Benarkah Maksiat Terjadi Bukan atas Kehendak Allah?

 
Benarkah Maksiat Terjadi Bukan atas Kehendak Allah?
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Dalam sebuah pengajian, Gus Baha’ pernah menerangkan tentang Izzuddin bin Abdissalam yang menyatakan bahwa dalam beberapa hal pandangan Muktazilah, memang tidak bisa dibantah. Sebab, bagaimanapun juga tindakan atau pandangan tersebut, juga merupakan bukti cinta mereka terhadap Allah. Mereka (Muktazilah) menganggap Allah itu tidak boleh sembarangan, oleh sebab itu Allah harus tertib dan baik, maka Allah harus melakukan kebaikan dan selalu dengan hal yang berkaitan dengan kewajiban (yajibu alaihi fi’lu as-shalah).

Dalam banyak referensi disebutkan, bahwa kata Muktazilah bermuara dari kata “I’tazala” yang secara garis besar memiliki makna memisahkan diri atau menyalahi pendapat orang lain dan menjauhkan diri. Pemisahan diri ini dikonfirmasi bermula dari seorang intelektual saat itu yang bernama Washil bin Atha’ dan ‘Amr bin Ubaid yang meninggalkan sebuah majelis atau pengajian di bawah bimbingan Hasan Basri di salah satu Masjid Basrah. Kemudian aksi pemisahan tersebut lalu membuat Washil menciptakan majelis baru.

Pada catatan lain menyebutkan, pemisahan itu sebenarnya lebih tendensi “menyalahi pendapat orang lain” yang hal tersebut diduga berasal dari pendapat Washil bin Atha’ sendiri, yang menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar dapat disebut sebagai orang yang bukan mukmin dan tidak pula kafir, melainkan fasik. Sebab secara harfiyah kata “menyalahi pendapat orang lain” di sini mengacu kepada Hasan Basri yang tidak lain adalah guru dari Washil bin Atha’.

Jika dilihat dari kacamata geografis dan tradisi, Muktazilah terbagi menjadi dua, yaitu Maktazilah Basrah dan aliran Muktazilah Baghdad. Muktazilah Basrah lebih dahulu lahir yang langsung dipelopori oleh Washil bin Atha’ sendiri pada tahun 16 H. Washil merupakan murid dari Hasan Basri, dan keduanya memiliki perbedaan pendapat setelah diawali oleh pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu perihal pelaku dosa besar. Washil merasa tidak sepemikiran dengan gurunya, Khawarij serta Murjiah. Jika aliran Murjiah mengatakan bahwa pelaku dosa besar disebut masih termasuk orang mukmin. Sedangkan dalam pandangan Khawarij bahwa pelaku dosa besar disebut kafir. Dan menurut Hasan Basri orang yang berbuat dosa besar dinamakan fasik.

Namun berbeda dengan Washil, ia menyatakan bahwa pelaku dosa besar harus ditempatkan  pada posisi tengah antara kafir dan mukmin. Kemudian Washil mengakui terdapat perbedaan esensial antara tiga konsep itu, yakni fasik, mukmin, dan kafir. Ketiga konsep ini menjadi problem teologis yang sengit, dan terkadang disalahartikan, padahal polemiknya tidak benar-benar aneh.

Ada lima pokok ajaran yang menjadi fokus aliran Muktazilah atau dikenal dengan “Al-Ushulul Khomsah”.

Pertama, mengenai tauhid atau keesaan Allah. Muktazilah tidak membenarkan dengan adanya sifat-sifat Allah. Menurutnya apa yang dikatakan sebagai sifat Allah tidak lain merupakan Dzat Allah itu sendiri. Al-Qur’an dalam pandangan mereka juga dianggap makhluk, dan kelak di hari akhir akan hancur, sebab semua ciptaan Allah akan hancur semuanya. Begitu pula mengenai problematika apakah Allah dapat dilihat oleh mata atau tidak kelak di hari akhir. Mereka menyatakan bahwa Allah tidak dapat dijangkau dengan mata kepala manusia, Allah hanya dapat dilihat dengan mata batin.

Kedua, mengenai keadilan. Adapun dasar keadilan yang dipahami oleh aliran Muktazilah adalah, mereka meletakkan pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatan manusia. Hal ini dapat dilihat pada sebuah penafsiran mereka berikut ini:

“Tuhan tidak menghendaki keburukan dan Tuhan tidak menciptakan perbuatan manusia. Manusia bisa mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, dengan kekuasan yang diciptakan-Nya terhadap diri manusia. Allah hanya memerintahkan apa yang dikehendaki-Nya. Allah hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak mencampuri dalam keburukan yang dilarang-Nya.”

Lebih jauh, mereka meyakini bahwa Allah akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan apa yang diperbuat manusia itu sendiri. Menurut mereka (aliran Muktazilah) Allah bersifat tidak adil jika memberikan beban berat kepada manusia. Sehingga asumsi ini melahirkan bahwa Allah mempunyai kewajiban berbuat baik kepada manusia. Kewajiban tersebut meliputi kewajiban tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia, kewajiban mengirimkan Rasul, kewajiban menetapi janji (al-wa’ad) dan ancaman (al-wa’id).

Ketiga, adalah janji dan ancaman yang merupakan salah satu konsensus mereka. Mereka yakin bahwasanya Allah tidak akan mengingkari janjinya, yaitu mengganjar pahala kepada orang muslim yang mengerjakan kebaikan dan juga sebaliknya akan mengganjar azab bagi orang yang melakukan dosa. Oleh sebab itu kemudia, menepati janji dan mengaplikasian ancaman salah satu bentuk kewajiban yang harus dimiliki Allah.

Keempat, berada di antara dua posisi atau istilah yang populernya disebut dengan manzilah baina al-manzilatain. Mereka meyakini bahwa pelaku dosa besar termasuk bukan mukmin dan juga tidak kafir, melainkan berada di tengah-tengahnya. Sedangkan fasik sebagaimana yang disebut oleh Hasan Basri adalah tingkatan yang berada di bawah tingkatan orang yang beriman dan berada di atas tingkatan orang kafir. Kelak orang yang berbuat dosa besar berada di antara dua posisi yakni antara surga dan neraka. Andaikan masuk neraka, maka neraka tersebut tidak seperti nerakanya orang kafir, tidak terlalu panas.

Kelima, melakukan kebaikan dan mencegah keburukan (amar ma’ruf dan nahi mungkar). Dalam hal ini, manusia ditugaskan oleh Allah agar senantiasa melaksanakan kebaikan dan menghindari atau mencegah hal-hal yang dapat mendatangkan keburukan.

Demikianlah lima ajaran inti yang senantiasa diimplementasikan oleh aliran Muktazilah dalam menjalani kehidupan. Namun terjadi kontradiksi perihal kewajiban yang dihubungkan kepada Allah tersebut. Ulama Ahlussunnah menganggap kewajiban yang oleh kaum Muktazilah harus disematkan kepada Allah justru akan menimbulkan adanya otoritas yang mengikat dan memerintah Allah. Sementara Allah terbebas dari perintah atau hal yang dapat mengikat Allah. Tidak hanya dalam hal ini, perdebatan selanjutnya melebar ke beberapa sektor.

Banyak perdebatan yang terjadi tersebut diabadikan dalam kitab Ummul Barahin dan Jamiul Ushul fil Auliya’. Perdebatan itu di antaranya adalah perihal ketika ulama Muktazilah mengatakan bahwa jika maksiat itu adalah kehendak Allah maka berarti Allah zalim karena telah menyiksa berdasarkan kehendak dirinya. Ulama Ahlussunnah sejenak terdiam kemudian menjawab dengan pertanyaan, kalau maksiat itu tidak kehendaknya Allah dan kemudian terjadi banyak di alam raya ini, berarti di alam raya ini terjadi banyak hal yang terjadi di luar kendali Allah. Kalau begitu Allah jadi tidak sempurna. Lagi pula maksiat lebih banyak daripada taat. Berarti setan skornya lebih baik sebab dapat menang terus.

Kedua ulama yang berbeda pandangan tersebut sama-sama membela pendapat masing-masing. Ulama Ahlussunnah kemudian bertanya kembali, kalau kenyataannya maksiat lebih banyak di dunia, kemudian apakah Allah tersiksa karena melihat maksiat itu? Ulama Muktazilah menjawab, ya tidak mungkin tersiksa karena Allah mampu menyiksa mereka. Lalu ulama Ahlussunnah melanjutkan, Allah melihat maksiat banyak itu terpaksa atau tidak? Ulama Muktazilah akhirnya kebingungan, mau mengatakan Allah terpaksa memang terpaksa, mau bilang tidak memang tidak.

Mengenai persoalan tersebut, Gus Baha’ menyatakan, bahwa persoalan seperti itu tidak perlu dipertanyakan. Menurut Imam Al-Ghazali dalam bab Kitab Al-Qadha’ wa Al-Qadar, kita hanya perlu membenci perbuatanya, seperti zina, mencuri, dan lain sebagainya, karena semua perbuatan maksiat memang  dibenci dan diperintahkan langsung oleh Allah untuk membencinya. Namun tanpa perlu berkomentar kalau itu bukan kehendak Tuhan. Begitu sikap yang paling aman dan tepat untuk dijadikan pegangan.

Gus Baha’ kemudian memberikan analogi, kalau kita membuat sumur apakah kita membutuhkan got atau tidak? Jawabannya pasti butuh. Sehubung yang membuat kita, lalu kita seenaknya memberitahu anak kalau yang membuat adalah kita, dan mempersilahkan untuk tidur di sana. Nah, paling tidak kita memahami secara analogi seperti itu. Jadi maksiat memang adalah kehendak Allah. Jelas sekali bahwa Allah berhak mengatur dunia. Tetapi satu hal harus selalu diperhatikan, yakni jangan mendekati maksiat! Allahu A’lam. []


Sumber: Tulisan ini merupakan catatan yang diolah dan dikembangkan dari pengajian KH. Bahauddin Nursalim. Tim redaksi bertanggungjawab sepenuhnya atas uraian dan narasi di dalam tulisan ini.

___________

Penulis: Kholaf Al-Muntadar

Editor: Hakim