Biografi KH. Noor Hadi, Muasis Pesantren Raudlatul Hufadz Bali

 
Biografi KH. Noor Hadi, Muasis Pesantren Raudlatul Hufadz Bali

Daftar Isi

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau
2.1  Pendidikan
2.2  Guru Beliau

3.    Penerus Beliau
3.1  Anak-anak Beliau

4.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
4.1 Mendirikan Pondok Pesantren

5     Karir Beliau
6.    Referensi
 

1.  Riwayat Hidup Dan Keluarga

1.1 Lahir
KH. Noor Hadi, Al-Hafidh lahir pada tanggal 12 Desember 1950 di Demak, Jawa Tengah. Beliau menyelesaikan Tahfidzul Qur’an di hadapan Al-Fadhil Al ‘Allamah Syekh KH. R. Arwani Amin Kudus, Jawa Tengah.

1.2 Riwayat Keluarga
Beliau menikah dengan seorang wanita shalehah dan dikaruniai beberapa anak.

2. Sanad Ilmu Dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
Beliau sejak belia sudah belajar agama, ketika memasuki usia remaja beliau mondok di Pesantren Yanbu'ul Qur'an Kudus yang diasuh oleh Syekh KH. R. Arwani Amin Kudus.

2.2 Guru Beliau
KH. R. Arwani Amin Kudus

3. Penerus Beliau

3.1 Anak-anak Beliau
KH. Agus Ulil Albab

4. Perjalanan Hidup Dan Dakwah

Pada tahun 1979, beliau dengan bermodalkan hafalan Al-Qur’an berangkat memasuki Pulau Dewata. Bapak yang juga warga Nahdlatul Ulama (NU) ini sampai di sebuah mushala di Tabanan, ketika pertama kali menjejakkan kaki di Bali. Sebagai seorang musafir yang baru pertama kali datang ke Bali, hal yang pertama kali dilakukan adalah mencari tempat tinggal. Dengan kemampuan hafal Al-Qur’an yang dimilikinya, beliau berhasil meyakinkan penduduk setempat dan diperbolehkan tinggal di mushala tersebut.

Di daerah yang terletak di Jl. A. Yani inilah nantinya beliau memulai perjuangan mendirikan Pondok Pesantren. Hal yang pertama kali beliau lakukan sesampainya di Bali adalah mencari teman-teman seperjuangan yang ada di Bali. Bersama enam orang lainnya beliau memulai usaha dakwahnya berawal dari daerah sekitar Kabupaten Tabanan. Kabupaten Tabanan sendiri memiliki jumlah penduduk sebanyak 350.000 Kepala Keluarga (KK). Dari jumlah tersebut hanya sekitar 5.000 KK yang beragama islam.

Dengan kata lain, KH. Noor Hadi berdakwah di daerah yang notabene mayoritas penduduknya beragama non islam, sebagian besar beragama Hindu. Tabanan sendiri terbagi ke dalam delapan (8) kecamatan, yang mana dari setiap kecamatan sebenarnya sudah terdapat satu buah mushala. Hanya satu kecamatan saja yang belum ada mushalanya. Namun, kondisi mushala tersebut bagaikan hidup segan mati tak mau.

Hal ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi KH. Noor Hadi. Beranjak dari itu lah, KH. Noor Hadi beserta enam temannya mempunyai inisiatif untuk mengadakan kegiatan keagamaan (pengajian, red) di delapan kecamatan tersebut. Dari sini lah beliau menemui hambatan pertamanya. Berawal dari pelaksanaan pengajian di satu kecamatan yang belum ada mushalanya itu, KH. Noor Hadi dan kawan-kawan yang menyewa tempat di sebuah ruko pasar mendapatkan perlawanan dari orang-orang setempat.

Beliau beserta jamaah mendapatkan lemparan batu agar dengan segera membubarkan kegiatan tersebut. Hal ini tidak terlepas dari penduduk setempat yang memang anti terhadap kegiatan berbau agama. Untuk hal-hal semacam tadi penduduk memang masih sangat sensitif. Namun untuk hubungan sosial dalam kehidupan sehari-hari, penduduknya terkenal ramah dan baik hati tanpa memandang agama orang lain. Hal ini dibuktikan dari pengalaman KH. Noor Hadi ketika saling bertegur sapa dengan penduduk sekitar.

Setiap kali bertemu beliau selalu disapa dengan sapaan yang sangat ramah, seperti (mau kemana?, red) lalu disambung dengan (mampir, makan-makan dulu, red). Keramahan tersebut tetap terjaga hingga terjadi peristiwa yang menggegerkan Indonesia, bahkan dunia, yaitu dua kali peristiwa bom Bali. Peristiwa bom Bali yang melululantahkan bangunan-bangunan di Bali, tapi juga kerukunan hidup antar umat beragama yang telah lama terjaga.

Setelah peristiwa bom Bali itu umat islam mendapatkan banyak pandangan negatif. Umat islam yang dulu hidup damai dengan umat agama lain, kini dianggap sebagai teroris yang sewaktu-waktu siap untuk meledakkan bom. Umat islam di Bali menjadi tidak nyaman untuk beraktivitas karena selalu mendapat kecurigaan. Kehidupan ekonomi baik umat islam maupun umat agama lain juga jatuh. Banyak umat islam yang dulu sudah mapan ekonominya waktu itu harus kocar-kacir dan balik ke kampung halaman.

Hal ini sangat disayangkan oleh KH. Noor Hadi dan bertekad untuk memperbaikinya. Untuk merealisasikan keinginannya tersebut, langkah awal yang dilakukan oleh KH. Noor Hadi adalah mengembalikan perekonomian umat islam. Hal ini bertujuan agar kalau umat islam sudah mapan, maka kegiatan syi’ar Islam akan lebih mudah untuk diwujudkan.

Ini tidak terlepas dari kondisi umat islam Bali yang memang “rendah” tingkat ekonominya bila dibandingkan dengan umat Hindu. Usaha yang direncanakannya itu menuai hasil setelah mendapatkan dukungan dari Gubernur setempat pada waktu itu yang memang secara kebetulan juga beragama Islam.

Langkah yang beliau ambil ini tidak terlepas dari semangat dan motivasi beliau untuk menyi’arkan islam dan mendirikan Pondok Pesantren di Bali yang notabene jauh berbeda dari kultur Islam, baik dari segi budaya, agama, dan etnis. Namun, KH. Noor Hadi yang diliputi semangat Al-Qur’an berkeyakinan bahwa hanya Al-Qur’an lah yang mampu menembus semua perbedaan yang ada, karena di dalam Al-Qur’an tidak terdapat suatu perbedaan. Hanya Al-Qur’an lah yang mampu menyelesaikan semua perbedaan yang ada.

Hal ini sebagaimana ayat Al-Qur’an yang berbunyi ............فان تنازعتم في شيئ فردوه الى الله ....الأية (QS. An-Nisa’: 59). Dengan semangat Al-Qur’an tersebut, keinginan beliau untuk mendirikan pondok pesantren di Bali semakin menggebu. Ditambah lagi dengan adanya dorongan dari guru beliau, yaitu KH. Arwani Kudus, agar mendirikan sebuah pondok dan diberi nama Raudlatul Huffadz.

Bangunan pertama kali pondok ini didirikan di atas sebidang tanah dengan ukuran 3x4 meter2 yang beliau beli sendiri. Pada masa-masa awal, beliau mengajar sendiri dengan murid seadanya serta tidur bersama di lantai bangunan yang sempit itu. Setelah pondok berdiri, keinginan beliau selanjutnya adalah membangun sebuah masjid.

Namun dalam langkahnya menemui berbagai kendala. Mulai dari adanya Peraturan Daerah yang mengharuskan setiap pendirian tempat ibadah harus ada komunitas paling sedikit 60 KK hingga 100 KK dan disyaratkan harus sebagai pemilik tanah yang diakui sebagai penduduk dibuktikan dengan menunjukkan KTP. Ditambah lagi dengan mengingat kondisi umat islam Bali jarang ada yang memiliki tanah sendiri. Jangankan untuk wakaf masjid, untuk kebutuhan sendiri saja sudah susah.

Maka untuk mensiasati hal tersebut, maka dicetuskan rencana untuk saling lelang dan iuran di antara warga guna pembangunan masjid. Selain itu dalam rangka memudahkan dakwahnya, beliau bersama enam orang temannya tadi yang kebetulan sama-sama warga NU, membentuk suatu badan kepengurusan dengan tanpa Surat Keputusan (SK) dari PBNU.

Beliau mengangkat diri sebagai Rais Syuriah waktu itu. Namun dalam perkembangannya nanti beliau ditetapkan Rais Syuriah terlama mulai dari 1980-sekarang. Dalam usahanya satu ini juga tidak terlepas dari berbagai kendala. Di antaranya adalah ketika mendapatkan undangan untuk menghadiri dua muktamar di Situbondo dan Yogyakarta, mereka dilarang masuk karena tidak memiliki SK.

Puncaknya adalah ketika menjelang muktamar di Pasuruan. Waktu itu pengurus PBNU membawa surat yang isinya tentang pembekuan NU Bali. Namun, dengan segala upaya akhirnya kini NU Bali sudah diakui dan KH. Noor Hadi ditetapkan sebagai Rais Syuriah terlama. Selain menjabat sebagai Rais Syuriah, beliau juga mengasuh dan mengembangkan eksistensi Pondok Pesantren Raudlatul Huffazh miliknya.

Akhlakul Karimah yang membuat umat Hindu bisa menerima kehadiran umat Islam di Pulau Dewata.

Rais Syuriyah PWNU Bali KH. Noor Hadi Al-Hafidh menyebut bahwa lantunan adzan yang keluar dari pengeras suara masjid atau mushala di Bali dirasakan manfaatnya pula oleh umat Hindu di sana.

“Di Bali suara adzan yang keras itu memberi manfaat kepada orang-orang di sekelilingnya, bukan hanya orang Islam saja,” jelas KH. Noor dikutip dari NU-Online, (20/12/22).

Manfaat ini, menurutnya dirasakan oleh umat Hindu karena mereka (umat Hindu) mempunyai beberapa aktivitas dan rutinitas yang waktunya nyaris hampir bersamaan dengan waktu shalat 5 waktu.

Dengan adanya adzan, lanjut Kyai Noor, yang keluar dari pengeras suara masjid, bisa mengingatkan umat Hindu untuk melakukan rutinitas tersebut.

“Jadi orang Hindu itu pada waktu Subuh ada suara tarhim, ngaji Al-Qur’an, adzan, itu mereka bangun karena suara itu, karena mereka mempersiapkan dirinya. Pada umumnya orang sini itu yang laki-laki kerja sebagai tukang, yang perempuan sebagai pembantu,” jelasnya.

Beberapa profesi tersebut menuntut agar bangun lebih awal dan menyiapkan berbagai hal sebelum berangkat kerja seperti mempersiapkan sarapan keluarga.
 

4.1 Mendirikan Pondok Pesantren

Beliau berjuang merintis lembaga pendidikan Islam dan berjuang mendakwahkan Agama Islam di tengah-tengah mayoritas umat lain sejak 1979. Saat ini, beliau adalah pengasuh Yayasan Pondok Pesantren Raudlatul Hufadz di Desa Abian Tuwung, Kec. Kediri, Kab. Tabanan, Bali. Lembaga Pendidikan ini mengelola Pendidikan Diniyah Takmiliyah, Taman Pendidikan Al-Quran, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan Pondok Pesantren.

5. Karir Beliau

  1. Pengasuh pesantren Raudlatul Hufadz
  2. Rais Syuriah PWNU Bali

6. Referensi

Web Aswaja Dewata


Artikel ini sebelumnya diposting tanggal 01 November 2023, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa tanggal 12 Desember 2023.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya