Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Khadijah Sang Saudagar

 
Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Khadijah Sang Saudagar
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Al-Atsir dan Ibnu Hisyam, Sayyidah Khadijah adalah sosok perempuan terhormat dan merupakan seorang saudagar yang mulia di tengah-tengah kaumnya. Khadijah dikenal sebagai saudagar dengan harta yang berlimpah. Dia mempekerjakan kaum laki-laki untuk membawa dan memperdagangkan komoditasnya, lalu memberi mereka upah yang pantas.

Ketika Khadijah mendengar tentang kejujuran, amanah, dan kemuliaan akhlak pemuda yang bernama Muhammad, dia mengirim utusan untuk menawarinya pekerjaan, yaitu membawa barang dagangannya ke Syam, dengan upah yang lebih besar dibanding yang pernah dia berikan kepada orang lain.

Ketika itu, Muhammad SAW menyanggupi tawarannya dan kemudian beliau berangkat menuju Syam ditemani budak Khadijah yang bernama Maysarah. Keduanya pergi untuk memperdagangkan barang dagangan Khadijah.

Amanah dalam berdagang terlaksana dengan baik. Rasulullah dapat menjalankan amanah dan tanggung jawab itu dengan baik. Pertolongan Allah senantiasa menyertai dalam perjalanannya selama memperdagangkan komoditas milik Khadijah. Setelah beberapa waktu beliau kembali ke Makkah bersama Maysarah membawa keuntungan dagang yang berlimpah, lalu beliau mengembalikan amanah yang diembannya kepada Khadijah secara sempurna dan memberinya laba yang sangat besar.

Setelah semuanya selesai, Muhammad SAW pamit dan pulang ke rumahnya. Sepulangnya dari rumah Khadijah, Maysarah menceritakan pengalamannya saat menemani Muhammad SAW dan betapa dia sangat mengagumi kepribadian pemuda itu. Kepribadiaan yang sangat istimewa dan menakjubkan. Dia mengungkapkan kejujuran, kesahajaan, dan juga kecerdasan Muhammad SAW dalam berdagang di sepanjang perjalanan. Semua itu benar-benar membuatnya takjub. Akhirnya Maysarah menceritakan semua itu kepada majikannya, Khadijah.

Tentu saja, mendengar hal itu, Khadijah, yang sebelumnya telah mendengar keistimewaan Muhammad SAW semakin kagum dan jatuh hati pada pemuda tersebut. Dia sangat memercayai cerita dan penuturan budaknya itu, karena memang Muhammad SAW terbukti dapat menjalankan amanah darinya dengan sangat baik dan sempurna. Muhammad SAW pulang dengan membawa berkah dan keuntungan yang berlipat-lipat lebih besar.

Maka, beberapa hari kemudian Khadijah mengirimkan utusan, Nafisah binti Munabbih, untuk melamar Muhammad SAW, menawarkan dirinya untuk dipersunting pemuda itu.

Mendengar niat baik itu, Muhammad SAW menyetujuinya dan menerima tawaran yang disampaikan sang utusan. Kemudian, beliau membicarakan masalah itu bersama paman-pamannya. Mereka pun bersepakat menerima Khadijah untuk diperistri oleh keponakan mereka.

Setelah semuanya rampung dimusyawarahkan, mereka melamar Khadijah agar bersedia menikah dengan Muhammad SAW.  Para paman tersebut mulanya datang kepada paman Khadijah yang bernama Arr bin Asad, dan akhirnya sang paman pun setuju dan menikahkan Khadijah kepada Muhammad SAW yang saat itu berusia 25 tahun, sementara Khadijah berusia 40 tahun. Demikian keterangan yang ada di dalam banyak riwayat.

Diriwayatkan pula, bahwa sebelum menikah dengan Rasulullah SAW, Khadijah pernah menikah dua kali. Suami pertamanya bernama Atiq bin A'idz At-Tamimi dan suami keduanya adalah Abu Al-Halah At-Tamimi yang bernama asli Hind bin Zurarah. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Hajar di dalam Al-Ishobah.

Butiran Hikmah

Jika diamati dengan baik, bahwa perjalanan Nabi Muhammad SAW menuju Syam untuk memperdagangkan komoditas milik Khadijah merupakan kelanjutan dari karirnya yang diawali dengan menggembalakan kambing milik orang Makkah. Semua proses ini dilaluinya dengan sangat baik olehnya.

Kemudian, berkaitan dengan kedudukan Khadijah di sisi Nabi SAW, kita telah memaklumi bahwa dia memiliki peran yang sangat penting. Kedudukannya juga sangat luhur dan mulia. Kebersamaannya itu telah memberinya kedudukan yang sangat tinggi di sisi Rasulullah SAW, di sepanjang hayatnya. Khadijah juga menjadi istri Rasulullah yang paling sempurna, sebagaimana dinyatakan di banyak riwayat dalam As-Shahihain.

Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Ali k.w mendengar Rasulullah SAW bersabda, bahwa perempuan terbaik di langit adalah Maryam binti Imran, dan perempuan terbaiknya di bumi adalah Khadijah binti Khuwailid.

خَيْرُ نِسَائِهَا مَرْيَمُ بنْتُ عِمْرَانَ وَخَيْرُ نِسَائِهَا خَدِيجَةُ بنْتُ خُوَيْلِدٍ

“Sebaik-baik perempuan (di langit) adalah Maryam binti Imran, dan sebaik-baik peremmpuan (di bumi) adalah Khadijah binti Khuwailid.” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, jilid 7, hlm. 91)

Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa Aisyah r.ha, pernah berkata, “Aku tidak pernah cemburu terhadap istri-istri Nabi SAW, kecuali terhadap Khadijah, padahal aku tidak pernah bertemu dengannya.”

Aisyah juga bercerita, “Dulu, apabila Rasulullah SAW menyembelih kambing, beliau selalu berkata, kirimkanlah ini kepada teman-teman Khadijah.”

Selain ada juga riwayat lain yang menceritakan bahwa Aisyah juga berkata, “Pada suatu hari, aku membuat beliau marah karena aku berteriak, ‘Khadijah lagi, Khadijah lagil,’ Kemudian Rasulullah SAW berkata, ‘Aku telah dikaruniai cintanya.’”

Imam Ahmad dan At-Thabrani meriwayatkan melalui jalur Masruq dari Aisyah r.ha, bahwa dia bercerita, "Rasulullah SAW nyaris tidak pernah keluar dari rumah sebelum menyebut-nyebut Khadijah dan menyanjungnya. Pada suatu hari, beliau menyebut-nyebutnya, sehinga aku disulut cemburu. Maka, aku berkata, "Bukankah dia hanya seorang nenek-nenek, dan Allah telah menggantikannya dengan seseorang yang lebih baik?”

Mendengar hal itu Rasulullah SAW marah dan bersabda, “Tidak. Demi Allah, Allah tidak Menggantinya dengan seorang pun yang lebih baik daripadanya. Dia beriman ketika semua orang kafir. Dia memercayaiku ketika orang-orang menyebutku dusta. Dia pun menyokongku dengan hartanya ketika orang-orang enggan memberiku. Allah juga mengaruniaiku anak darinya, tidak dari istri yang lain.”

Perlu dicatat dalam hal ini. Ada satu hal penting dari pernikahan beliau dengan Khadijah yang harusnya dipahami oleh siapa pun yang mempelajari kisah perjalanan hidup Rasulullah dengan jujur, yaitu bahwa ketika menikahi Khadijah, Rasulullah SAW sama sekali tidak memedulikan faktor kenikmatan dan kesempurnaan jasmani. Sebab, seandainya begitu, seperti para pemuda lain yang sebaya dengannya, tentu beliau akan memilih perempuan yang lebih muda, lebih segar, dan lebih cantik untuk dinikahi. Atau, setidaknya bukan perempuan yang lebih tua dibanding dirinya. Beliau menerima Khadijah karena dia adalah perempuan terhormat dan mulia di tengah masyarakat dan kaumnya. Bahkan, di zaman Jahiliyah Khadijah sudah dijuluki Al-‘Afifah Al-Thahirah (wanita suci yang selalu menjaga kehormatannya).

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa sebelum menikah dengan Rasulullah SAW, Khadijah sudah pernah menikah dua kali. Sehingga pernikahan dengan Rasulullah itu menjadi pernikahannya yang ketiga.

Pernikahan ketiga Khadijah tersebut bertahan sampai akhir hayatnya. Khadijah wafat dalam usia 65 tahun dan ketika itu Nabi SAW berusia 50 tahun. Selama masa pernikahan itu, tak terlintas sedikit pun dalam benak Rasulullah SAW untuk menikah lagi dengan perempuan lain. Padahal, usia antara 20 dan 50 tahun merupakan masa-masa puncak gejolak hasrat dalam diri laki-laki untuk menambah istri dan atau hasrat untuk memenuhi desakan syahwat, sebagaimana pada umumnya.

Namun, sebagaimana telah dijelaskan, bahwa Muhammad SAW melewati fase usia ini tanpa sedikit pun berpikir untuk memadu Khadijah dengan perempuan lain, baik sebagai istri maupun budak perempuan. Jika mau, tentu beliau sudah mendapatkan perempuan lain yang sudi diperistri atau budak-budak perempuan, tanpa melanggar adat atau keluar dari kebiasaan masyarakat saat itu. Padahal, beliau menikah dengan Khadijah yang berstatus janda dan berusia 15 tahun lebih tua darinya.

Hal ini mengandung bukti yang membungkam mulut kritik para orientalis yang picik dan tidak adil, dan para pengikut mereka yang hatinya telah dirasuki sentimen buruk terhadap Islam.

Mengenai hal itu, kita bisa kembali melihat apa yang ditegaskan dalam firman Allah, yang menyeru orang-orang seperti itu bagaikan memanggil binatang yang tidak mendengar, selain hanya sekadar panggilan dan seruan saja.

Mereka para pengkaji islam yang picik itu berpikir akan menemukan senjata yang mematikan Islam dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah SAW. Mereka juga menyangka akan mendapatkan amunisi untuk menghina dan mencemari nama baik Muhammad SAW. Dianggapnya bahwa Rasulullah SAW itu di mata orang secara umum sebagai lelaki hidung belang yang gemar perempuan dan tenggelam dalam belaian syahwat. Dan semua ini terbantahkan sama sekali.

Kecurigaan yang dibangun oleh orang-orang orientalis yang picik dalam mengkaji Islam itu, memang banyak diikuti oleh orang-orang yang mengakui tidak terikat oleh ajaran Islam, tetapi berlaku fair atau terbebas dari kecenderungan. Padahal, pada saat yang sama apa yang dilakukannya itu, justru terikat dengan kecurigaan yang sejak awal sudah dibangun oleh orang-orang orientalis yang picik itu. Sehingga, tentu kajian yang dilakukannya itu tidak bisa diterima secara ilmiah dan jauh dikatakan sebagai kerja-kerja intelektual untuk tujuan kebenaran, melainkan hanya sekadar misi untuk memandang Islam sebelah mata.

Jika tidak bisa dianggap demikian, maka seharusnya topik pernikahan Nabi Muhammad SAW, justru akan menjadi dalil yang sangat kuat untuk membuktikan kejujuran Nabi Muhammad SAW dan kebenaran risalahnya.

Kesadaran itu memang hanya akan dicapai oleh mereka yang berpikiran terbuka, berwawasan luas, dan mau memahami Islam serta mencermati Sirah Nabi secara adil. Sikap jujur dan objektif tampaknya memang tidak dimiliki oleh para peneliti yang dasarnya adalah kedengkian terhadap Islam. Kebanyakan mereka ingin menggambarkan sosok Nabi Muhammad SAW sebagai lelaki hidung belang yang gemar memenuhi desakan syahwat. Padahal, jika mau mencermati kehidupan pernikahan beliau, tentu hal itu telah menjadi dalil yang memadai untuk menunjukkan karakter yang sebaliknya.

Pasalnya, di masa Jahiliyah, di tengah bangsa Arab, lelaki hidung belang tidak akan mencapai usia 25 tahun, kecuali dia telah mengawini banyak perempuan. Lelaki hidung belang yang masih muda belia seperti Muhammad juga tidak akan sudi menikahi janda yang usianya hampir dua kali lipat usianya sendiri, apalagi lalu hidup bersamanya selama 15 tahun tanpa sedikit pun keinginan untuk menggauli atau menikahi perempuan lain. Fakta ini tentu membantah semua kecurigaan buruk dari para peneliti orientalis yang picik dan tidak adil itu.

Lalu, jika kita berbicara tentang pernikahan Nabi SAW dengan Aisyah r.ha, dan istri-istrinya yang lain, tentu kita akan membicarakannya dalam tema yang berbeda. Masing-masing mereka memiliki kisahnya sendiri dan setiap pernikahan itu memiliki hikmah dan penyebab yang akan menambah keimanan seorang Muslim pada keagungan, keluhuran pribadi, dan kesempurnaan akhlak Muhammad SAW.

Apa pun hikmah dan penyebabnya, tidaklah mungkin beliau menikah sekadar untuk memenuhi kebutuhan biologis atau membenamkan diri dalam belaian syahwat belaka. Sebab, jika demikian, pasti beliau telah melakukannya jauh-jauh hari ketika usianya masih muda belia, bukan di usia senjanya ketika pikiran beliau disibukkan urusan dakwah dan membangunan komunitas Islam. Bahkan setelah hijrah, begitu banyak urusan yang ditangani langsung oleh Rasulullah SAW yang memalingkannya dari sekadar urusan syahwat dan kenikmatan dunia. Jadi semua ini mengandung pelajaran yang besar bagi setiap Muslim untuk mengenal lebih dekat Rasulullah SAW, dan merupakan fakta yang tak bisa dibantah kebenarannya. []


Catatan: Tulisan ini diolah dan dikembangkan dari berbagai sumber otoritatif, khususnya dari Kitab Fiqhus Sirah An-Nabawiyah karya Dr. Ramadhan Al-Buthi dan Buku Membaca Sirah Nabi Muhammad (Dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-Hadis Shahih) karya Prof. Quraish Shihab.

___________

Editor: Hakim