wanita". Bandung: Pustaka Hidayah.
  5.  (Inggris) Margaret Smith (1928). "Rabia The Mystic & Her Fellow Saints in Islam". London: Cambridge University Press.
  6.  (Indonesia) Muhammad Atiyah Khamis (1994). "Penyair Wanita Sufi: Rabiah Al-Adawiyah". Jakarta: Pustaka Firdaus.
  7.  (Indonesia) Hamka, Buya (1953). "Perkembangan Tasawuf dari abad ke abad". 2. Jakarta: Penerbit Pustaka Islam: 69.
  8.  (Inggris) Poem Hunter. "Biography of Rabia al Basri". Diakses tanggal 26 Juni 2014.

 

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya