Sifat Kemanusiaan Nabi Muhammad SAW sebagai Penegasan Mukjizatnya

 
Sifat Kemanusiaan Nabi Muhammad SAW sebagai Penegasan Mukjizatnya
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Ada hal yang menarik dalam sebuah pengantar penerjemahan Buku Sirah Nabawiyah karya Shafiyur Rahman Al-Mubarakfury. Dalam pengantar tersebut dikatakan bahwa semenjak dimulainya zaman pertengahan atau juga sebelum itu, telah banyak lahir karya-karya yang ditulis untuk menampilkan sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW dari A hingga Z.

Seluruh aspek tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW telah diadakan kajian panjang atau tidak luput juga buku-buku tentang Islam sendiri yang membicarakannya, hal tersebut lantaran Nabi Muhammad sebagai Nabi Islam dan pemimpin kaum muslim di dunia. Tidak lepas juga mulai dari yang memuji hingga mencelanya, atau juga kedua-duanya yang memuji sekaligus mengkritiknya. Hal ini terjadi karena digunakannya interpretasi-interpretasi subjektif, pemikiran, dan jiwa mereka tidak tersentuh oleh iman dan akidah, yang mestinya menjadi dasar awal pemikiran seseorang terhadap Islam dan nabinya.

Kemudian lahir pertanyaan, apa tujuan dari kritik-kritik yang kemudian tendensius menjatuhkan dan menodai martabat nabi yang ditulis oleh orang-orang itu, bahkan ada dari kalangan seorang muslim sekalipun. Tentu saja, dengan segala kehebatannya, Islam yang oleh sebagian kalangan dianggap “anak kecil” yang baru tumbuh, kemudian mampu menggoncang dunia melahirkan sebuah fakta yang membuat ketidaknyamanan bagi sekelompok agama lain. Bagaimana tidak, agama yang lahir paling belakang ini memiliki jargon dan kampanye untuk meluruskan agama-agama yang terdahulu yang diduga telah banyak terjebak dalam kesesatan dan kehinaan. Oleh sebab itu, Islam lahir untuk hal itu, meluruskan kembali yang bengkok, atau menyambung kembali pemahaman yang putus dan menyimpang.

Latar belakang tersebut kemudian melahirkan perlawanan dari berbagai kelompok untuk menyerang Islam terutama kepribadian Nabi Muhammad SAW dengan mengobrak-abrik sejarah dengan data-data buatan sendiri yang tendensius menghancurkan kepribadian nabi.

Berangkat dari fenomena tadi, maka penting menuliskan kembali jejak langkah nabi yang telah direkam oleh Hadis-hadis yang dicatat oleh para sahabat, atau manuskrip-manuskrip lain yang ditulis ketika nabi masih hidup. Di luar fenomena tersebut, menurut M. Rasyid Ridha juga tidak semua umat Islam tidak kenal betul kepribadian dan teladan yang telah diajarkan oleh nabi, baik hal tersebut menyangkut silsilahnya dan interaksi dengan lingkungan masyarakatnya.

Aksin Wijaya dalam bukunya Sejarah Kenabian: Perspektif Tafsil Nuzuli Darwazah memaparkan, bahwa dalam kondisi masyarakat Arab waktu itu hal yang menjadi ukuran seorang nabi harus melampaui batas-batas manusia biasa. Sebagai seorang nabi, Muhammad dituntut untuk memiliki potensi awal yang dapat menunjukkan berbeda dengan masyarakat pada umumnya, termasuk dengan para nabi yang hidup sebelumnya. Harapan-harapan “khayali” inilah yang kemudian memunculkan keraguan hingga penolakan terhadap kehadirannya, sebab mereka melihat Muhammad sebagai manusia biasa seperti masyarakatnya.

Meskipun demikian, terdapat banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa nabi sebelumnya memang lumrahnya manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan, seperti Nuh, Hud, Musa dan Harun, tidak terkecuali Nabi Muhammad sendiri. Lebih spesifik kesamaan ini meliputi yang biasa dilakukan manusia biasanya, yaitu makan, minum, menikah dan lain sebagainya. Bahkan Al-Qur’an secara terang-terangan memang termasuk manusia biasa yang terkadang melakukan “kesalahan” yang bersifat manusiawi. Seperti ditegurnya Nabi Muhammad oleh Allah ketika memalingkan diri dengan muka masam dari seseorang yang bernama Ibnu Ummi Maktum yang kemudian turunlah Surat ‘Abasa, sebagai teguran terhadap “kesalahan” dan “ketidak-acuhan” Nabi Muhammad kepada Ibnu Ummi Maktum.

Menurut Izzat Darwazah sebagaimana yang dikutip Aksin Wijaya, penegasan yang yang disampaikan Al-Qur’an bertujuan untuk membantah dan menolak tuntutan berlebihan yang ditawarkan oleh masyarakat Arab untuk menerima kenabian Muhammad yang bagi mereka harus melampaui batas-batas kebiasaan pada umumnya, misalnya Nabi Ibrahim yang tidak mempan api, Nabi Musa dengan tongkatnya dapat membelah lautan, dan Nabi Isa yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati. Hal ini berbeda dengan Nabi Muhammad yang tidak memiliki mukjizat yang tidak sama dengan mereka.

Ada yang menarik dari pandangan Gus Baha’ terkait dengan Nabi Muhammad yang tidak memiliki mukjizat yang menyalahi aturan seperti Isa yang bahkan tidak menikah. Ia menghabiskan umurnya dengan ibadah dan tirakat. Berbeda dengan Nabi Muhammad yang menikah layaknya umumnya masyarakat. Gus Baha’ menganggap ini sebagai karunia Allah yang dikhususkan kepada Nabi Muhammad dengan menampakkan sisi kemanusiaanya. Oleh sebab itu, Nabi Muhammad lebih aman dengan Al-Qur’an yang diembannya, termasuk terbebas dari dituhankan masyarakatnya. Tidak seperti Nabi Isa, sebab dengan celah ia tidak menikah, dan hal itu justru membahayakan dirinya yang berpotensi dibandingkan dengan serupanya dengan sifat Tuhan.

Maka dengan menunjukkan superioritas mukjizat di luar nalar dan menyalahi aturan yang Allah anugerahkan, di sisi lain terdapat nilai positif juga tidak terkecuali mengandung nilai negatifnya. Para nabi yang dianugerahi mukjizat yang demikian dan kemudian ditampilkan di hadapan para kaumnya, malah dikhawatirkan akan memunculkan keyakinan bahwa mukjizat itu lahir dari dirinya, bukan Tuhannya. Oleh sebab itu, mukjizat yang seperti ini sangat membahayakan nabi dan Tuhannya. Juga, mukjizat yang berbentuk demikian tidak akan mampu bertahan lama, akan tetapi mukjizat itu akan hilang ketika nabi yang memilikinya tiada. Jadi, mukjizat ini umurnya tidak lama, seperti usia nabinya.

Berbeda dengan Nabi Muhammad SAW, mukjizat terbesarnya adalah Al-Qur’an. Kitab ini tidak hanya berbicara masa lalu, juga menyinggung problem masa yang akan datang, dengan solusinya. Al-Qur’an berbicara persoalan buruk namun menawarkan obat atau cara mengatasinya. Hal tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab yang dibawa para nabi terdahulunya. Semua agama mengatakan keburukan seperti pencurian, perzinaan, pembunuhan dan lain sebagainya adalah perbuatan keji dan dosa yang harus ditinggalkan. Namun, sekalipun semua agama mengatakan hal semacam itu, tapi tidak satu pun yang menawarkan solusinya seperti ajaran yang terdapat dalam Islam. Sehingga para penganut agama terdahulu tidak memiliki jalan keluar untuk menghindarinya, bahkan kejahatan tersebut terus terjadi secara berulang-ulang.

Ajaran Islam tidak demikian, Islam mengutuk kejahatan tetapi juga menawarkan bagaimana cara mengatasinya dan cara menghilangkannya. Misal dalam pencurian, Islam menghendaki potong tangan -dengan catatan telah melampaui batas- bagi siapa pun yang melakukannya. Orang-orang modern menganggap potong tangan sebagai tindakan tidak manusiawi yang malah condong merusak tatanan kehidupan. Akan tetapi, tuduhan itu tidak benar. Hal ini dapat dibuktikan dengan salah satu negara Islam yang memberlakukannya, bahwa pencuri yang melebihi batas harus dipotong tangannya. Namun kenyataannya, hal tersebut tidak pernah terjadi, justru aturan tersebut meminimalisir hingga meniadakan orang berani mencuri. Jadi Islam sebenarnya tidak sadis, Islam hanya memberikan tekanan psikologis yang benar-benar ingin kehidupan ini penuh dengan kenyamanan dan kedamaian.

Selain pencurian, seperti perzinaan dan pembunuhan juga mendapat kecaman hukum yang berat. Namun dengan hukuman yang sekalipun terlihat sadis tersebut, Islam telah menemukan cara yang paling baik, di banding agama yan lain dalam membentuk kedamaian dalam kehidupan ini. Di negara-negara yang mengaplikasikan syariat Islam ini, benar-benar dapat menurunkan angka kejahatan. Berbeda dengan negara-negara yang masih agak tidak berani dan malah tendensi memberikan toleransi terhadap pelaku kejahatan, sehingga kejahatan dapat merajalela dan membut pelakunya dapat melakukan kembali.

Kembali pada pembahasan di atas, bahwa mukjizat Al-Qur’an yang diembankan kepada Nabi Muhammad SAW adalah mukjizat yang luar biasa, melampaui zamannya. Mukjizat tersebut kemudian mampu menjaga diri Nabi Muhammad SAW dari “pengkultusan” atau “penuhanan” seperti yang pernah terjadi pada penganut “Nabi Isa”. Selain itu, yang paling menarik dan paling utama adalah bahwa mukjizat Al-Qur’an akan abadi, tidak seperti mukjizat yang hilang setelah nabinya tiada. Allahu A’lam. []


Sumber: Tulisan ini merupakan catatan yang diolah dan dikembangkan dari pengajian KH. Bahauddin Nursalim. Tim redaksi bertanggungjawab sepenuhnya atas uraian dan narasi di dalam tulisan ini.

___________

Penulis: Kholaf Al-Muntadar

Editor: Hakim