Upaya Diplomasi KH. Abdul Wahid Hasyim dengan Intelijen Jepang

 
Upaya Diplomasi KH. Abdul Wahid Hasyim dengan Intelijen Jepang
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Rijal Mumazziq Z, ketua PCNU Surabaya menerangkan bahwa dalam buku Berangkat dari Pesantren karya KH. Saifuddin Zuhri dijelaskan bagaimana Jepang berusaha menguasai para kyai pesantren dengan menempatkan perwira intelijen Muslim untuk memantau ulama, terutama di Jawa. Salah satu keluarga yang sangat diawasi oleh Jepang secara rahasia adalah keluarga KH. M. Hasyim Asy'ari. Salah satu agen Jepang yang bernama Abdul Hamid Ono, seorang Muslim Jepang yang menikahi seorang perempuan asal Gresik, diberi tugas khusus untuk mengawasi ulama terkemuka ini bahkan sebelum Jepang tiba. Ono juga secara rutin menghadiri pengajian di Tebuireng. Meskipun tutur katanya halus, sikapnya santun, dan ia terampil dalam pergaulan, Kyai Saifuddin menggambarkan bagaimana Ono memantau ulama tersebut secara ketat.

Dalam buku Berangkat dari Pesantren tersebut, Kyai Saifuddin juga mengisahkan peristiwa di mana Kyai Wahid Hasyim, yang saat itu berada di Jakarta sebagai pejabat Shumubu (cikal bakal Kementerian Agama), dikunjungi oleh seorang kyai dari Jatim yang ingin memberikan informasi rahasia. Namun, di kediaman Kyai Wahid, seorang agen Jepang yang tak dikenal tidak membiarkan utusan dari Jatim tersebut menyampaikan misinya. Kyai Wahid terus diawasi, bahkan saat berada di dalam mobil. Hal ini membuat ayah Gus Dur harus berpura-pura mobilnya mogok agar bisa berbicara dengan sahabatnya tersebut. Agen Jepang itu bahkan tidak lengah dalam situasi tersebut dan terus mengawasi serta mencuri dengar percakapan mereka.

Kyai Saifuddin tidak secara eksplisit menyebutkan identitas telik sandi tukang pantau kyai tersebut, tetapi kemungkinan besar dia adalah Abdul Hamid Ono yang diberi tugas untuk memepet para ulama. Pada saat itu, beberapa pejabat Jepang yang beragama muslim menjalankan misi penaklukan terhadap ulama-ulama Indonesia. Selain Ono, terdapat juga Haji Saleh Suzuki dan Abdul Mun'im Inada yang terlibat dalam misi tersebut. Inada khususnya bertanggung jawab untuk memepet Habib Ali Al-Habsyi Kwitang. Sehingga ketika pasukan Jepang mendarat, Inada langsung mengunjungi Habib Ali dengan didampingi oleh Kolonel Horie, seorang perwira AD Jepang yang bertugas mengurusi masalah Islam di Indonesia.

Dalam karyanya "Dari Penjara ke Penjara", Tan Malaka bahkan secara terang-terangan menyebut Hamid Ono sebagai "spion shimizu" yang menjalankan misi penaklukan, seperti yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje dan Van Der Plas di Hindia Belanda atau Lawrence of Arabia

Dalam tulisannya "Kuasa Jepang di Jawa", Aiko Kurasawa mengakui bahwa sejumlah muslim Jepang menjalankan misi propaganda di bawah naungan BEPPAN, bagian dari dinas intelijen militer Tentara AD Jepang, terutama dalam bidang propaganda. Saat mewawancarai Hamid Ono, yang pulang ke Jepang setelah Indonesia merdeka, Kurasawa mencatat bahwa Ono menganggap dirinya sebagai seorang muslim sejati, bukan menggunakan agama sebagai bagian dari penyamaran seperti yang dilakukan beberapa rekannya di BEPPAN.

Bagaimana sikap ulama kita terhadap hal ini? Sebagian menunjukkan sikap reaktif-revolusioner seperti yang dilakukan oleh KH. Zainal Musthafa, Singaparna, yang berjuang secara terbuka hingga akhirnya gugur sebagai syuhada bersama pengikutnya. Ada pula yang menanggapinya dengan pendekatan khas, yaitu dengan berpegang teguh pada hadits Nabi Shallallahu alaihi wasallam tentang "Al-Harbu Khid'ah" atau bahwa perang adalah tipu daya. Dalam konteks ini, KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Abdul Wahid Hasyim menonjol sebagai ahli dalam menjawab persoalan ini.

Setelah melakukan upaya diplomasi di tingkat elit di Jakarta untuk membebaskan KH. M. Hasyim Asy'ari dan KH. Mahfudz Siddiq pada akhir tahun 1942, hubungan antara Kyai Wahab, Kyai Wahid, dan Abdul Hamid Ono semakin menguat. Hamid Ono membutuhkan kehadiran kedua kyai tersebut sebagai bagian dari laporannya secara berkala ke kantor pusat BEPPAN di Jakarta, sementara Kyai Wahab dan Kyai Wahid memanfaatkan posisi Hamid Ono untuk melakukan diplomasi strategis mengingat posisi Jepang yang semakin terdesak dalam Perang Pasifik pada akhir tahun 1944. Atas usulan dari Kyai Wahid, Jepang setuju untuk membentuk Hizbullah, sebuah milisi santri. Sebelumnya, atas lobi beberapa politisi muslim, termasuk Kyai Wahid, Jepang telah menyetujui pembentukan PETA, sebuah tentara cadangan dalam negeri di mana 60% komandan batalyon, wakilnya, dan ketua kompi adalah para kyai. Yang menariknya, di era Jepang ini, mereka lebih memilih tokoh muslim sebagai "mitra" daripada bangsawan yang sebelumnya dikenal sebagai pendukung Belanda.

Kembali ke topik yang dibahas sebelumnya, dari situ dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Kyai Wahid dan Hamid Ono sangat istimewa. Kyai Wahid jelas menyadari bahwa Ono memiliki peran ganda sebagai intelijen dan juga propagandis utama dari BEPPAN, namun Kyai Wahid Hasyim menolak untuk tunduk dan justru memanfaatkan jaringan serta kekuatan lobi Ono ke Gunseikan untuk memperjuangkan pembentukan milisi santri.

Di kemudian hari, dari banyak anak Kyai Wahid Hasyim, KH. Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid yang bungsu adalah yang mewarisi kecakapan ayah mereka dalam memanfaatkan potensi dunia intelijen untuk kepentingan umum. Wallahu A'lam. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 23 Januari 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar