KH. Sholeh Darat sebagai “Role Model” Ulama Nusantara

 
KH. Sholeh Darat sebagai “Role Model” Ulama Nusantara
Sumber Gambar: duniasantri.co, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Ketika kita membaca ulang sejarah perjalanan intelektual Pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, dan Pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari, maka kita akan menemukan titik temu keduanya pernah berguru kepada seorang ulama yang sangat kharismatik, ahli tafsir dan ahli kalam, yang tidak lain adalah KH. Sholeh Darat, Semarang.

KH. Sholeh Darat lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, pada tahun 1235 H/1820 M, bertepatan dengan detik-detik ketegangan antara Belanda dan Pangeran Diponegoro. (Amirul Ulum, KH. Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani Maha Guru Ulama Nusantara, Yogyakarta: Global Press, 2020, hlm. 39)

KH. Sholeh Darat meninggal dunia pada usianya yang ke-83 tahun, di Semarang pada hari Jum’at Legi tanggal 28 Ramadhan 1321 H/18 Desember 1903 M. Beliau disemayamkan di pemakaman umum Bergota. Belakangan jalan menuju pemakamannya kini diberi nama Jl. K.H. Sholeh. (Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara Riwayat, Perjuangan, dan Do’a, hlm. 66)

Ayah KH. Sholeh Darat bernama KH. Umar ibn Tasmin yang merupakan seorang ulama yang disegani di kawasan pantai utara Jawa. KH. Umar juga termasuk seorang pahlawan, pejuang kemerdekaan Indonesia. Beliau memiliki peran yang penting di masyarakat dalam menggerakkan warganya untuk memerangi tentara kolonial Belanda. KH. Umar beserta kolega, kawan, dan santri-santrinya masuk dalam barisan medan pertempuran Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro pada tahun 1825-1830. (Lilik Faiqoh, “Vernakularisasi dalam Tafsir Nusantara: Kajian atas Tafsir Faidh al- Eahman Karya KH Sholeh Darat al-Samarani”, Living Islam: Journal of Islam Discourses, Vol. 1, No. 1, Juni 2018, hlm. 94)

Dilihat dari silsilah keturunannya, KH. Sholeh Darat masih keturunan Sunan Kudus, yaitu dari ibunya, Nyai Umar binti KH. Singapadon (Pangeran Khatib) ibn Pangeran Qodin ibn Pangeran Palembang ibn Syaikh Ja’far Shodiq (Sunan Kudus). Pendapat ini diceritakan oleh Agus Tiyanto yang mendapat keterangan dari Habib Luthfi Pekalongan. Data tersebut dapat dikuatkan dengan hubungan KH. Sholeh Darat dengan Raden KH. Muhammad Sholeh Kudus yang masih keturunan dari Sunan Kudus atau Syaikh Ja’far Shodiq. (Amirul Ulum, KH. Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani Maha Guru Ulama Nusantara, Yogyakarta: Global Press, 2020, hlm. 37)

Tetapi ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa KH. Sholeh Darat merupakan keturunan dari Pangeran Sambu atau Sayyid Abdurrahman Basyaiban. Pendapat yang lain juga mengatakan bahwa KH. Sholeh Darat merupakan keturunan dari Syaikh Ahmad Mutamakkin Al-Hajini. Serta ada lagi sebuah pendapat yang menyatakan bahwa ia masih keturunan Sunan Bonang ibn Sunan Ampel. Namun, pendapat-pendapat tersebut menuai ketidakjelasan dari mana jalur nasab mereka bertemu. Terlepas dari hal ini, beliau adalah keturunan dari orang-orang sholeh yang mulia dan berpengaruh di zamannya.

Pengembaraan Ilmu

Semasa kecil, KH. Sholeh Darat harus menyaksikan peliknya perang tepat di usianya yang ke-5 tahun, sebab ayahnya adalah seorang prajurit Pangeran Diponegoro. Pada masa itu, ulama dan segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam yang tidak dapat dikerjasamakan dengan Belanda, maka akan dihambat lajunya atau dibumihanguskan. Hingga usia KH. Sholeh Darat beranjak 10 tahun tepatnya pada tahun 1830 H, perang Jawa sudah mulai redam. Sejak masa itulah KH. Umar sudah tidak disibukkan dengan peperangan dan dapat menggembleng ajaran Islam kepada KH. Sholeh Darat secara intensif. Meskipun sebelum itu ayahnya sudah mengenalkannya sendi-sendi akidah dan syari’at Islam, namun tidak maksimal sebab kondisi perang yang berkecamuk. (Amirul Ulum, KH. Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani Maha Guru Ulama Nusantara, Yogyakarta: Global Press, 2020, hlm. 39)

Selain belajar agama kepada ayahnya sendiri, KH. Sholeh Darat juga menimba ilmu agama kepada beberapa ulama di Nusantara. Di antara beberapa gurunya adalah KH. Muhammad Syahid, ulama besar di Maturoyo, Pati, Jawa Tengah. Kepadanya, KH. Sholeh Darat belajar kitab-kitab fiqih seperti Fathul Wahhab, Syarh Al-Khatib, Fathul Qarib, Minhajul Qawim dan beberapa kitab lainnya.

Selanjutnya KH. Sholeh Darat pergi ke Kudus dan mengaji kepada KH. Muhammad Sholih ibn Asnawi, seorang ulama sufi yang mengajarkannya beberapa kitab, salah satunya kitab tafsir Jalalain karya Jalaluddin Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi. Sedangkan di Semarang, KH. Sholeh Darat belajar berbagai kitab kepada beberapa ulama, di antaranya belajar ilmu nahwu dan sharaf kepada KH. Ishaq Damaran, belajar ilmu falak kepada KH. Abu Abdillah Muhammad Hadi Banguni (Mufti Semarang), belajar Kitab Jauharatut Tauhid dan Minhajul Abidin kepada KH. Ahmad Bafaqih Ba’alawi, dan Kitab Masail As-Sittin kepada KH. Abdul Ghani Bima. (Bagus Irawan, dkk, “Biografi Kiai Sholeh Darat”, dalam Syarah Al-Hikam karya Kiai Sholeh Darat, Depok: Penerbit Safiha, 2016, hlm 27)

Selain dibawa menuntut ilmu kepada beberapa guru di Nusantara agar mendapat pengetahuan, KH. Umar juga menginginkan putranya, KH. Sholeh Darat belajar melalui pengalaman. Oleh sebab itu, ayahnya mengajak KH. Sholeh Darat ke Makkah dan singgah beberapa saat di Singapura.

Ketika di Makkah, KH. Sholeh Darat belajar kepada beberapa ulama masyhur, di antaranya; Syaikh Muhammad Al-Muqri Al-Misri Al-Makki, kepadanya, KH. Sholeh Darat belajar ilmu aqa’id dengan Kitab Ummul Brahin karya Muhammad As-Sanusi; Syaikh Muhammad ibn Sulaiman Hasbullah pengajar di Masjidil Haram dan Masjid An-Nabawi, kepadanya KH. Sholeh Darat belajar Syarhul Khatib, Fathul Wahhab, dan Alfiyah Ibnu Malik beserta Syarah-nya; Sayyid Muhammad ibn Zaini Dahlan, seorang Mufti Syaf’iyyah di Makkah, kepadanya, KH. Sholeh Darat belajar Kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali dan mendapat ijazah dari pembelajaran tersebut; Al-Allamah Syaikh Ahmad An-Nahrawi Al-Misri Al-Makki, kepadanya, KH. Sholeh Darat belajar Kitab Al-Hikam karya Ahmad ibn Atha’illah; Sayyid Muhammad Sholih Az-Zawawi pengajar di Masjidil Haram, kepadanya, KH. Sholeh Darat belajar kitab Ihya’ Ulumuddin, juz I dan II, dan lain- lain.

Jejak-Jejak Dakwah

Setelah beberapa tahun menetap di Makkah untuk belajar dan sempat juga mengajar, KH. Sholeh Darat memutuskan kembali ke Semarang untuk berkhidmat di tanah kelahirannya dalam rangka menyebarkan ilmu dan dakwah.

Setibanya di Semarang, KH. Sholeh Darat dinikahkan dengan seorang perempuan bernama Sofiyah, putri dari KH. Murtada yang merupakan teman seperjuangan ayahnya ketika bergabung sebagai prajurit Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa. Setelah menikah itulah KH. Sholeh Darat menetap dan melanjutkan menuntut ilmu kepada beberapa ulama serta mendirikan pondok pesantren di Semarang.

Sebagaimana tradisi yang berjalan, bahwa sepulang dari Makkah sebagai seorang ulama itu biasanya mendirikan pusat belajar mengajar yang berupa pondok pesantren. Demikian pula yang dilakukan oleh KH. Sholeh Darat. Tetapi pondok pesantren yang didirikannya sebelumnya tidak memiliki nama, namun seiring berjalannya waktu, akhirnya pesantren tersebut terkenal dengan nama Pondok Pesantren Darat. (M. Masrur, “Kyai Sholeh Darat, Tafsir Faidh al-Rahmân dan R.A. Kartini”, Jurnal At- Taqaddum, Vol. 4, No. 1, Juli 2012, hlm. 33)

Dalam catatan sejarah, diketahui bahwa dari banyaknya murid yang menuntut ilmu kepada KH. Sholeh Darat, ada beberapa murid yang kemudian menjadi tokoh kyai karismatik dan terkenal di Nusantara. Di antara muridnya tersebut adalah KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdhatul Ulama), KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), KH. Mahfudz (pendiri Pondok Pesantren Tremas, Pacitan), KH. Idris (pendiri Pondok Pesantren Jamsaren, Solo), KH. Sya’ban (ulama ahli falak), KH. Dalhar (Pendiri Pondok Pesantren Watucongol, Magelang), KH. Munawwir (Pendiri Pondok Pesantren Al- Munawwir, Krapyak, Yogyakarta), Penghulu Tafsir Anom (Keraton Surakarta), dan R.A. Kartini (Tokoh Pahlawan Nasional).

Dari sekian guru dan murid beliau yang sangat masyhur itu, tidak salah jika beliau menjadi “role model” ulama Nusantara yang sangat luas ilmunya, tetapi tidak pernah kehilangan tradisi kenusantaraannya. Bahkan beliau adalah termasuk salah satu pelopor penafsir Al-Qur’an dengan bahasa Arab-Pegon.  

Karya Tafsir Monumental dengan Kekhasan Nusantara

Semasa hidupnya, selain aktif dalam mengajarkan ilmu agama melalui pengajian-pengajian di Pondok Pesantren Darat hingga penjuru Nusantara, KH. Sholeh Darat juga produktif menulis beberapa kitab dalam berbagai disiplin ilmu, di antaranya ilmu tasawuf, fikih, tauhid, dan tafsir. Tetapi karya beliau yang paling monumental adalah Kitab Tafsir Faidhur Rahman fi Tarjumani Tafsir Kalam Malik Ad-Dayyan.

Tafsir Faidhur Rahman berisi penafsiran dari Surat Al-Fatihah sampai surat An-Nisa’, yang terdiri dari dua jilid. Jilid I dimulai dari muqaddimah, penafsiran Surat Al-Fatihah, dan kemudian dilanjutkan dengan Surat Al-Baqarah yang diawali dengan pendahuluan dan dilanjutkan penafsiran ayat 1 sampai ayat 286. Jumlah halaman pada jilid I adalah 503 halaman. Jilid I ditulis pada malam Kamis 20 Rajab 1309 H/19 Februari 1892 M dan selesai pada malam Kamis 19 Jumadil Awal 1310 H/9 Desember 1892 M. Setelah selesai ditulis, kemudian dicetak di Singapura oleh percetakan milik Haji Muhammad Amin pada 27 Rabi’ul Akhir 1311 H/7 November 1893 M.

Sedangkan bagian jilid II dimulai dari muqaddimah yang dilanjutkan dengan penafsiran Surat Ali Imran dari ayat 1-200 dan Surat An-Nisa’ ayat 1-176 dengan jumlah isi 705 halaman. Jilid II ini diselesaikannya pada hari Selasa, 17 Safar 1312 H/20 Agustus 1894 M. Kemudian dicetak oleh percetakan Haji Muhammad Amin pada 1312 H/1894 M. Jilid II merupakan jilid terakhir, sebab KH. Sholeh Darat wafat pada 28 Ramadhan 1312 H/18 Desember 1903 M. (Amirul Ulum, KH. Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani Maha Guru Ulama Nusantara, Yogyakarta: Global Press, 2020, hlm. 199)

Sejarah penulisan Tafsir Faidhur Rahman bermula ketika KH. Sholeh Darat menggelar pengajian rutin di pendopo Kesultanan Demak. Kebetulan saat itu Raden Ajeng Kartini berkunjung ke rumah pamannya yang tinggal di Demak, yakni Ario Hadiningrat, seorang Bupati Demak. Kartini pun mengikuti pengajian KH. Sholeh Darat yang kala itu sedang membahas penafsiran Surat Al-Fatihah. Hal tersebut membuat R.A. Kartini tertarik untuk mempelajari makna ayat-ayat Al-Qur’an kepada KH. Sholeh Darat, sebab sebelumnya dia pernah bertanya makna sebuah ayat Al-Qur’an kepada guru ngajinya, namun tidak mendapat jawaban justru gurunya memarahinya.

Akibat ketertarikan R.A. Kartini dalam mempelajari tafsir Al-Qur’an, ia pun memberikan usul kepada KH. Sholeh Darat agar menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa. Usulan tersebut disambut baik oleh KH. Sholeh Darat, hingga terhimpunlah terjemah beserta penafsirannya dalam sebuah kitab tafsir yang ditulis dengan menggunakan Huruf Arab gundul tanpa harakat (pegon) dan Bahasa Jawa. Konon, dari Kitab Tafsir Faidhur Rahman itulah akhirnya R.A. Kartini terinspirasi untuk menulis sebuah karya yang hingga sekarang dikenal dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Dikisahkah juga bahwa Kitab Tafsir Faidhur Rahman salinan pertama menjadi hadiah dari KH. Sholeh Darat dalam pernikahan Raden Ajeng Kartini dengan RM. Joyodiningrat. (Islah Gusmian, Dinamika Tafsir Al-Qur‟an Bahasa Jawa Abad 19-20 M, Surakarta: Efedu Press, 2015, hlm. 49)

Ada kisah menarik di balik penulisan Kitab Tafsir Faidhur Rahman. Pada akhir tahun 1800-an, pemerintah Kolonial Belanda tidak melarang umat Islam mempelajari Al-Qur’an, namun tidak untuk diterjemahkan. Hal ini bertujuan agar masyarakat Indonesia tidak mengerti makna dan maksud  yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Namun, KH. Sholeh Darat tidak kehabisan akal. Beliau akhirnya menulis tafsir menggunakan tulisan Arab-Jawa (Pegon) agar tidak diketahui oleh Belanda dan menjadi kekhasan tafsir Nusantara yang menginspirasi ulama Nusantara lainnya. []


Penulis: Abd. Hakim Abidin

Editor: Roni